
Kerja sama Indonesia-Belanda tak hanya terbatas di naturalisasi pemain sepak bola. Pada International Film Festival Rotterdam, kemitraan dalam industri perfilman juga turut dibahas.
FROYONION.COM – International Film Festival Rotterdam (IFFR) yang baru berakhir pada pekan lalu turut menyoroti industri perfilman dan sinema Indonesia.
Fokus ini terutama muncul berkat perjanjian produksi bersama antara Indonesia dan Belanda pada JAFF Market Desember tahun lalu. Hal ini tidak lepas dari makin melejitnya film-film Indonesia di panggung global.
BACA JUGA: BELANDA THEN: INDONESIA MERDEKA 27 DESEMBER 1949! VS BELANDA NOW: RALAT, 17 AGUSTUS 1945
IFFR tidak lupa juga membanggakan kontingen Indonesia yang kuat. Salah satunya adalah sineas dan seniman visual Timoteus Anggawan Kusno. Ia telah dinobatkan sebagai Artist in Focus dengan sembilan karyanya ditayangkan di IFFR.
Ada juga Yuki Aditya yang menjadi bagian dari juri Tiger Competition dan Kamila Andini, sineas produktif yang berada di balik layar serial laris Netflix Gadis Kretek.
Andini membawa serta proyek terbarunya, Four Seasons in Java ke Cinemart IFFR. Proyek anyar ini bahkan sukses meraih penghargaan VIPO Jepang di pasar produksi bersama IFFR.
Sementara itu, film epik kemerdekaan This City is a Battlefield karya Mouly Surya menjadi film penutup IFFR, dengan aktris Ariel Tatum dan aktor Jerome Kurnia turut hadir dalam festival tersebut.
Andini mengatakan sebagaimana dilansir dari Deadline bahwa ada cukup banyak film Indonesia di Rotterdam tahun ini yang sangat menarik baginya.
“Dengan atau tanpa konteks masa lalu dan sejarah kolonial, film Indonesia adalah sesuatu yang sangat menarik untuk ditonton semua orang, dan festival film adalah salah satu tempat terbaik untuk menontonnya,” paparnya.
BACA JUGA: PASAR BELANDA 2023: ASYIKNYA BELAJAR KEBUDAYAAN BELANDA DAN INDONESIA SECARA GRATIS
Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa sineas Indonesia telah fokus pada film-film tanah air di beberapa festival film sebelumnya, dan hal itu menunjukkan bahwa industri perfilman Indonesia tengah bangkit.
Kusno, yang karya-karyanya seperti Afterlives dan Fever Dream seringkali membahas penjajahan Belanda di Indonesia dan peninggalannya, turut berujar bahwa penting untuk melakukan percakapan ini bersama sineas Belanda melalui seni, budaya serta film karena sejarah adalah sesuatu yang sangat kompleks saat dibicarakan.
“Ini bukan hanya sejarah yang telah dikanonisasi, tapi juga sejarah pribadi yang tumbuh bersama masyarakat,” terangnya.
Ia sendiri berpindah-pindah antara Amsterdam dan Yogyakarta untuk tinggal dan bekerja di dua kota tersebut. Kusno turut menyoroti bagaimana akses ke arsip video di Belanda tentang masa lalu Indonesia sangat penting bagi penelitian karyanya.
Sementara itu Aditya, pembuat film The Hypothesis of Wandering Images of Jakarta dan The Myriad of Faces of Future Challengers, turut mengemukakan pendapatnya.
Ia mengungkap bahwa salah satu programmer sempat datang ke tempatnya tahun lalu dan mengatakan bahwa menurut mereka festival ini harus menampilkan film-film Indonesia karena sebagian sejarah panjang antara kedua negara.
“Jika Anda memikirkan demografi penduduknya sendiri, seperti 10% penduduk Belanda memiliki keturunan Indonesia,” pungkasnya.
Dalam IFFR tahun ini sendiri ada beberapa film Indonesia yang ditayangkan. Di antaranya adalah Gowok: Kamasutra Jawa, Bachtiar, Tengah Malam di Bali, Turang, Membentuk Masa Depan, Bisikan di Dabbas dan Till Death Do Us Part.
Mengacu pada dialog-dialog seputar kolonialisme, Kusno mengatakan bahwa dialog tersebut berlapis-lapis dan sangat kompleks. Ia menambahkan bahwa diskusi melalui bahasa artistik sangat penting dan signifikan.
“Saya sangat menghargai festival yang memiliki ruang untuk membangun diskusi semacam ini, tidak hanya untuk melihat ke belakang, tetapi juga untuk benar-benar melihat ke masa depan. Seni adalah tempat terbaik untuk melakukan itu,” tambahnya.
Aditya turut mengatakan bahwa seniman Indonesia telah menjadi semakin terbuka untuk berbicara tentang sejarah negara dalam karya seni mereka, terutama sejak Reformasi pada 1998 ketika Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya.
“Sebelumnya, Indonesia mungkin agak kabur dan berada di zona senja. Namun setelah Reformasi, ada lebih banyak tulisan dan buku yang berbicara tentang sejarah kedua negara secara lebih terbuka. Banyak topik yang sebelumnya tabu kini dibahas secara lebih terbuka.”
Aditya, yang juga merupakan pendiri kolektif film Forum Lenteng, berencana mengadakan pertemuan dengan perusahaan-perusahaan Belanda dan mencari cara untuk memanfaatkan perjanjian produksi bersama yang baru.
Ke depannya, ia juga ingin berbicara tentang Konferensi Bandung 1955 dan beberapa keadaan seputar acara tersebut dalam karya berikutnya.
Ketika merenungkan pemutaran filmnya seperti The Myriad of Faces of Future Challengers di Belanda, Aditya berkata bahwa ia merasa gembira karena bertemu orang-orang yang tidak tinggal atau tumbuh besar di Indonesia.
Ia melihat bagaimana reaksi mereka terhadap filmnya yang berfokus pada Indonesia, walaupun penonton pada saat itu juga merupakan para sejarawan Belanda.
Andini mengatakan pula bahwa ia jarang memikirkan masa lalu kolonial pada saat membuat film. Kolonisasi, menurutnya, bukan bagian dari pemikiran kreatifnya, karena Indonesia sudah merdeka sejak 1945.
Namun, dirinya tidak menampik bahwa ada banyak kemiripan saat bekerja sama atau datang ke Belanda karena memang kedua negara itu pernah bertemu di masa lalu.
“Bagi saya, ini lebih tentang memiliki perspektif yang lebih reflektif atas apa yang terjadi. Kita belajar dan menghormati sejarah, tetapi kita melangkah maju dengan mencoba menciptakan dunia yang jauh lebih baik di masa depan,” tutupnya.
Menarik untuk menyaksikan bagaimana perjanjian produksi Indonesia-Belanda ini akan bergulir ke depannya. Akankah ada film produksi bersama dua negara ini atau kolaborasi antara para sutradara dan pemainnya? Kita nantikan saja. (*/)