Stories

WISNU JOKO CAHYONO INGIN PERJUANGKAN KESEJAHTERAAN ART DIRECTORS AGAR LEBIH TERJAMIN

Kali ini kita bakal temui sosok art director di balik Rewind Indonesia 2021, Wisnu Joko Cahyono. Gimana sih perjalanannya di industri kreatif? Simak hasil wawancara Froyonion di bawah ini, Civs.

title

FROYONION.COM - Telah makan asam garam di industri periklanan, Wisnu Joko Cahyono kemudian masuk ke posisi baru: art director. Dan kini ia sudah 8 tahun menggeluti pekerjaan ini.

“Pertama saya ikut kerja ke seorang director yang lebih senior, namanya Pak Yus Rajab. Saya diajak dalam proyek video clip album pertama band Naff,” kenangnya.

Singkat cerita ia ditawari untuk belajar jadi art director yang bertanggung jawab merancang set sekalian di proyek tersebut dan ia menyanggupi tawaran tadi. Dan dari sana perjalanannya sebagai art director dimulai.

Lulus kuliah dengan beasiswa di Sydney, Australia, Wisnu muda kuliah di jurusan Graphic Design. Sayangnya ia mengaku nggak betah kuliah di sana. Belum sempat mengantongi ijazah S1 tapi ia sudah ingin pulang ke tanah air.

Ia kembali ke Indonesia bulan November sehingga sudah telat untuk daftar dan masuk kuliah. 

“Ya udah gue daftar kuliah jurusan apa aja deh yang penting masih buka pendaftaran,” ujarnya.

Akhirnya ia mendarat di jurusan Teknik Industri, Itenas. Dan di situ ia berhasil lulus S1.

Begitu lulus, Wisnu langsung diajak kerja oleh sebuah perusahaan animasi.  Setelah itu selama 4 tahun ia bekerja di industri animasi.

Simak petikan obrolan Froyonion Kamis, 9 Desember 2021 lalu dengan pemilik akun Instagram @wisnujc ini.

“Bagaimana konsep Rewind Indonesia tahun 2021 ini?”

Sebenernya konsep yang ingin diangkat ialah hutan. Tapi karena tak memungkinkan untuk syuting langsung di dalam hutan beneran, kita siasati dengan membuat hutan buatan di studio. Jadinya semuanya harus dibuat. Batu dan pohon saja harus dibuat tiruan atau mockup-nya. Tapi beberapa cabang pohon memang asli. 

“Tantangannya apa dalam proses syuting Rewind Indonesia kali ini?”

Tantangannya waktu pengerjaan. Kita harus mengejar waktu. Waktu di set cuma 5 hari dan ternyata dengan jumlah kru yang ada, nggak cukup untuk mengejar tenggat waktu. Maka diputuskan buat nambah orang. 

Dalam perjalanan juga banyak biaya ekstra, misalnya aja membuat banyak mockup dan membuat perkiraan anggaran juga cuma bisa pakai estimasi. Contoh simpel aja nih, 1 pohon tiruan di awal kita bayangin cuma butuh 10 lusin daun nih, ternyata kok keliatan kurang rindang ya? Haha ya udah kita kudu nambahin lagi.

Yang paling menantang adalah pas harus buat air terjun yang deras kayak kemarin. Ternyata salah pilih pompa jadi airnya kurang deres. Akhirnya harus cari lagi. Untung ketemu dan hasilnya jadi bagus.

“Tim apa yang biasanya kurang di-highlight saat proses syuting?”

Tim art biasanya yang nggak ke-highlight. Art director dan director biasanya lebih dikenal. Padahal ya kalau dipikir-pikir, peran tim art ini nggak kecil. Kalau udah ada cameraperson yang bagus, director bagus, talent yang oke, wardrobe mahal, makeup cantik, tapi nggak ada set-nya juga nggak bakal bisa syuting kan?

Gue berharap Indonesia punya serikat/ perkumpulan pekerja seni sehingga kesejahteraan mereka bisa lebih bisa terjamin. Bisa diusahakan ada penyamaan waktu kerja, tunjangan hidup dan sebagainya. Itu yang gue pengen perjuangin. Kalau komunitasnya sih sudah ada. Namanya Indonesian Film Art Directors (IFAD). Perjalanan masih jauh dan sekarang sih gue harap walaupun gue nggak bisa ngerasain tapi nantinya yang mau jadi art director kerjanya jadi lebih enak daripada sekarang.

“Apa bedanya komunitas dan serikat?”

Kerjanya serikat lebih bisa diakui pemerintah daripada komunitas. Sebenernya cuma sedikit pekerja seni yang diakui oleh pemerintah, mungkin cuma 20% aja. Banyak art director yang belum terdaftar dan diakui pemerintah jadi pas pandemi yang dapat bantuan dari pemerintah ya baru sedikit. Itu karena sisanya ya emang nggak terdeteksi dan nggak terdaftar juga. Belum ada yang mengurusi.

“Selama pandemi ini apakah dampaknya ke profesi art director?”

Alhamdulillah sih kemarin 2020 pas Covid itu masih ada kerjaan datang. Dua minggu aja liburnya. Tapi ya memang terasa ada penurunan kerjaan. Sebulan bisa 2-3 project aja.

Dan pas pandemi kan juga prosedur syuting lebih ketat. Jumlah krunya harus dibatasi, dilakukan tes dulu sebelum mulai kerja. Meski lebih ribet tapi masih tetep kerja.

Di situasi pandemi begini, klien-klien kan tetep aja nggak bisa berhenti ngiklan. Para klien justru bertanya ke production house: “Kalian berani nggak syuting di situasi kayak gini?”

Ambil contoh aja, kalau ada klien mau rilis seri handphone baru, mana bisa jualan kalau nggak ada iklannya?

Syukurnya pas Agustus 2020 mulai ada edaran pemerintah buat membolehkan syuting dengan syarat-syarat protokol kesehatan ketat.

Apa project yang paling berkesan selama menjalani profesi art director?”

Di dunia iklan ini sebenernya udah lama banget dari 2003. Dari kerja sebagai visualizer, prop buyer, prop masterassistant art director sampai art director. 

Saat jadi art director udah nggak bisa menuruti idealisme dan ego gue sendiri. Jadi apapun yang gue kerjain asalkan anggaran cukup, klien seneng, gue udah puas. Nggak lagi ngejar apa yang gue mau. Karena gue kerja di sini buat cari nafkah, bukan kepuasan dalam berkarya. 

Karena gue sadar juga kalau di sini (profesi art director) bukan tempat untuk berkarya sesuai ego. Kalau mau berkarya kayak gitu bisa jadi sutradara film aja buat ngeluarin ide-ide lu sendiri secara bebas.

Di dunia iklan, seorang art director harus berhadapan dengan agensi dan klien yang punya keinginan masing-masing dan mereka yang memiliki anggaran/ duit. Jadi karena keputusan terakhir di tangan mereka, standar dan selera mereka yang jadi patokan.

Gimana perkembangan dunia iklan Indonesia sekarang?”

Kalau sekarang karena udah ada internet, kerja jadi lebih cepat. Kalau dulu kan lambat banget. Kalau dulu harus fotokopi, scan, buat bikin slide. Sekarang udah nggak perlu.

Tapi kalau dari segi anggaran, justru ada penurunan drastis. Sebagai gambaran aja, satu iklan untuk urusan art-nya bisa Rp1,6 miliar dulu. Belum budget untuk lighting, kamera, dan lain-lain. Tapi sekarang dapet project di atas Rp100 juta aja jarang dalam sebulan. Pasti rata-rata sekitar Rp90 jutaan kalau syuting sehari. Budget memang mengecil tapi demand masih tinggi kok.

Art director yang oke itu menurut gue harus bisa pake budget dikit tapi tetep bagus di mata orang. Art director bisa minta apa aja ke produser karena anggaran emang ada. 

Art directors yang hebat dan gue idolain ada sih beberapa dari luar negeri. Mereka gue anggep hebat karena mereka kalau bikin set bisa detail banget dan set itu bisa ‘berbicara’ dengan sendirinya tanpa harus dijelaskan dengan kata-kata. Misalnya nih pas bikin set kamar orang yang udah meninggal. Tanpa dijelaskan, detail-detail di set itu udah bisa menjelaskan bahwa itu kamar milik seseorang yang udah almarhum. 

Triknya adalah mix and match barang-barang yang lu udah punya sama barang yang bisa disewa. Jadi keliatannya masih tetep bagus. Karena kalau mau sewa semua atau beli semua, udah nggak memungkinkan. 

“Ada nggak saran buat anak-anak muda yang ingin menjadi art director?”

Saran gue sih, kalau lu sekolahnya udah di bidang yang sesuai, bagus. Tapi kalau nggak pun, masih ada kesempatan buat belajar.

Gue sendiri dulu kan nggak sekolah yang proper buat jadi art director. Cuma karena gue masih mau belajar ya bisa jadi kayak sekarang. Banyak nanya ke orang yang lebih berpengalaman, ngelakuin riset dan cari literatur sendiri.

Lebih bagus lagi kalo bisa magang di tim art yang udah ‘jadi’. Biar lu tau prosesnya seperti apa. Sekolah manapun nggak masalah asal nanti lu ngembangin ilmu itu gimana. (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Akhlis

Editor in-chief website yang lagi lo baca