Stoikisme menjadi salah satu ajaran filsafat yang lagi tren belakangan ini karena manfaatnya dalam mengatasi depresi. Namun ada bahayanya bagi kesehatan mental ketika mempraktikkan stoa dengan naif.
FROYONION.COM - Stoik menjadi ajaran filsafat yang tengah populer belakangan ini di kalangan anak muda. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya buku self help dan channel YouTube yang membahas manfaatnya–Ferry Irwandi salah satunya.
Di era yang penuh ketidakpastian, stoik seolah menjadi jalan keluar bagi sebagian orang untuk terbebas dari kegelisahan yang lahir akibat beban ekspektasi dan standar yang ditetapkan masyarakat.
Stoik mengambil peran sebagai obat bagi mereka yang kerap dilanda overthinking dan kerap merasa gagal sebagai manusia karena gagal dalam mencapai kesuksesan.
Dari berbagai sumber, bisa disimpulkan bahwa stoikisme bicara tentang dikotomi kendali. Ia mengajak penganutnya untuk secara rasional membagi dan membedakan mana yang dimensi internal (apa yang bisa kita kendalikan) dan dimensi eksternal (apa yang di luar kontrol kita).
BACA JUGA: JANGAN BAPERAN! INI DIA KENAPA STOICISM GAK SELALU BENER
Selanjutnya, setelah penganutnya mampu membagi dua dimensi tersebut, stoikisme lantas mengajak mereka berfokus pada dimensi internal, pada hal-hal yang bisa dikendalikan oleh diri kita sendiri, seperti: karakter diri, pikiran, dan cara kita berinteraksi dengan orang lain.
Sementara dimensi eksternal, soal apa yang tidak bisa kita kontrol dan kendalikan, sebisa mungkin sebaiknya dibuang dan diabaikan karena kemungkinan besar lebih banyak menghasilkan kekecewaan dan emosi negatif lainnya, ketimbang manfaat.
Hanya saja, stoikisme, seperti banyak ajaran filsafat lainnya, juga menyimpan sisi gelapnya. Apalagi jika disalahpahami dan diterapkan secara membabi buta dan ekstrem. Di lain sisi, ia mendatangkan manfaat, namun juga bahaya bagi kesehatan mental.
Kata kunci dari menjadi seorang stoik adalah soal menjadi tabah. Ia bicara soal penerimaan diri dengan mengajak kita agar mampu mengontrol pikiran dan emosi kita, satu-satunya yang ada dalam kendali kita.
Tujuannya adalah untuk menghindarkan diri dari emosi-emosi negatif yang sebagian besar dilahirkan oleh dimensi eksternal, karena seringnya kita menaruh dan melekatkan kebahagiaan kita pada sesuatu yang di luar diri dan kendali kita, seperti orang lain, benda bahkan jabatan.
Sebagai contoh, ketika seseorang terjebak dalam kemacetan, seharusnya ia tak ngamuk-ngamuk sendiri selama bisa menyadari bahwa kemacetan adalah sesuatu yang berada di luar kendalinya. Oleh karenanya marah pada kemacetan adalah tindakan irasional bagi seorang stoik.
Begitu juga ketika seorang stoik berbuat baik (sesuatu yang amat ditekankan oleh stoik) terhadap orang lain, entah itu karena menaruh hati atau yang lainnya; bagi seorang stoik, mengharapkan orang lain yang menerima kebaikan darinya akan membalasnya dengan kebaikan juga adalah tindakan irasional.
Dasarnya karena apa yang dipikirkan dan dilakukan orang lain adalah dimensi eksternal yang berada di luar kendali kita. Dengan kata lain, jalan ninja untuk menjadi seorang stoik adalah soal melatih diri untuk bersikap bodo amat.
BACA JUGA: 4 POIN STOISISME YANG PERLU DITERAPKAN ANAK MUDA GEN Z
Jika dipelajari lebih jauh, ajaran stoikisme ini mirip-mirip dengan ajaran Buddha.
Seperti dikutip dari laman Kemenag, diungkapkan bahwa keselamatan bukanlah bergantung pada kekuatan eksternal. Melainkan pada kesadaran, kemauan dan usaha masing-masing individu dalam melakukan pengendalian diri melalui pikiran, ucapan maupun badan jasmani.
Ini sesuai dengan sabda dari Guru Agung Buddha yang berkata, “Jadikanlah dirimu pulau perlindungan bagi dirimu sendiri.”
Bahkan di titik tertentu, baik stoikisme maupun ajaran Buddha juga sama-sama menekankan diri untuk membatasi keinginan (atau ekspektasi) yang merupakan salah satu sumber penderitaan bagi seseorang.
Harus diakui bahwa stoikisme membawa manfaat bagi kesehatan mental. Tentunya, merupakan hal baik ketika seseorang bisa lepas dari depresi karena tidak terbebani oleh pencapaian orang lain dan hanya fokus pada apa yang bisa dilakukannya.
Hanya saja, ada beberapa dampak negatif dari stoikisme yang tak boleh diabaikan. Apalagi jika stoikisme dipelajari dan dipahami secara nanggung dan setengah-setengah atau kelewat ekstrem, yang disebut juga sebagai ideologi stoa yang naif.
Berikut dampak buruk dan sisi gelapnya, antara lain:
Sebuah esai yang ditayangkan di laman Bigthink, diungkapkan bahaya dari mempelajari dan memahami stoikisme secara nanggung. Tulisan itu bahkan memberikan istilah dengan menyebutnya sebagai ‘ideologi stoa yang naif”.
Dampak dari stoa yang naif, disebutkan bisa membuat seseorang terjebak dalam asumsi yang salah. Mereka bisa saja berpikir bahwa emosi negatif adalah sesuatu yang salah dan karenanya tidak boleh ada bahkan tidak boleh dibicarakan.
Dengan kata lain, stoa yang naif punya kecenderungan membuat seseorang menyangkal emosi negatif yang mereka rasakan. Sehingga dapat menuntut seseorang untuk senantiasa berpikiran positif akan apapun, bahkan saat tertimpa musibah.
Pijakan ini diambil dari pengalaman Seneca, salah seorang pencetus stoikisme yang pernah kehilangan sahabatnya. Dalam menyikapi kehilangannya itu, Seneca justru menolak untuk bersedih, karena baginya itu merupakan emosi negatif yang dapat mendatangkan penderitaan.
Meski begitu, anggapan tersebut jika terus dibiarkan, mereka bisa terjerumus dalam toxic positivity yang seringnya justru membuat kesehatan mental mereka memburuk karena kerap merasa bersalah ketika merasakan emosi negatif.
Padahal hal yang manusiawi jika seseorang merasakan emosi negatif dan mengekspresikannya, utamanya kesdihan dan kemarahan. Terlebih lagi, dampak buruk dari menahan diri untuk tidak mengakui emosi negatif itu adalah hilangnya empati.
Stoikisme akan mendatangkan manfaat jika dilekatkan pada konteks yang tepat. Misalnya, ketika kamu hanya fokus dengan apa yang bisa kamu kerjakan, tanpa terbebani dengan pencapaian orang lain yang jauh lebih sukses.
Selama stoikisme dilekatkan pada konteks yang sejenis, saya rasa manfaat stoikisme betulan bakal berdampak baik dalam mencegah orang merasa depresi atau frustrasi.
Namun, dampaknya bakal berbeda ketika kita menerapkannya dalam kehidupan berkelompok dan menyangkut kepentingan orang banyak.
Jika menyangkut kepentingan kelompok, tentunya seseorang tak boleh hanya memikirkan dirinya sendiri. Selain merupakan perilaku yang terkesan egois dan bodo amat, hal ini tidak mencerminkan sikap berempati yang dibutuhkan dalam kehidupan kita sebagai makhluk sosial.
Namun mesti diakui juga bahwa inilah salah satu kelemahan dari stoikisme yang sifatnya lebih menyorot tiap individu ketimbang kelompok.
Hal ini tak lain karena stoikisme seolah ingin membentengi tiap individu dari pengaruh eksternal yang kerap membawa emosi negatif dan penderitaan.
Ia seolah ingin mendirikan tembok tinggi yang kokoh untuk memisahkan dimensi internal dan eksternal. Sesuatu yang sebetulnya mustahil dilakukan karena sebagai individu, kita hidup dalam ruang eksternal dan terpapar oleh dampaknya secara langsung.
Akan tetapi untuk perkara yang satu ini, sebagai seorang penganut stoikisme, kamu bisa belajar dari pengalaman salah satu pencetusnya, yakni kaisar Marcus Aurelius.
Sebagai seorang kaisar, mau tak mau Aurelius tentunya bertanggungjawab atas hajat orang banyak, atas rakyatnya. Dalam memimpin, ia tetap berpijak pada stoikisme dengan memilah mana yang bisa dilakukannya dan masih menjadi kuasanya; dan mana hal yang di luar kuasanya sebagai seorang pemimpin.
Jika Aurelis secara membabi buta menerapkan stoikisme, apalagi stoa yang naif seperti yang banyak terjadi di era modern ini, kemungkinan besar ia akan jadi kaisar yang zalim karena menganggap yang terpenting hanyalah dirinya sendiri, internalnya. Sedangkan yang lainnya,rakyatnya tidak.
Mereka yang terjerumus dalam stoa yang naif, bisa saja bersikap terlalu pasrah terhadap takdir dan menganggap segala yang terjadi di dunia ini takdir belaka.
Bahkan di titik yang lebih ekstrem, mereka bisa saja berpikir bahwa mereka tidak bisa berbuat apa-apa untuk mengubah hidup mereka karena mereka menganggap segalanya telah ditakdirkan demikian.
Padahal, ini anggapan yang tidak tepat, untuk tidak menyebutnya salah sama sekali.
Jika menyoal takdir, kita mungkin bisa belajar dari literasi Islam. Dalam Islam diperkenalkan soal takdir yang tak bisa diubah (seperti kematian) dan takdir yang masih dapat diubah serta diupayakan (menjadi kaya dan pintar, misalnya).
Bahkan dalam konsep qada dan qadar yang menjadi rukun iman ke-6 itu, jika dipelajari lebih jauh bahwa perkara takdir justru lebih banyak bicara soal hukum sebab dan akibat. Misalnya, sebab kamu rajin belajar, maka akibatnya kamu jadi pintar.
Tidak seperti stoa yang naif yang menganggap segalanya sudah ditakdirkan dan karenanya segala usaha manusia jadi sia-sia dan oleh sebab itu manusia ‘nggak perlu ngapa-ngapain’, pokoknya terima takdir saja; konsep takdir yang baik selalu memberi ruang dan menghargai tiap ikhtiar manusia.
Kesimpulannya, mempelajari dan memahami stoikisme secara nanggung atau stoa yang naif, justru lebih banyak mendatangkan kerugian bahkan membahayakan kesehatan mental. Bukan tidak mungkin, alih-alih terbebas dari depresi, kamu justru tenggelam lebih dalam.
Mempelajari stoikisme dapat mendatangkan manfaat asal dilekatkan pada konteks yang tepat. Misalnya, pada konteks ketika kita merayakan lebaran bersama keluarga besar.
Saya rasa kita semua butuh khatam stoikisme dalam menghadapi pertanyaan ‘kapan nikah?’ dan ‘kapan kerja?’ dan ‘kapan wisuda?’ dari om dan tante saat momen lebaran. Belum lagi jika dibarengi flexing atas pencapaian anak dan keturunan mereka. (*/)