Stories

SETELAH 14 TAHUN

Bagaimana rasanya ditinggal menikah pacar, Civs? Di cerpen bertema fiksi sejarah ini, kita diajak untuk menyelami perasaan seorang pria yang harus meninggalkan semuanya termasuk kekasihnya setelah sebuah kekacauan politik menyeretnya menjadi pesakitan.

title

Bagaimana rasanya ditinggal menikah pacar, Civs? Di cerpen bertema fiksi sejarah ini, kita diajak untuk menyelami perasaan seorang pria yang harus meninggalkan semuanya termasuk kekasihnya setelah sebuah kekacauan politik menyeretnya menjadi pesakitan.


 

Setelah 14 Tahun

Bandung, 2 Oktober 1979

Dahulu, aku pernah mendengar suatu kutipan yang mengatakan kalau kita bukanlah orang yang sama seperti 10 tahun yang lalu. Waktu itu aku sempat ketakutan kalau kekasih yang sedang menjalin cinta denganku berubah begitu saja setelah 10 tahun kita menjalani masa berpacaran. Tapi, hari ini aku dipaksa percaya ketika dia tiba-tiba datang kembali ke rumahku setelah 14 tahun lamanya dia mengembara dari satu penjara ke penjara lainnya. Terakhir kali aku bertemu dengannya di Penjara Militer Cimahi, tapi ketika keesokan harinya aku kembali menjenguknya, petugas di sana mengatakan kalau dia telah dipindahkan ke Jakarta.

Sejak itu aku tidak pernah mendengar kabarnya. Awalnya aku tidak tahu apa salahnya, waktu itu dia hanya bekerja mengurus sebuah majalah kebudayaan, dan terkadang dia menulis cerpen dan puisi di majalah itu, yang suka kubaca ketika dia membawakannya ke rumahku. Tapi belakangan kuketahui dari ayahku, kalau dia ditangkap karena majalah yang diurusnya didanai oleh Partai Komunis. Setelah itu, Ayah menyuruhku untuk membakar beberapa majalah yang pernah dibawakannya ke rumah, Ayah juga menyuruhku untuk melupakan kekasihku itu karena katanya akan berbahaya bagi keluarga kami. Selama itu juga aku harus menahan kesedihan yang teramat dalam karena di sisi lain Ayah menyuruhku untuk melupakannya, sedang hatiku sedikit pun enggan untuk melakukannya.

Hingga suatu hari, ayahku tiba-tiba jatuh sakit pada tahun ke-4 aku menanti kedatangan kekasihku. Karena merasa umurnya tidak akan lama lagi, dia menyuruhku untuk menikahi salah satu anak dari kawan lamanya dengan alasan tidak ada yang bisa menggantikannya ketika dia sudah pergi, karena di rumah hanya diisi oleh perempuan, ibuku, dan dua adikku. Aku yang merasa keberatan tidak bisa menolak keinginannya. Dan pernikahan itu akhirnya terlaksana bertepatan dengan berita para tahanan politik—yang kuyakini kekasihku itu termasuk di dalamnya—akan dipindahkan ke sebuah pulau yang ada di wilayah Maluku. Menurut berita itu, di sana para tahanan itu akan dibina agar bisa dilepas kembali ke masyarakat, tapi tidak ada kepastian berapa lama mereka akan dibina di sana. 

Sungguh, tahun itu adalah tahun yang sangat memilukan hatiku. Menikahi orang yang tidak aku cintai, menunggu kepulangan kekasihku yang tidak ada kepastian, dan beberapa hari setelahnya, ayahku mengembuskan napasnya yang terakhir. Dia pergi dengan tenang karena sudah ada yang menggantikannya sebagai seorang kepala keluarga. Setelah menikah, perlahan-lahan aku berusaha untuk melupakan kekasihku itu, dan mencoba untuk mencintai suamiku. Tapi rasanya teramat berat, karena aku memang tidak pernah bisa mencintainya, dan selama bertahun-tahun pernikahanku, aku terpaksa bermain sandiwara dengannya.

Harapanku akan datangnya kekasihku itu tak pernah padam. Mungkin sesekali dia pernah meredup, tapi dia tak pernah padam. Bahkan, setelah bertahun-tahun pernikahanku, harapan itu terus menyala. Hingga pada tahun ke-13, harapan itu teramat terang benderang ketika terdengar kabar di televisi tentang rencana kepulangan para tahanan politik, dan bulan berikutnya disusul berita tentang kepulangan rombongan pertama ke kota asal mereka. Berhari-hari, berminggu-minggu, sampai berbulan-bulan aku menunggu kedatangannya kembali ke rumah, tapi nyatanya dia tak pernah datang jua. Perlahan-lahan aku berusaha menjalani kembali hidupku dengan harapan yang sudah mati sepenuhnya.

***

Dan di tahun berikutnya, setelah menunggu selama 14 tahun lamanya, akhirnya dia kembali datang. Bagaikan sebuah mukjizat, dia datang ditemani dengan kuyupnya air hujan tepat ketika azan Ashar dari masjid di seberang jalan selesai berkumandang. Sebelum dia menyebutkan namanya, aku sempat tidak mengenalinya. Sungguh seluruh penampilan fisiknya berubah teramat drastis. Garis rambutnya yang semakin mundur dan berubah menjadi putih, kerutan di dahinya yang tampak jelas, tulang tengkorak di pipinya yang terlihat menonjol, dan badannya yang teramat kurus. Aku sempat termangu ketika teringat kembali dengan kutipan di masa lalu itu. Tapi ingatan itu seketika tertutup dengan perasaan rindu yang telah lama membatu di dalam hatiku. Karena perasaan rindu itu juga, saat itu aku refleks ingin sekali memeluknya, tapi tiba-tiba kuurungkan niat itu karena takut ada tetangga yang melihatnya. Terbesit senyum di bibirnya ketika dia melihat gelagatku yang tiba-tiba menjadi canggung. Lalu, kupersilakan dia menunggu di teras rumahku, sedangkan aku membuatkannya teh hangat di dapur untuk menghangatkan tubuhnya yang baru saja diguyur hujan.

Setelah kami duduk dan mengobrol di teras rumahku. Nyatanya, kuketahui hanya fisiknya yang telah berubah, sedang sifatnya masih seperti yang dulu. Dia tetap ramah dan sesekali bergurau seperti waktu kita berpacaran dulu. Pertama-tama dia mencoba untuk menanyai tentang keluargaku, bagaimana kabar Ayah, Ibu, dan kedua Adikku. Aku menjawab kalau semuanya baik-baik saja, waktu itu aku tidak ingin menyinggung kabar tentang Ayah karena takut akan menyusahkan hatinya. Lalu, aku balik bertanya tentang kabarnya. Dia hanya tertawa, katanya dia masih menganggur karena sulit sekali mendapat pekerjaan, tapi di balik tawanya aku dapat merasakan kegetiran yang selama ini dipendamnya. Aku tidak mencoba untuk menyinggungnya lebih jauh karena dia mungkin akan mencoba untuk menceritakan masa penahanannya yang perlahan akan mengorek luka yang ada di dalam hatinya.

Seperti tahu apa yang coba aku lakukan, dia lalu mencoba untuk membelokkan percakapan ke arah nostalgia mengenang masa lalu ketika kita dulu berpacaran. Dia bercerita, waktu dulu katanya dia sering sekali mentraktirku jika dia telah menerima honor dari kantor majalah yang diurusnya. Aku memang masih ingat dengan kebiasaannya itu, tiap akhir pekan kami akan menghabiskan waktu berjalan-jalan, menonton di bioskop, dan makan di restoran yang mewah. Tapi tiba-tiba dia tertawa karena teringat jika uang itu habis, dia terpaksa meminjam uang sakuku yang diberikan oleh ayahku. Aku juga ikut tertawa mengingat itu. Memang dia terlalu boros jika memegang uang. Sedikit-sedikit akan dihabiskannya, entah untuk membeli pakaian baru, atau beberapa buah buku. Aku ingat dia selalu berkata, “Lebih baik membeli buku daripada membeli makanan. Buku jika sudah dibaca bisa dijual lagi, tapi kalau makanan jadi tahi.” Tapi dia juga menambahkan, “Walau begitu, membaca buku tentu lebih baik dilakukan setelah memakan nasi.”

Sore itu aku merasa menjadi orang paling bahagia di dunia ini. Sudah lama aku tidak tertawa lepas seperti ini. Aku tertawa-tawa sambil menutupinya dengan telapak tanganku. Begitulah kebiasaanku jika sudah mendengar lelucon yang teramat lucu. Aku ingin sekali berlama-lama dengannya sebisa mungkin. Tapi rasa-rasanya hal itu mustahil dilakukan, karena jam di dinding sudah hampir menunjukkan pukul setengah enam, dan sedikit lagi suamiku akan pulang. Perlahan aku mulai merasa gelisah. Aku berharap dia pamit lebih dulu sebelum bertemu dengan suamiku, karena aku tidak bisa membayangkan bagaimana reaksinya jika aku harus memperkenalkan suamiku kepadanya. Tapi jika kuingat-ingat lagi, mengobrol dengannya pasti memakan waktu sampai berjam-jam lamanya, aku juga tidak pernah jemu mendengar ocehannya, ada saja kata-katanya yang diselingi dengan tingkahnya yang berhasil membuatku tertawa.

Dan tak lama, hal yang tidak kuinginkan itu pun tiba. Dari arah gerbang depan terdengar suara salam yang tiba-tiba saja memecah obrolan kami. Aku lantas berjalan menuju gerbang, dan ketika kembali ke teras ditemani oleh suamiku, dengan agak canggung aku mencoba untuk memperkenalkan suamiku kepadanya. Terlihat raut wajahnya tiba-tiba berubah menjadi kecut. Suamiku langsung menduduki kursi yang ada di sampingku, dan tak lama kami bertiga akhirnya kembali mengobrol di teras itu. Selama obrolan itu, aku tahu dia mulai merasa tidak nyaman ketika suamiku terus saja menghunjaminya dengan beberapa pertanyaan. Sedangkan aku hanya bisa terdiam, seraya menyunggingkan senyum di ujung bibir. Walau begitu, sejatinya aku tengah bergelut dengan perasaan yang ada di dalam hatiku. Di satu sisi ingin sekali aku berbicara kembali dengannya, tapi di sisi lain aku mencoba untuk menjaga perasaan suamiku. Di balik senyum yang kupasang, sejatinya di dalam hatiku telah berburai air mata.

Malamnya aku menangis tersedu-sedu di pojok ranjang, sambil menutupi wajahku dengan bantal. Aku menangis tiada tertahankan seraya mengingat kembali masa-masa ketika aku menunggunya dengan tiada kepastian. Sedangkan suamiku hanya terduduk di pinggir ranjang. Dia tahu apa yang tengah aku rasakan, walau aku tidak pernah menceritakan masalah ini kepadanya. Sambil menangis sesenggukan, aku mulai merasa kasihan dengannya karena telah menikahi orang yang selama 10 tahun penikahan tidak pernah sedikit pun mencintainya.

*** 

Bandung, 6 Oktober 1979

Sebenarnya, hari ini ingin sekali aku kembali menemuinya di rumahnya. Karena setelah seminggu aku menjalani kebebasanku, baru sekali saja aku mengunjunginya. Dan selama seminggu itu juga, cuaca di kota Bandung tidak pernah bersahabat. Di penghujung akhir tahun, seperti yang sudah kukenal dengan kota ini, hujan selalu saja bisa turun selama seharian penuh, walaupun itu hanya rinai-rinai gerimis. Tapi, hari ini sungguh teramat cerah. Bahkan, Jahja, kawanku, yang menampungku di rumahnya, menyuruhku untuk keluar sebentar. “Pergilah ke alun-alun, atau ke Asia Afrika,” katanya, untuk sekadar menggirangkan hatiku yang selama bertahun-tahun mengalami keterpurukan. 

Sebelum dia berkata begitu, tadinya ingin sekali kuceritakan hasil pertemuanku beberapa hari yang lalu kepadanya. Tapi percuma saja pikirku, karena selama 7 tahun ditambah dengan masa penahananku 14 tahun, aku mengenalnya sebagai pribadi yang tidak mengerti perihal hati orang lain, bahkan hati sahabatnya sendiri. Jadi percuma saja jika aku akan menceritakan panjang lebar masalah ini kepadanya. Paling-paling dia hanya menyuruhku untuk melupakannya dan terus saja menjalani hidup ke depan.

Walaupun begitu, di sisi lain tentu dia punya banyak kebaikan yang tidak mungkin bisa kulupakan. Mungkin, hanya dia orang yang rela menampungku sekembali aku pulang dari pengasingan. Dia tidak peduli dengan stigma yang melekat dalam namaku. Katanya, pintu rumahnya akan selalu terbuka untukku sampai aku benar-benar mendapatkan pekerjaan kembali. Dia juga yang memenuhi seluruh kebutuhanku selama genap seminggu tinggal di sini, dari mulai buku-buku yang kubaca, pakaian yang kupakai, termasuk makanan yang sehari-hari kumakan.

Setelah dia mengatakan itu, tanpa menunggu tanggapanku, dia pergi begitu saja meninggalkanku yang masih terduduk di atas kursi yang menghadap ke meja, yang disediakannya di kamar itu. Ditemani keheningan di kamar itu, pikiranku kembali bergulat dengan pertemuan itu, pertemuan dengan perempuan yang pernah menjadi kekasihku itu. Aku meraih sebuah pensil dan buku tulis yang ada di pojok kiri meja, tak ingin kusia-siakan begitu saja pergulatan yang terjadi di dalam pikiranku itu. Dengan pena di tangan aku mencoba untuk menuliskannya menjadi sebuah cerita pendek yang akan kutulis apa adanya, walaupun terlihat tragis.

***

Bandung, 2 Oktober 1979

Jadi hari itu, setelah tiga hari aku tiba di kota Bandung. Tiga hari itu juga aku disambut dengan hujan yang tiada habisnya mengguyur setiap sudut kota itu, bahkan di gang-gang terpencil rumah Jahja yang tidak jauh dari Terminal Ledeng. Ketika itu aku tengah menyeruput kopi panas bersama Jahja di kamar tempat dia menampungku, cuaca dingin di luar membuat kami enggan untuk keluar dari kamarnya yang hangat. Di kamar itu, kami tengah membicarakan kabar kawan-kawan kami yang lain diselingi dengan gelak tawa yang kadang keluar dari mulut kami berdua. Ada yang sudah menikah, ada yang sudah mempunyai anak, rata-rata dari mereka sudah banyak yang berkeluarga, bahkan banyak yang pindah ke luar kota, sedang Jahja sendiri di usianya yang menginjak kepala 3 sudah puas dengan rumah warisan orangtuanya dan masih belum terpikir untuk menikahi pacarnya.

Di tengah percakapan itu, tiba-tiba saja aku teringat dengan sebuah kertas lusuh yang kutemukan ketika aku tengah membereskan tumpukan pakaianku yang rombeng, yang kubawa pulang dari pengasingan. Kertas itu berisi beberapa buah puisi dan cerpen yang aku tulis semasa pengasingan, dan beberapa lembarnya aku persembahkan pada perempuan yang masih kuanggap sebagai kekasihku itu. Sebenarnya, alasanku datang kemari selain untuk mencari pekerjaan yang layak adalah untuk menemuinya kembali. Fakta bahwa aku kehilangan kedua orang tuaku ketika aku menjalani masa pengasingan, dan adik-adikku di kampung yang malu menampung seorang tahanan politik, menjadi salah satu faktor kenapa aku memilih kembali menginjakkan kaki di kota ini.

Saat itu juga aku langsung menanyakannya kepada Jahja, apakah perempuan itu masih tinggal di alamat lamanya yang ada di Gegerkalong dekat kampus IKIP Bandung. Dia tidak langsung menjawab pertanyaanku itu. Setelah menyeruput kopinya yang telah hangat hingga tandas, dia baru berkata kalau dia ragu perempuan itu masih tinggal di sana, karena dia juga sudah lama tidak mendengar kabarnya. Tapi kalau aku penasaran katanya, datang saja ke rumahnya, lagi pula jaraknya tidak terlalu jauh dari sini, hanya tinggal menyeberangi Jalan Setiabudi saja jika ditempuh dengan berjalan kaki.

Setelah menimbang-nimbang perkataannya, aku putuskan untuk menemui perempuan itu sehabis hujan reda. Tapi alangkah keparatnya, hujan tiada mau sedikit pun mereda. Mereka tetap konsisten berjatuhan dengan rintik-rintik kecil yang jika kita berlama-lama di bawahnya, pakaian kita akan menjadi kuyup. Ketika hari menjelang petang, sekitar pukul setengah tiga. Aku memutuskan untuk menerobos rinai-rinai gerimis, dengan jaket jin dan celana jin potongan cutbrai yang dipinjamkan Jahja, yang katanya sedang tren waktu itu. Aku tidak mengalami hambatan yang berarti selain rinai gerimis yang mulai mengguyur sekujur tubuhku, membasahi tiap inci permukaan pakaianku. Setelah 14 tahun meninggalkan kota ini, aku masih tetap ingat jalan ke rumahnya, sehabis menyeberangi Jalan Dokter Setiabudi, aku tinggal menyusuri Jalan Gegerkalong Girang.

*** 

Aku sampai di depan rumahnya tepat ketika azan Ashar selesai berkumandang. Setelah mengucapkan salam beberapa kali. Akhirnya keluar sosok perempuan dari balik pintu itu. Perempuan yang masih kuanggap sebagai kekasihku itu, yang dulu kupanggil dengan nama Ayu. Dia terkesan terburu-buru, terlihat dari caranya mengenakan kerudung yang kurang rapi. Awalnya aku sudah bisa menebak kalau dia akan kesulitan untuk mengenaliku karena tampilan fisikku yang telah banyak berubah, berbeda dengannya yang masih tetap manis seperti 14 tahun yang lalu.

Setelah aku menyebutkan namaku, dia langsung menyambutku dengan tatapan yang nanar seakan tak percaya kalau aku akan kembali menemuinya. Aku rasa, tadinya dia hendak memberiku pelukan yang hangat, tapi tiba-tiba saja dia berhenti melakukannya, seperti ada sesuatu yang menahannya untuk melakukan itu. Tak lama kemudian kami berdua telah berada di teras rumahnya. Kami berdua duduk saling berhadapan ditemani dengan secangkir teh hangat yang dibuatnya. Seakan direstui oleh sang alam, hujan di luar perlahan mulai berhenti, dan hawa dingin yang tersisa tidak dapat menembus kehangatan obrolan kami.

Walau di dalam obrolan itu dia tak sedikit pun menyinggung tentang masa penahananku. Tapi sesekali aku dapat menangkap, ketika dia dengan pandangan yang iba, memperhatikan rupaku yang telah habis digerogoti oleh sang waktu. Dia perhatikan rambutku yang memutih lebih cepat sebelum waktunya tiba, yang baru saja kucukur pada hari kedua kepulanganku ke kota ini. Dia juga memperhatikan tulang selangkaku yang sekarang lebih menonjol daripada dahulu, ketika terakhir kali dia menjengukku di Penjara Militer Cimahi. Walaupun dari dulu aku memang berperawakan kurus, tapi sekarang terlihat jelas kalau berat badanku menurun teramat drastis.

Tapi semua itu tidak sedikit pun merisaukan hatiku, malah waktu itu ada suatu dorongan dari dalam diriku untuk kembali memulai karierku sebagai seorang penulis, ketika kulihat lagi senyum dan tawa yang keluar dari mulutnya. Aku sudah membayangkan bagaimana nantinya aku akan kembali menjalin cinta dengannya. Aku semakin terbuai dalam suasana itu, tanpa menyadari kalau buaianku itu sudah tidak pada tempatnya. Dan nyatanya semua buaian itu hilang begitu saja, tepat ketika seorang pria datang ditemani dengan lantunan sholawat yang terdengar dari masjid seberang. Dia lantas berdiri menuju gerbang untuk menyambut kedatangan pria itu, dan sesampainya di teras dia mulai memperkenalkan pria itu kepadaku dengan agak canggung. Dan ketika dia mengatakan kalau pria itu adalah suaminya, saat itu juga rasa-rasanya kepalaku terasa berdengung.

Pria itu mengambil kursi dan duduk persis di sampingnya. Setelah itu, tiba-tiba saja dia telah berubah menjadi orang yang asing. Dia lebih banyak diam, sedang aku malah mengobrol dengan pria yang disebut sebagai suaminya itu, yang sungguh aku tidak pernah ingin tahu siapa namanya. Pria itu terus saja menanyakan apa pekerjaanku, di mana tempat tinggalku, di mana aku berkenalan, yang semua pertanyaan itu kujawab dengan sekadarnya tanpa antusias. Lalu, pria itu mulai menceritakan pekerjaannya, bagaimana dia bisa bertemu dengan kekasihku, dan hal-hal lain yang sungguh aku tidak butuh tahu jawabannya. Tapi, dari pria itu kuketahui kalau mereka telah menikah genap hampir 10 tahun lamanya, itu berarti ketika aku tengah menjalani tahun-tahun pertamaku di pengasingan yang penuh dengan kesukaran.

Suasana obrolan yang tadinya hangat seketika berubah menjadi teramat dingin, sedingin hawa yang ditinggalkan oleh rintik-rintik hujan tadi sore. Teh yang berada di atas meja pun sudah tidak kusinggung lagi, karena sudah tidak memberikan efek kehangatan ke dalam diriku. Lama-kelamaan, karena merasa tidak nyaman, aku memutuskan untuk berpamitan ketika azan Magrib berkumandang. Awalnya mereka mencoba menahanku, dan menyuruhku untuk makan terlebih dahulu, tapi aku tetap memaksa untuk pergi dengan alasan ada suatu pekerjaan yang mesti kukerjakan.

Sesampainya aku di luar gerbang rumahnya, aku baru teringat dengan beberapa pucuk kertas berisi puisi yang telah kutuliskan khusus untuknya, yang sedari berangkat telah kusimpan di saku jaketku. Tadinya aku berniat memberikannya sebelum berpamitan, tapi rasa-rasanya aku tidak akan pernah menginjakkan kaki kembali ke rumah ini. Lagi pula semuanya sudah selesai, dan tidak ada yang bisa disalahkan. Lalu, ketika aku kembali menyusuri Jalan Gegerkalong Girang tanpa suasana hati yang girang. Lembaran kertas itu kurobek-robek sampai menjadi potongon-potongan kecil dan kutaburkan sepanjang jalan aku meninggalkan rumahnya. Kertas itu pun perlahan-lahan hancur dilumat oleh air hujan yang masih menggenangi permukaan aspal di jalan itu.

***

Bandung, 6 Oktober 1979

Cerita ini akhirnya selesai, tepat ketika Jahja datang kembali menemuiku di kamar untuk memberitahukan kalau sarapan sudah tersedia di ruang depan. Seakan mendengar seruan itu, perutku tiba-tiba saja memainkan instrumen keroncong yang membuat tubuhku menjadi lemas. Aku bangkit dan meninggalkan kamar itu. Tapi ada satu hal penting yang terlupa, aku lupa memberi judul untuk cerita itu. Dengan pensil aku menulis di bagian atas kertas, “Setelah 14 Tahun”. Ya, setelah 14 tahun adalah judul yang cocok untuk cerita itu, setelah 14 tahun aku kehilangan semuanya, karierku sebagai seorang penulis, kekasihku yang terlalu lama menunggu, kedua orang tuaku yang telah tiada, beberapa kawanku yang telah berkeluarga. Semua itu telah raib begitu saja, tanpa aku sempat menikmatinya.

Cibubur, 22 November 2021

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Gielangbina

Cerpenis kelahiran Jakarta, suka sejarah