Tips

SUPAYA TETAP ASYIK DAN GAUL MESKI BELUM PUNYA ‘CIRCLE’ PERTEMANAN DI KAMPUS BARU

Di kolom yang tayang tiap Senin ini, siapa aja bisa nanya dan bakal dijawab langsung oleh Bang Roy sendiri. Kamu bisa nanya segala macem tema pertanyaan yang berkaitan dengan kehidupan muda-mudi zaman sekarang. Untuk kirim pertanyaan kamu, bisa kirim DM langsung via Instagram @froyonion.

title

Pertanyaan:

“Bang Roy, gimana sih caranya biar bisa tetap asyik di lingkungan yang udah punya circle pertemananan meskipun diri lo nggak punya circle?” -(@BTGR)

 

Jawaban Bang Roy:

Pertama-tama gue mau ucapin selamat dulu buat lo yang udah mulai masuk kuliah. Lo udah berjuang dan berusaha yang terbaik dan pasti itu nggak mudah.

Nah gue mau jelasin dulu ye circle itu apa sebenernya. Dalam terminologi pertemanan, definisi circle ini bisa dipandang lewat dua sudut.

Dari sudut yang pertama, circle itu ya lingkaran pertemanan yang punya minat, visi, dan misi yang serupa. Contohnya circle orang-orang penikmat film, yang jelas mereka semua suka nonton film, suka tentang produksi film, dan sebagainya. 

Kalo di kampus, biasanya dalam satu angkatan ada yang isinya anak-anak gaul kampus yang sering nongkrong di coffee shop bareng-bareng, ada yang isinya gamers yang suka bolos kelas buat ke warnet bareng (gue banget), ada juga yang isinya anak-anak rajin yang demen ngumpul buat ngerjain tugas bareng-bareng.

Dari sudut yang lainnya, circle ini bisa dibilang punya konotasi lain, lingkaran pertemanan terbatas yang hanya orang-orang tertentu aja yang boleh bergabung, orang-orang yang nggak sesuai dengan kriteria tertentu mungkin bisa dipandang sebelah mata sama circle itu. 

Oke, mungkin pernyataannya sedikit berasumsi ya, tapi nyatanya memang ada circle seperti itu, yang sadar atau nggak sadar memang terjadi di sekitar kita. Ada semacam “tensi” dan kebanggaan tersendiri yang berusaha ditunjukkan dari terciptanya sebuah circle. Tujuan utamanya buat mendapatkan pengakuan sosial dari orang lain.

Sebagai orang yang ngerasa dirinya nggak punya “circle” karena gue menganggap semua teman itu sama, gue pengen sedikit sharing cerita gue tentang gimana caranya tetap asyik di lingkungan yang penuh circle meskipun kita sendiri nggak punya circle. Yang jelas, ini pendapat dan pandangan pribadi gue ya.

Kayak hal-hal umum lainnya, circle pertemanan juga punya plus minus-nya. Menurut gue pribadi, lingkup pertemanan yang bagus tentunya nggak cuma buat nongkrong-nongkrong asik doang, perlu ada dukungan moral dari para bestie ini supaya teman-temannya saling berkembang satu sama lain, bisa di dunia karir, di perkuliahan, atau lingkup-lingkup positif lainnya yang berdampak banget buat masa depan.

Di luar itu, ada juga circle yang memang isinya cuma buat asyik-asyik doang, dan ketika lo nggak ikut salah satu kegiatannya, lo bisa dicap nggak asyik sama mereka. Sadar atau nggak, ada circle yang kayak gini dan bisa tergolong toxic buat hidup kita. Hanya karena sebuah pengakuan, lo rela bilang “iya” ke hal yang mungkin aja nggak pengen lo lakuin. Wah, jangan sampe deh termasuk ke lingkup pertemanan yang kayak gini.

Menurut penilaian pribadi juga, keikutsertaan kita di suatu circle pertemanan nggak bisa mencerminkan “status sosial” ataupun kebahagiaan yang bisa didapatkan dari pertemanan ala-ala para bestie ini. Meskipun lo nggak punya circle, lo bakal tetap fine aja selagi masih ada yang bisa lo ajak ngobrol dan bisa saling support, nggak mesti satu rombongan circle yang lo ajak ngobrol dan main hampir tiap hari.

Nongkrong bareng dan membangun relasi itu perlu. Menjalin pertemanan yang positif dan berkualitas ini yang perlu dilakukan daripada sekedar gabung circle tanpa melihat kualitas orang-orang di dalamnya. Lo nggak perlu maksain untuk gabung di satu circle cuma karena mereka dianggap “tenar” di kampus. Perlu lo teliti lebih dalam lagi, apakah orang-orang itu bisa berpengaruh ke hidup lo di arah yang positif atau malah sebaliknya.

Asyik atau nggak-nya diri lo nggak bisa dilihat dari keikutsertaan lo di sebuah circle, tapi lebih ke pembawaan diri yang bisa lo lakukan di lingkup pertemanan yang lebih besar daripada sebuah circle. Gue sendiri memandang istilah “circle” ini dibuat-buat untuk menggolongkan orang-orang tertentu aja, ada yang asyik dan seru diajak ngapa-ngapain akhirnya gabung di satu circle, sedangkan yang nggak asyik mungkin nggak diajak gabung di circle itu. 

Selebihnya, lo tetap bisa lakuin hal yang menurut lo penting di hidup lo tanpa perlu dikaitkan ke circle pertemanan. Anggap aja pertemanan itu ada untuk memfasilitasi perkembangan diri lo ke arah yang positif.

Nah, terkadang ada tekanan gabung suatu circle yang datang dari lingkungan terdekat, contohnya kayak di kampus, di mana sepertinya hampir semua mahasiswa punya circle masing-masing dan membuat lo menjadi ketar-ketir takut nggak punya teman. Alhasil, lo memutuskan buat iseng-iseng gabung di salah satu circle cuma karena lo takut dibilang kaku.

Apalagi di era digital seperti sekarang, orang dengan mudahnya mempublikasikan kegiatan mereka bareng teman-temannya lewat social media. Secara nggak sadar, social media juga menciptakan berbagai macam stereotip soal pertemanan. Ada yang dengan bangganya share Instagram Story yang isinya nongkrong bareng circle-nya. Hal ini juga yang membuat beberapa dari kita untuk “ambis” soal pertemanan.

Skenario kayak gini banyak banget terjadi di antara kita. Makanya, ada istilah “salah pergaulan” karena masuk lingkup pertemanan yang nggak sesuai dengan nilai yang dipercaya masyarakat pada umumnya.

Dari maraknya social media ini, muncul semacam “pembatas” antara orang di circle tertentu dan circle-circle lainnya. Mungkin juga, berawal dari hal ini, ada orang yang awalnya pengen asyik bergaul sama kelompok tertentu tapi malah minder dan alhasil nggak jadi bergaul karena adanya fenomena ini. 

Masuk circle yang sesuai sama prinsip kita itu perlu banget. Ambil yang positif dan buang jauh-jauh yang negatif. Jadi, kudu di-filter dulu sebelum asal “asyik” aja.

Definisi “asyik” yang lo maksud di sini mungkin lebih ke arah menjaga komunikasi biar nggak canggung dan tetep nyambung kali ya. Jadi, sebisa mungkin, ketika lo lagi ngobrol sama orang di circle tertentu kita harus tetep fokus sama topik pembicaraan. 

Sadar atau nggak, lo nggak perlu keluar effort berlebih untuk jadi asyik kalo nyatanya lo nyambung sama pembicaraan yang lagi terjadi. Pertanyaan-pertanyaan dan jawaban bisa dengan santainya dilontarkan satu sama lain kalo memang lo interested, dan pada akhirnya bisa membawa suasana jadi lebih asyik.

Nggak perlu minder kalo lo merasa nggak punya circle pertemanan yang “kental” banget sampe semua hal kudu dilakuin bareng-bareng terus. Gue yakin nggak ada orang di dunia ini yang nggak punya teman, even satu atau dua orang teman tapi kalo berkualitas ya gas!

Lagi-lagi, penilaian gue terhadap circle tuh cuma sekedar istilah, yang namanya pergaulan ya tetap aja utamanya soal menjalin komunikasi antara individu dengan individu, atau individu dengan kelompok, udah itu aja.

Dengan status sebagai “serigala penyendiri”, kita bebas ngelakuin hal yang kita anggap penting dan berguna di hidup kita tanpa perlu terlalu memikirkan persepsi orang lain di dalam suatu circle, atau bahkan di luar itu. 

Satu hal yang gue pelajari untuk tetap bisa asyik bergaul sebagai seorang lone wolf adalah percaya diri. Klise dan simpel, tapi memang betul, modal paling kuat untuk lo bisa bergaul apalagi di lingkungan yang udah punya circle-nya masing-masing adalah punya tingkat percaya diri yang tinggi.

Bahas soal “teknis” dalam bergaul nih ya, usahakan lo bisa menjaga kontak mata sama lawan bicara pas lagi komunikasi. Tetap santai juga ya, jangan sampe lo pelototin juga lawan bicaranya, yang ada dia malah takut dan lo malah keluar air mata karena lupa ngedip.

Cara ini tuh ampuh banget biar lo tetep asyik ketika lagi komunikasi dengan seorang individu, menandakan bahwa lo tertarik dengan suatu topik yang lagi diobrolin dan juga fokus sama lawan bicara lo.

Tapi, apa jadinya kalo lo berusaha untuk berkomunikasi dengan kelompok dari suatu circle tertentu yang lo sendiri nggak termasuk di dalamnya?

Maka, saran selanjutnya dari gue adalah stay calm. Apalagi buat para introverts yang mungkin sulit untuk bisa berkomunikasi dengan asyik dengan seseorang, apalagi dengan kelompok atau circle lain yang belum kita kenal dekat. Dengan berusaha untuk tetap kalem dan percaya diri, lo udah membantu diri lo sendiri untuk bisa asyik sama orang atau kelompok itu.

Menjaga diri untuk nggak canggung itu juga bukan hal yang mudah. Lo perlu fokus di momen “sekarang” dan memberikan impresi yang baik lewat gerak tubuh dan pembawaan lo.

Terkadang juga, kita suka berusaha jadi “orang lain” biar dinilai menarik sama lawan bicara. Padahal, yang lo butuhkan hanyalah jadi diri sendiri, nyaman sama apa yang lo sampaikan, dan juga nyaman sama pembawaan lo tadi. Masalah orang lain tertarik dan anggep lo asyik mah belakangan. Santuy aja!

Soal pembawaan, terkadang ini yang suka miss bagi sebagian orang. Misalkan, lo udah berusaha asyik ke orang lain, coba untuk tanya-tanya topik tertentu dan dapet balasan jawaban dari orang itu, tapi kok rasanya masih awkward dan kaku ya? Mungkin karena lo kurang perhatiin pembawaan “non-verbal” lo.

Bisa berupa bahasa tubuh, gerak-gerik, atau raut muka yang kadang ekspresinya nggak sesuai dengan topik yang lagi dibahas. Nah, ini yang suka bikin kondisi jadi canggung dan berakhir nggak asyik. Ekspresif itu perlu, tapi, jangan sampe berlebihan biar nggak disangka bohong.

Ada satu proses lagi nih yang menurut gue lumayan membantu komunikasi biar lebih asyik dan nggak canggung. Yaitu usahakan ketika lo mendapat jawaban tentang sesuatu hal dari orang lain, jangan sampe jawaban mereka itu jadi gantung di sisi lo.

Contohnya gini, anggep aja lo lagi ngajak salah satu teman lo atau circle pertemanan tertentu buat makan bareng di kantin abis selesai kelas. Mereka ngejawab kalo mereka nggak bisa karena satu dan lain hal. Daripada lo cuma jawab “Oalah, oke deh kalo gitu.”, lo bisa jawab kurang lebih kayak “Oke deh, next time mungkin bisa kali ya kita kumpul-kumpul makan bareng di kantin”.

Jawaban kayak gitu lebih terkesan terbuka dan punya peluang obrolan yang berlanjut. Intinya, lo bisa mengubah suatu kondisi percakapan dari yang sebelumnya terkesan kaku jadi lebih dinamis dan “ngalir”.

Jadi, biar pergaulan dan komunikasi di dalamnya nggak kaku dan monoton, lo bisa manfaatin dan modifikasi beberapa metode yang udah gue share di atas. 

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Bang Roy

Bang Roy