Movies

PESAN KEMANDIRIAN PEREMPUAN DALAM ‘MAYBE SOMEDAY, ANOTHER DAY, BUT NOT TODAY’

Sebuah film pendek membuat kita memikirkan ulang konstruksi sosial yang sudah lestari sejak lama. Bisakah perempuan mandiri dan berdaya?

title

FROYONION.COM - Di buku Maaf, Orgasme Bukan Hanya Urusan Kelamin (2022), ada satu chapter berjudul, “Boro-Boro Mikirin Seks, Beha Robek Saja Tak Terbeli”. 

Dalam tulisan tersebut penulis mengakhiri tulisan dengan harapan generasi sekarang yang melek digital lebih bisa mengakhiri ketertindasan perempuan. Belum hari ini tapi segera. 

Film pendek berdurasi 20 menitan berjudul Maybe Someday, Another Day, But Not Today, tampaknya lebih hopeless dari harapan yang penulis haturkan dalam tulisan “Boro-Boro Mikirin Seks, Beha Robek Saja Tak Terbeli”. 

Film tersebut mengisahkan tentang perempuan muda yang sehari-hari hidupnya didedikasikan untuk sang suami. Mulai dari memasak, membersihkan rumah, sampai-sampai harus menjual bajunya supaya bisa membeli kemeja untuk suaminya training. Ternyata suaminya tidak jadi ikut training. Mengenaskan nggak?

Setting film sepertinya juga enggak jadul-jadul amat. Soalnya si istri menjual bajunya lewat Facebook Live. Jadi, semestinya ini bukan zaman yang jadul kan? Ini adalah situasi yang relevan dengan kita saat ini. 

Mungkin kita kira, di era digital yang serba canggih, informasi bisa diperoleh di mana saja kapan saja. Belum lagi isu-isu pemberdayaan perempuan yang disebarkan di media sosial, dapat terjangkau di semua lapisan masyarakat. 

Nyatanya, tidak demikian Pulgoso! Masih banyak perempuan yang mengalami seperti yang dialami tokoh istri dalam film Maybe Someday, Another Day, But Not Today.

Salah satu scene yang sangat menghentak buat penulis, adalah ketika sang istri menghidupkan hot spot dari hape suaminya, supaya dia bisa online dan surfing cari hiburan. 

Seketika penulis langsung teringat dengan seorang kenalan yang juga diperlakukan sama oleh suaminya. Perempuan ini adalah seorang ibu rumah tangga dengan suami seorang seniman yang cukup seringlah menyuarakan isu-isu kemanusiaan lewat karyanya. 

Tetapi, untuk istrinya, dia membatasi penggunaan kuota internet. Si istri tidak memiliki paket internetnya sendiri. Dan supaya bisa online, terhubung dengan internet, sekadar nonton reels atau TikTok, dia harus terhubung dengan hotspot suaminya. Itu pun ada pembatasan kuota. 

Ketika mendengar informasi tersebut, penulis sampai ternganga dengan dagu menyentuh tanah—saking terkejutnya, kok bisa gitu secara suami konon terpelajar?

Baru-baru ini kakak penulis menikah. Dan dia lagi senang-senangnya membangun rumah tangga. Pekerjaan domestik yang dilakukannya seperti memasak, membersihkan rumah, menjadi diglorifikasikannya. 

Kenapa penulis berkata demikian, dia acap kali, setiap ada kesempatan selalu bilang, “Beginilah ya jadi ibu rumah tangga, capek..” tapi ada nuansa kebanggaan tersirat dari ucapannya tersebut. 

Sejauh ini suaminya memang baik sih, mau bersih-bersih, membantu tugas domestik. Suatu kali dia berkomentar ketika suaminya mencuci piring, “Masak dia cuci piring, enggak boleh lho suami cuci piring…” 

Penulis agak terbengong. Ya boleh dong suami cuci piring, masak nggak boleh? Toh, piring dan gelas dia juga yang pakai kan? Kenapa nggak boleh dia yang cuci?

Saudari yang berbeda juga pernah mendapatkan wejangan dari iparnya, kalau ketika nanti punya anak dan anak terbangun malam-malam, jangan meminta suaminya untuk menjaga anak, itu tugas istri. Suami sudah capek kerja. Begitu katanya. 

Ada lagi teman kakak penulis, yang suaminya pantang memandikan anak, dia merasa kejantanannya ternodai saat memandikan anak.  Budaya telah membuat perempuan menganggap domestikasi sebagai bentuk pengabdian dan memang menjadi tugas seorang istri. 

Ada satu scene juga dalam film Maybe Someday, Another Day, But Not Today yang enggak banget buat penulis, tapi faktanya masih saja terjadi. Itu ketika sang istri makan sisa suami. Kenapa tidak makan bareng-bareng? 

Kenapa harus menunggu suaminya selesai makan, baru istrinya makan? Itu pun, pas istrinya mau masak indomie rebus sebagai lauk, karena gas habis, si istri jadi memasak lewat rice cooker. ‘Epic’ kan? 

Perempuan memang selalu menemukan cara-cara untuk bertahan hidup.

Apakah sesuai tajuk dari film tersebut, konsep relasi suami dan istri tidak akan berubah dalam waktu dekat ini? Tergantung kita. Mau sampai kapan masih menggunakan pemaknaan yang demikian? 

Kalau kita semua masih tersesat dengan konsep baheula, ya penindasan demikian tidak akan ada habis-habisnya.

Yang namanya pernikahan, semestinya enggak ada posisi yang lebih tinggi dari yang lain. Semua sama rata sama rasa dong semestinya. Cinta semestinya tidak memenjarakan. 

Cinta akan membuat kita menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Penderitaan juga bukan pembuktian cinta. Sebelum mencintai seseorang, semestinya kita harus mencintai diri sendiri dulu. 

Kemudian, sebagai perempuan, yuk jadi mandiri. Konsep laki-laki adalah tulang punggung keluarga sudah tak terpakai lagi di zaman sekarang. Sebaik-baiknya, perempuan harus mandiri dan berdaya. Punya penghasilan sendiri. Buat beli skincare, baju, kuota internet. Amit-amit ketemu suami yang ngejatahin kuota supaya bisa nonton reels! (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Ester Pandiangan

Penulis buku "Maaf, Orgasme Bukan Hanya Urusan Kelamin (2022)". Tertarik dengan isu-isu seputar seksualitas.