Anak muda terkenal dengan kebebalannya, tak peduli dari generasi manapun. Kebebalan itu pun bisa diatasi dengan menginspirasikan diri pada film Coach Carter.
FROYONION.COM – Film Coach Carter menampilkan akting Samuel L. Jackson sebagai representasi pelatih olahraga basket dengan ketegasan pola pikir dan sikap. Memperagakan diri sebagai Pelatih Ken yang menciptakan sejarah luar biasa untuk SMA Richmond di Amerika Serikat, Jackson mendalami suasana sosial tahun 1999. Hal ini diperkuat dengan perseteruan ideologis yang ditunjukkan oleh Rick Gonzales yang memerankan diri sebagai Timo Cruz dan Channing Tatum yang memerankan diri sebagai Jason Lyle.
Akhir tahun 90-an merupakan cerminan dari gejolak peradaban sebelum beralih sepenuhnya ke zaman modern yang memasuki tahun 2000. Gejolak itu dihadirkan oleh film Coach Carter dengan beberapa narasi miris. Narasi yang dimaksud misalnya keberpihakan pemerintah di Amerika yang masih condong pada White Supremacy, terutama ditandai dengan banyaknya masyarakat kulit hitam yang tidak mudah mendapatkan pekerjaan. Ketidakmudahan ini terutama didukung oleh sistem sekolah yang terkesan membiarkan anak-anak didiknya tidak lulus.
Ketidaklulusan dalam dunia pendidikan pada masa itu menjadi penentu seseorang dapat diterima ke dalam suatu perguruan tinggi yang menjanjikan, atau bahkan untuk dapat sekadar bekerja. Kenyataan yang disebut pahit ini dianggap wajar dan biasa saja, terutama di pemukiman orang-orang berkulit hitam atau pendatang dari Meksiko.
Berhubungan dengan hal itu, ungkapan dialogis ditampilkan dalam potret sinematografi antara Timo Cruz dan Jason Lyle. Keduanya sempat berseteru tentang keuntungan Jason Lyle yang berkulit putih dibandingkan Timo Cruz yang merupakan pendatang dari Meksiko. Orang-orang Meksiko harus membangun identitas melalui kekuasaan terhadap narkoba, sementara orang kulit putih selalu dipermudah dalam segala hal.
Hadirnya Ken Carter sebagai pelatih SMA Richmond kemudian mampu menjadi salah satu solusi yang mencengangkan untuk dunia basket SMA dan sistem sosial yang ada di Amerika. Hari pertama ia datang ke sasana latihan, semua pemain sudah dibuatnya keheranan. Ia mengenakan setelan jas dengan dasi dan sepatu pantofel yang mengkilap.
Mendapati hal itu Timo Cruz pun langsung menyasar penampilan yang lebih pantas dikenakan seorang pejabat daripada seorang pelatih basket. Namun, Ken Carter teguh pada apa yang menjadi pondasi dirinya bahwa seorang pemain basket pun harus dibangun dengan tata krama dan intelektualitas. Tak ayal, sebuah usaha Timo Cruz untuk melayangkan pukulan kepada Ken Carter pun dihadang dengan sebuah tangkisan dan hadangan yang membuat wajah Timo Cruz berhimpit dengan tembok.
BACA JUGA: ‘CINEMA PARADISO’ (1988): FILM DALAM MEMORI MASA LALU
“Bukankah seorang guru tidak boleh memukul siswa?” ucap Timo Cruz yang justru dibalas Ken Carter dengan senyuman. Timo merasa dirinya sebagai orang yang paling paham kondisi lingkungan saat itu. Ia hidup di bawah naungan sepupunya yang juga seorang kartel. Baginya membawa senapan setiap hari adalah sebuah kewajaran. Namun, Ken Carter yang juga seorang keturunan berkulit hitam membalasnya dengan sebuah pengalaman dengan berkata, “Aku bukan guru, aku seorang pelatih. Jangan merasa hanya kau yang paham kondisi lingkungan kita. Aku sudah merasakannya lebih lama dibandingkan kalian. Untuk itulah aku datang membawa kontrak ini.”
Kontrak yang dimaksud Ken Carter adalah sebuah perjanjian untuk pemain, orang tua, dan pelatih. Para pemain dan orang tua bertanggung jawab untuk nilai pelajaran setiap pemain. Sementara itu, baik pelatih ataupun pemain akan mendapatkan hukuman fisik apabila datang terlambat ketika jadwal Latihan. Lebih dari itu, yang membuat semua orang sempat mengernyitkan dahi adalah keharusan setiap pemain untuk duduk di bangku paling depan dan memakai setelan jas dan berdasi setiap jadwal pelajaran dan kompetisi basket.
Awalnya, semua ini tentu melahirkan pandangan pro dan kontra. Namun, Ken Carter membuktikan timnya sebagai tim yang tak terkalahkan dalam 17 pertandingan dalam satu musim. Kemenangan ini membuat mereka berkesempatan meraih trofi bergengsi di negara bagian. Jika tropi itu berhasil didapatkan mereka akan bertanding dengan tim terkuat untuk akhirnya sampai di puncak kejayaan sebagai tim basket terbaik Amerika.
Perjalanan yang seperti utopia itu sempat diwarnai dengan beberapa protes ketika Ken Carter sempat menutup sasana latihan oleh sebab banyak pemainnya yang bolos kelas dan mengingkari perjanjian. Hal itu membuat dirinya ditentang oleh masyarakat daerah Richmond dan membuatnya terdepak sebagai pelatih. Uniknya, para pemain justru mendukungnya dan datang ke sasana latihan membawa bangku sekolah, bukan untuk bermain basket, tetapi belajar demi tersampainya nilai-nilai mata pelajaran.
Banyak peristiwa sinematografis yang membuat kita berpikir pentingnya tata krama dan keteguhan hati dalam mengambil keputusan. Film ini mengangkat sebuah isu dunia pendidikan yang barangkali sampai saat ini masih berlaku, hanya saja dalam potret yang lebih modern. Anak-anak muda di zaman ini pun dihuni oleh beberapa potret ketidaksadaran akan pentingnya tata krama, terlihat dari beberapa unggahan di media sosial yang memperlihatkan perlakuan di luar norma. Anehnya, semakin banyak berita serupa dan datangnya sebuah perlakukan hukum negara yang setimpal kepada para pelaku bukan malah membuat tindakan semacam ini mereda seketika.
Hadirnya Ken Carter lainnya dalam berbagai wujud realita tentu diperlukan agar kedisiplinan, dari kalangan anak muda terutama, mampu terbangun. Bukan hanya oleh sebab pemaksaan, tetapi kesadaran, seperti langkah-langkah teguh yang dilakukan oleh Ken Carter. Menonton film Coach Carter dengan seksama diharapkan mampu menghadirkan nilai-nilai dan inspirasi untuk memunculkan sosok yang dibutuhkan zaman ini. (*/)