Stories

KARINA NASYWA: 'FESYEN ITU BUKU SEJARAH, SAKSI DARI APA YANG TERJADI DI SUATU MASA'

Perjalanan seorang desainer muda dari kota kembang ini mengembangkan dirinya patut diikuti bagi Civs yang ingin menekuni bidang serupa. Di sini Karina Nasywa membagikan perjalanannya menjadi seorang desainer fesyen sejak masih mahasiswa, proses kreatifnya, hingga ketertarikannya pada konsep fesyen berkelanjutan.

title

FROYONION.COMDunia fesyen adalah dunia yang amat jauh bagi gue pribadi. Ngeliat fashion show di tayangan televisi ataupun YouTube nggak lebih dari sekedar mengagumi para model dengan busana-busana unik yang sulit untuk gue pahami konsepnya. Yang kayak gitu aja gue ga ngerti, apalagi kalo ditanya tentang kostum-kostumnya Lady Gaga. Semua hal ini membuat gue berpikir, apa iya orang-orang di dunia fesyen itu punya level kreativitas di luar akal?

Untuk menjawab itu, kali ini gue berkesempatan untuk ngobrol sama Karina Nasywa tentang proses kreatif yang terjadi di balik industri fesyen dan juga soal nilai-nilai sustainable fashion yang dia banyak terapkan di dalam karyanya.

Karina Nasywa atau yang akrab disapa Karina, adalah perempuan 23 tahun yang sekarang berprofesi sebagai Junior Designer di Studio Moral. Sebelum berkarier di Moral yang terkenal punya koleksi-koleksi yang unik, Karina adalah seorang mahasiswi Jurusan Kriya Tekstil di Institut Teknologi Bandung. 

Kecintaannya terhadap dunia fesyen sendiri nggak lahir begitu aja, tapi melewati berbagai proses dan cerita yang pada akhirnya membuat dia yakin untuk mendalami fesyen. 

“Awalnya di Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB itu ada 5 jurusan yang bisa diambil. Ada Desain Interior, Desain Produk, Seni Rupa, Kriya, dan DKV. Di semester awal gue masih belajar tentang semua hal sebelum nantinya akan masuk ke penjurusan. Waktu penjurusan gue menimbang-nimbang untuk ambil kriya, tapi di kriya sendiri ada penjurusan lagi yaitu keramik dan tekstil. Sempet bingung juga tuh mau ambil yang mana, tapi akhirnya gue ambil Kriya Tekstil,” cerita Karina saat ditanya tentang masa kuliahnya. 

Tekad Karina untuk menekuni bidang fesyen sendiri baru lahir di tahun ketiga saat ia kuliah. Berawal dari suka belajar beberapa mata kuliah fesyen seperti Sejarah Fashion dan berkesempatan untuk jadi salah satu mahasiswi yang terpilih untuk terjun langsung melihat bagaimana dunia fesyen tersebut melalui Jakarta Fashion and Food Festival (JFFF), akhirnya Karina yakin kalau fesyen akan jadi hal yang dia dalami hingga saat ini. 

“Waktu itu tahun kedua gue kuliah. Tiba-tiba diajak sama salah satu asisten dosen untuk jadi fitter di JFFF. Fitter itu adalah orang yang membantu para desainer di balik panggung untuk masangin baju dan aksesoris sebelum nantinya ditampilkan. Itu pengalaman pertama gue kerja di backstage dan ngeliat kerja di dunia fesyen itu kayak gimana. Kesan gue woah banget, padahal belum ngerasain rasanya mendesain, produksi, dan lain sebagainya,” jelas Karina menceritakan pengalamannya pertama kali nyemplung di dunia fesyen. 

DARI KONSEP HINGGA PRODUK 

Akhirnya setelah pengalaman pertama tersebut, Karina banyak mengalami beberapa program magang. Seperti halnya para mahasiswa, magang bisa jadi jembatan dan gambaran awal tentang dunia kerja. Dari yang tadinya belajar teori-teorinya, lewat magang jadi bisa belajar prakteknya. 

Magang pertama Karina jatuh kepada sebuah perusahaan aksesoris fashion yang dikenal produk-produknya yang sangat memperhatikan keberlangsungan alam, yaitu Noesa.Di tempat inilah pertama kalinya Karina belajar tentang apa itu sustainable fashion dan bagaimana cara mengaplikasikannya. 

Setelah itu Karina berkesempatan magang di Mad for Makeup sebagai Creative Intern sebelum akhirnya kini ia berkarier di Studio Moral. 

Melalui pendidikan yang fokus mempelajari fesyen hingga mendapat berbagai pengalaman dari ahlinya membuat Karina jadi sadar kalau konsep adalah kunci terpenting dalam mendesain. 

“Menurut gue semua proses dalam fashion Itu bermula dari konsep. Gue cukup beruntung waktu kuliah sangat diajarkan bagaimana cara menciptakan konsep yang kuat. Dan hal itulah yang nantinya akan sangat membantu gue dalam berkarya. Kalau desainer-desainer lain mungkin lebih ahli di bidang teknikal seperti teknik jahit dan sebagainya. Gue pribadi masih belajar soal itu, tapi bagi gue konsep yang kuat itu kunci,” kata penggemar anime-anime buatan Studio Ghibli ini.

Menilik berbagai karya-karyanya, memang harus diakui bahwa Karina adalah salah satu fashion designer yang menghabiskan cukup banyak waktu untuk meneliti dan mengkaji berbagai informasi yang dibutuhkan dalam setiap karyanya. 

Salah satu karya Karina adalah sebuah koleksi berjudul In Full Bloom. Karya ini dibuat dalam rangka tugas akhir waktu kuliah. Tapi bukan cuma sekedar tugas akhir dengan prinsip ‘yang penting beres’, Karina justru all out dalam membuat karya satu ini. 

Dalam koleksi In Full Bloom ini terinspirasi dari salah satu film karya Wong Kar-wai, seorang sutradara film asal Hongkong. In The Mood For Love adalah film yang menjadi inspirasi koleksi ini.

“Gue suka nonton film, jadi karya-karya gue juga kurang lebih ada yang terinspirasi dari film. Salah satunya koleksi yang gue buat waktu TA, In Full Bloom. Cara aku mendesain kalau terinspirasi dari film juga bukan dengan ngeliat kostum yang dipakai sama aktor atau aktrisnya. Tapi lebih ke mood yang ada di film itu. Bahkan motif di wallpaper dinding sampai bentuk lantainya juga bisa diadaptasikan dalam sebuah desain,” jelas Karina yang juga seorang fans Wong Kar-wai. 

Dari film tersebut, Karina membuat enam desain. Dari enam desain tersebut, tiga di antaranya diproduksi menjadi busana siap pakai, sedangkan tiga lainnya divisualisasikan secara digital.  

Ada beberapa proses kreatif yang dilakukan Karina dalam mewujudkan karyanya. Semua berawal dari konsep, di mana seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya konsep merupakan hal penting dalam desain karyanya. Dalam menyusun konsep tersebut, seorang fashion designer juga harus memikirkan tema apa yang ingin diangkat dan apa cerita yang ingin disampaikan serta bagaimana mengaplikasikannya dalam karya fesyen sehingga nantinya karya tersebut tidak hanya menjadi busana tapi juga bisa menjadi media komunikasi. 

Sketsa awal dari koleksi In Full Bloom (Foto: Karina Nasywa)

Kalau biasanya orang lain bisa pusing banget kalau disuruh ngulik ide, Karina justru sangat menikmati sesi brainstorming. 

I had fun loh during brainstorming! Karena biasanya gue berangkat dari hal yang gue suka. Selain film, gue juga suka dengerin musik. Gue juga suka membuat karya dan desain yang lebih ke arah scientific, kayak bunga, hewan, dan lain-lain. Karena lebih mudah aja researchnya. Misal gue membuat design yang banyak menampilkan bunga. Dalam prosesnya gue melakukan banyak penelitian tentang bunga itu jenis apa, asalnya dari mana, karakteristiknya seperti apa. Menurut gue itu fascinating sih,” jelasnya.

Langkah ini tidak berhenti di konsep aja, tapi juga perlu dikembangkan. Berbagai sketsa digambar berulang kali sampai ketemu yang paling pas. Setelah itu baru dikurasi sketsa mana aja yang bakal lanjut ke tahap selanjutnya. Abis itu baru masuk ke tahap awal produksi seperti membuat sampling dengan kain mock-up. Tujuannya supaya bisa lebih ke gambar secara nyata, tes bahan, dan bisa tahu bagian mana aja yang kurang. Setelah itu banyak quality check dilakukan sampai akhirnya diproduksi dengan bahan yang sesungguhnya dan siap dipakai. 

Dalam tahap produksi tersebut Karina juga bilang kalau skill untuk bisa menerjemahkan keinginan fashion designer kepada penjahit. Hal ini juga nggak kalah penting supaya nggak terjadi miskomunikasi dan karyanya bisa maksimal. 

Selain terinspirasi dari film, Karina juga pernah terinspirasi dari suatu memori. Ia menyebutkan bahwa ia ingin membuat suatu karya yang terinspirasi dari foto-foto masa kecilnya. Nantinya, karya ini akan jauh lebih personal karena diangkat dari pengalaman pribadinya. 

“Kalau terinspirasi dari suatu memori, proses gue menerjemahkan kurang lebih juga sama kayak gue nonton film. Misal gue ada foto masa kecil waktu gue ulang tahun. Di situ ada badut, didominasi warna-warna tertentu, gue lihat mood-nya bagaimana, apakah bahagia aja atau juga ada harunya. Faktor-faktor itu yang gue lihat dan nantinya gue tuang dalam desain gue,” kata perempuan yang gemar backpacking. 

Proses ini selalu dilakukan Karina dalam mengembangkan karya-karya fashionnya. Suatu hal yang menarik adalah bagaimana Karina sebagai fashion designer bisa menerjemahkan konsep dan imajinasinya ke dalam bentuk karya hingga nantinya diproduksi. Mungkin apa yang dilakukan Karina ini bisa dibilang a process to a realization of wearable art (proses membuat karya seni yang bisa dipakai). 

Bagi Karina, semua karya yang dibuatnya selama ia menjadi fashion designer ini juga merupakan suatu media komunikasi untuk menceritakan apa yang ia lalui. Karya-karya ini bisa jadi saksi bisu dari apa yang terjadi di suatu masa yang kita hidupi. 

“Menurut gue fashion is a crazy dystopian story about the pathing of time. Maksudnya, karya-karya dalam dunia fesyen itu pasti identik sama apa yang lagi tren, apa yang terjadi di masa itu. It’s a history book,” kata Karina. 

Masih terus berkarya di dunia fesyen, Karina terus mengasah kemampuan dan kreativitasnya dalam mendesain. Terlebih lagi, Karina juga selalu mencoba untuk menerapkan sustainable fashion dalam karya-karyanya. 

FESYEN BERKELANJUTAN: LEBIH DARI SEKEDAR MATERIAL

Selain proses kreatif di balik industri fesyen itu fascinating, fenomena sustainable fashion atau fesyen berkelanjutan juga nggak kalah menariknya.

Permasalahan lingkungan adalah salah satu masalah global yang pengennya sih dihadapi bersama. Sekian banyak rancangan dan upaya untuk mengatasi permasalahan ini sudah dilakukan sama masyarakat global. Mulai dari reboisasi, social campaign, sampai munculnya ikon aktivis lingkungan seperti Gretha Thunberg.  

Ternyata permasalahan lingkungan ini juga bisa berasal dari fashion industry yang juga turut memberikan sumbangan limbah dan jejak karbon kepada lingkungan. Berita mengenai pabrik garmen yang mencemari air dan udara lewat waste management yang nggak baik juga kerap ditemukan. Makanya, muncullah konsep sustainable fashion yang diharapkan dapat mengurangi kerusakan alam yang ditimbulkan industri fesyen. 

Berawal dari magang di Noesa yang notabene udah pakem banget menerapkan sustainable fashion lewat memproduksi produk-produk berkualitas tinggi lewat bahan yang ramah lingkungan (kayak katun, linen, wol, dan sebagainya), pakai pewarna alami, bahkan juga memberdayakan para penenun-penenun untuk sekaligus melestarikan budaya. Dari sinilah Karina pertama kali belajar menerapkan sustainable fashion. 

Selain mewujudkan gerakan fesyen berkelanjutan lewat material yang ramah lingkungan, Karina juga belajar bahwa memberdayakan tangan-tangan yang terlibat dalam terciptanya suatu karya fashion itu juga termasuk dalam mewujudkan sustainable fashion. 

“Dulu waktu masih magang di Noesa gue sempet video call sama ibu-ibu penenun yang ada di Maumere. Itu kesempatan pertama gue untuk bisa berkomunikasi sama mereka, ngeliat bagaimana mereka membuat kain-kain tenunan, juga ngeliat bagaimana kehidupan mereka. Menurut gue ini hal berharga dan penting untuk mewujudkan sustainable fashion, karena dengan kita menghargai para pekerja fesyen (termasuk para penenun lokal), trade them fairly (termasuk memberikan bayaran yang layak) juga nggak kalah penting dari memperhatikan bahan baku sebuah desain itu natural atau nggak,” jelas perempuan kelahiran Bandung ini. 

Karina sendiri banyak menekankan betapa pentingnya memberdayakan komunitas sebagai salah satu bagian dari perwujudan sustainable fashion. Bagi Karina, jika komunitas-komunitas baik dari yang lokal seperti penenun di Maumere sampai pekerja profesional di bidang industri fesyen harus sama-sama diberdayakan. Jika bekerja sama dengan pengrajin lokal, bukan hanya sustainable fashion yang dapat diwujudkan, namun juga memberdayakan masyarakat dan melestarikan budaya. 

Setelah magang di Noesa, Karina berkesempatan untuk sekali lagi menjalani program magang di Mad for Makeup. Melalui pengalamannya di magang kali ini, Karina juga belajar bagaimana cara engage dengan komunitas. Sekali lagi belajar saling memberdayakan dan memanusiakan manusia dalam dunia fesyen, menjadi pelajaran yang bermakna bagi perempuan satu ini. 

Hingga kini saat bekerja di Studio Moral, ia juga masih berusaha untuk selalu menerapkan prinsip-prinsip fesyen berkelanjutan. Selain belajar engage sama komunitas, salah satu cara Karina dalam menerapkan fesyen berkelanjutan adalah dengan lebih memperhitungkan kebutuhan akan material. 

“Setelah kenal sama sustainable fashion gue jadi bisa lebih memperkirakan berapa banyak bahan yang gue butuhin. Mulai dari kain, benang, kancing, dan lain-lain. Soalnya tahap pilih-pilih bahan itu suka menggoda. Kadang pengen beli apa yang lucu, padahal nggak butuh. Gue beruntung sih bisa belajar banyak soal sustainable fashion,” jelas Karina yang juga suka astrologi dan tarot. 

Tapi dalam industri fesyen, Karina juga bilang kalau nggak bisa selalu menerapkan 100% prinsip-prinsip fesyen berkelanjutan. 

“Dalam prakteknya, kadang kita nggak bisa selalu pakai kain yang natural atau juga pewarna alami. Menurut gue, pemakaian bahan-bahan yang nggak ramah lingkungan itu nggak apa-apa, asalkan bener-bener diperhitungkan kegunaannya. Sebisa mungkin produknya tetep high quality, long-lasting, dan nggak mass production.

4 CARA JADI PELAKU FESYEN BERKELANJUTAN BAGI ORANG AWAM FESYEN

Tibalah saatnya kita ngebahas kemungkinan-kemungkinan apa aja yang bisa tetep kita lakuin untuk menerapkan fesyen berkelanjutan. Walaupun nggak ngerti fesyen sekalipun, peduli sama apa yang kita pakai juga nggak ada salahnya kok. 

Pertama, thrifting atau belanja baju bekas. Sebenernya hal ini termasuk tren di kalangan anak muda Indonesia. Udah banyak banget toko-toko yang dari dulu menjajakan pakaian bekas yang masih layak pakai. Misal di Pasar Baru, Pasar Senen, Gedebage, atau bisa juga ‘ngawul’ di depan rumah orang. 

Belanja baju bekas nggak se’hina’ itu kok, karena di tengah PPKM yang nggak beres-beres ini, lo masih bisa thrifting lewat online shop. Selain mudah karena cuma tinggal scroll, milih, dan bayar, pelayanan yang ditawarin sama para online shop ini juga oke. Udah di-laundry, siap pakai, kadang ngasih bonus gratis juga, dan banyak diskon.

Tapi Karina juga berpesan supaya nggak ngeborong kalau lagi thrift shopping. 

Sebenernya thrifting itu bisa jadi pilihan, tapi kalau belinya ngeborong dan masif juga jadi percuma. Karena nanti ujung-ujungnya pasti ada masa bosen dan akhirnya nggak kepake. Jadi saran gue, mending thrifting pakaian yang high quality. Dengan gitu jadinya bisa lebih tahan lama dan rasanya pasti jauh lebih puas,” saran Karina.

Kedua, perhatiin material pakaian yang lo pake. Indonesia itu kayak peti harta karun berisi bahan baku katun, kain yang ramah lingkungan. Dengan lo pakai pakaian dengan bahan yang natural, lo juga udah turut berkontribusi untuk menerapkan fesyen berkelanjutan, kok. 

Ketiga, donasiin baju yang udah jarang lo pake. Coba deh lo declutter lemari lo dan misahin mana baju yang sering dan jarang lo pake. Setelah terkumpul, lo bisa donasiin pakaian-pakaian yang masih layak pakai ke orang-orang yang lebih membutuhkan. Bisa ke panti asuhan, organisasi lain, saudara yang butuh, atau bisa juga tetangga yang lo liat kayaknya pakai baju partai melulu. Percayalah, hal kecil yang lo lakuin ini bisa sangat berarti buat mereka. 

Keempat, support brand-brand yang mempromosikan sustainable fashion. Fashion brand yang menerapkan prinsip-prinsip fesyen berkelanjutan harus diakui udah ngambil langkah yang berani. Soalnya bikin brand yang menerapkan fesyen berkelanjutan itu selain sulit, juga mahal, coy. Jadi nggak ada salah dan ruginya untuk mendukung mereka. 

Itu tadi beberapa cara yang disaranin sama Karina supaya kita, orang-orang yang awam fesyen, juga bisa berkontribusi dalam mewujudkan fesyen berkelanjutan. 

Sustainability di fashion itu adalah proses untuk menaikkan awareness kita terhadap community dan environment. Menurut gue langkah yang pentingnya itu menaikkan awarenessnya dulu. Udah sadar akan pentingnya sustainable fashion, menurut gue itu langkah yang bagus kok,” kata Karina. 

Gue harap sampai sini bisa cukup jelas kalau dunia fesyen itu bukan cuma soal hal-hal glamour dan bling-bling yang kelihatan dari luar aja. Di baliknya, ada proses kreatif yang juga berat dan pastinya sangat menarik. Dan jauh di dalamnya, ada aktor-aktor seperti Karina yang menyuarakan tentang pentingnya menyadari apa dampak dari sandang yang kita pakai kepada kelestarian alam. 

Tenang, nggak perlu buru-buru. Kalau kata Tantri ‘Kotak’, pelan-pelan aja. Yang penting sadar aja dulu, Civs. Langkah-langkah selanjutnya bisa lo sesuain sama kemampuan lo pribadi nantinya. (*/Grace)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Grace Angel

Sehari-hari menulis dan mengajukan pertanyaan random ke orang-orang. Di akhir pekan sibuk menyelami seni tarik suara dan keliling Jakarta.