Stories

GLENN MARSALIM: “PRIORITASKAN PEMBANGUNAN EKOSISTEM DAN STANDARISASI UMKM”

Jutaan UMKM di Indonesia sedang menjerit karena terhimpit. Termasuk Glenn dan brand MGKYM miliknya yang mencoba bertahan dengan tetap berjualan tanpa mengesampingkan empati sambil berkontribusi pada mereka yang terdampak pandemi. Tapi daripada saling maki, ia mengajak kita gunakan momen ini untuk cari solusi.

title

FROYONION.COM - Menyukai dunia kreatif tak berarti menutup diri dari bidang lain. Karena justru seseorang bisa mendapatkan lebih banyak inspirasi dan pelajaran dalam perjalanan kreatifnya.

Seperti Glenn Marsalim yang meski saat kuliah menekuni Desain Grafis malah memilih pramusaji (waiter) sebagai pekerjaan pertamanya. Bukannya memilih magang di agensi atau di perusahaan yang memberikan posisi yang lebih sesuai dengan latar belakang pendidikannya.

Sekitar akhir dekade 90-an hingga awal 2000-an ia masih lulusan baru (fresh graduate), ia mulai terjun ke dunia kerja sebagai waiter

“Keren aja keliatannya (kerja jadi waiter – pen),” ucap pria yang menikmati aktivitas memasak di rumah selama pandemi ini.

Pekerjaan pertama Glenn itu ternyata mempersiapkan dirinya ke dunia kerja yang lebih luas. Dari pekerjaan waiter itu, ia mengenal banyak ragam manusia dengan segala kepribadian dan tingkah lakunya. 

Satu pelajaran yang ia sendiri pelajari saat itu ialah nggak boleh belagu saat kita punya kelebihan. Meski ia lancar berbahasa Inggris, ada sebagian rekan kerja yang tak bisa berbahasa Inggris. Dan di lingkungan kerja tersebut memang waiter yang bisa berbahasa Inggris bisa mendapat apresiasi lebih dari tamu-tamu yang kebangsaannya bisa bermacam-macam.

“Dan kita nggak bisa belagu. ‘Ih aku nggak mau gaul ama temen yang gak bisa bahasa Inggris’. Nggak bisa gitu. Harus saling bantu,” ucapnya.

Pelajaran kedua ialah ia bisa berempati dengan mereka yang sedang mengeluhkan sulitnya bertahan hidup selama pandemi. Menjalani profesi waiter membuat Glenn paham betul bahwa kerjaan kayak gini memang sulit untuk menjadi sandaran hidup satu-satunya. 


 

DARI COPYWRITER KE ART DIRECTOR

Suatu hari Glenn melayani seorang tamu dari Singapura. Ia menggunakan bahasa Inggris untuk berkomunikasi dan sang tamu menawarinya sebuah posisi copywriter di sebuah agensi.

“Dia bilang bahasa Inggrisku bagus, lalu nanya aku mau nggak kerja di tempat dia aja. Aku bilang mau. Peningkatan gaji kan. Kenapa nggak?”

Setelah diterima bekerja sebagai copywriter, Glenn baru menyadari bahwa pekerjaan itu lebih mirip penerjemah daripada copywriter. Ia bertugas menerjemahkan skrip dalam bahasa Inggris yang dibuat seorang creative director.

Saat bekerja di agensi Singapura ini, Glenn duduk satu kubikel dengan seorang art director. Saat Glenn mulai bekerja sebagai copywriter di awal abad ke-21, digitalitasi mulai kencang melanda dunia kreatif Indonesia. 

Agensi tempatnya bekerja juga mulai menerapkan komputerisasi di lingkungan kerja. Mereka mulai bertransisi dari metode konvensional. 

Art director yang menjadi rekan kerjanya ini sudah mulai bekerja dengan komputer. Tentu ia yang masih di level junior itu belum paham bagaimana me-layout dengan komputer. Tapi ia tak malu untuk mulai belajar. Glenn perlahan-lahan belajar dari art director itu tentang bagaimana melakukannya.

“Satu hari art director itu berantem dan ada deadline. Lalu aku bilang: ‘Kayaknya aku bisa deh (menyelesaikan deadline – pen)’,” ingatnya.

Pelan-pelan ia mencoba mengoperasikan komputer milik art director itu meski dengan kemampuan yang masih terbatas karena belajar secara otodidak. Dan ia berhasil menyelesaikan deadline itu.

Dari pengalaman itu ia makin gigih berlatih bekerja dengan komputer sambil menimba pengalaman sebagai penata kata, sampai kemudian dipromosikan menjadi art director.

Setelah itu, dirinya ‘bertualang’ dari satu agensi ke agensi lain dan tibalah ia di suatu titik di mana ia merasa nggak bisa lagi kerja bareng-bareng orang lain. Ia pun memutuskan menjadi seorang pekerja lepas (freelancer).

“Setelah lama bekerja di agensi-agensi, aku merasa kok kurang nyaman di lingkungan kerja yang bersama,” ungkap Glenn yang merasa bahwa penyebabnya adalah karena ia pribadi yang lebih nyaman bekerja sendiri dan introvert.

Sejak memutuskan bekerja sendiri 12 tahun lalu. Ia terus menulis copy, membuat layout, dan pekerjaan-pekerjaan lain yang ia sudah biasa lakukan semasa bekerja di agensi-agensi. Ia tak susah mendapatkan klien berkat word-of-mouth dalam jejaring yang sudah terbangun sejak ia bekerja di sejumlah agensi. 

“Wah enak ya kerja sendiri?” Nggak juga. Meski merasa lebih bebas bekerja sendiri, ia mengaku menjadi pekerja lepas lebih capek karena harus melakukan banyak peran dan tugas sekaligus.  “Jadi creative sendiri, account juga, finance, sampai kurir,” tuturnya jujur. 

Sebagai pekerja kreatif, ia sering tidak bisa memisahkan antara waktu libur dan waktu bekerja karena menurutnya sama saja. Baginya, waktu rehat dan berkarya yang tak bisa dipisahkan secara jelas ini malah jadi berkah. Bukannya musibah.

“Jadi kalau saat PPKM begini orang pada kerja di rumah dan kaget kalau kerjaan jadi nambah, itu buatku bukan hal baru lagi. Dari dulu juga sudah begitu,” celetuknya menyinggung tren kerja dari rumah (working from home) yang terpaksa muncul akibat meledaknya jumlah kasus dan tingkat penularan Covid-19.

 

BERKAT NASI AYAM

Kira-kira sejak 10 tahun lalu, Glen mulai mengamati munculnya sejumlah brand-brand lokal. 

“Anak-anak muda mulai pada bikin bisnis sendiri. Lalu aku mikir aku juga mau bikin bisnis sendiri,” tuturnya yang bercita-cita agar dirinya tetap produktif di usia lanjut.

Dan langkah Glenn untuk merintis bisnis sendiri itu ternyata benar karena di masa pandemi, penghasilan dari proyek agensi berkurang dan kini ia banyak mengandalkan bisnisnya.

Bersama seorang asisten, ia merintis usaha nasi ayam dengan nama “Nasi Ayam Jagoan”. Bisnis kuliner rumahan tanpa warung fisik dan mengandalkan delivery ini terbilang sukses sebab ia mengaku bisa membayar cicilan apartemen dengan menggunakan keuntungan bisnis nasi ayam itu.

Sayangnya, asisten yang memasak nasi ayam ini memutuskan untuk menempuh jalan lain: ia menikah dan harus fokus ke keluarga. Glenn pun tak bisa berbuat apa-apa.

Kemudian dari bisnis nasi ayam yang terpaksa mandek itu, ia mendapatkan ide untuk tetap berbisnis sendiri.

“Dari mulai mendesain, memfoto produk, terima orderan, packing, pengiriman, aku melakukannya sendirian.”

Suatu hari Glenn ingin mengumpulkan sumbangan untuk sekolah anak jalanan dekat rumahnya. 

“Aku pakai logo mangkok ayam saat berjualan nasi ayam dulu untuk dicetak di tote bag yang kuproduksi dengan modal kecil. Jadi 50% masuk ke donasi untuk sekolah itu, sisanya untuk biaya produksi selanjutnya,” ungkapnya.

Dari tote bag berlogo mangkok ayam tadi, ia mendapati sejumlah permintaan pembeli dari Instagram untuk membuat merchandise lainnya dengan logo unik berwarna merah dan bentuk ayam jago itu. Dari situ, brand MGKYM yang dulu bisnis makanan kemudian berkembang menjadi bisnis pakaian dan merch seperti sekarang.

Sebagai sebuah UMKM, Glenn dengan MGKYM juga sangat jeli dengan tren pasar misalnya tren memelihara tanaman di rumah selama pandemi. Saat ngobrol virtual, ia memakai latar belakang yang terdiri dari pot-pot tanaman yang tertata rapi dan diselimuti wadah berbahan kain merah yang berlogo ayam. Ia menyebutnya sebagai wadah serbaguna yang sebenarnya bisa juga dipakai sebagai pembungkus pot tanaman dalam ruangan agar terlihat lebih cantik, menarik dan estetik.

Menyoal logo mangkok ayam yang sangat ikonik itu, ternyata riwayat sejarah yang panjang. 

“Sebenarnya asalnya dari Dinasti Ming. Jadi sudah menjadi hak milik publik . Tapi yang menjadi public property ini spesifik banget misalnya gambarnya harus pakai kuas. Jadi logo ini bagi mereka adalah karya seni lukis. Kalau logoku kan bukan dilukis tapi dibuat dengan vektor. Tapi memang logo ini terinspirasi oleh itu.”

Meskipun brand mangkok ayamnya bisa dikatakan sukses, Glenn melakukan rebranding menjadi MGKYM.

Alasannya: “Karena aku juga nggak mau terpaku cuman jualan gambar ini doang. Karena sebanyak apa orang mau membeli barang dengan gambar mangkok ayam begini?” 

Ia juga mempertimbangkan komposisi konsumen sekarang yang tidak semuanya bisa terkoneksi atau bisa relate dengan logo mangkok ayam tersebut. Gen Z mungkin sudah tak tahu logo itu.

 

TIMBUL TENGGELAM MGKYM

Sekarang ini UMKM di Indonesia seperti morat marit diterjang tsunami pandemi yang datangnya bergelombang. Ditambah PSBB lalu PPKM yang berseri, penderitaan pelaku UMKM dalam negeri seakan makin ‘komplit’.

Glenn dan bisnisnya ini sendiri sudah merasakan efek Covid sejak November 2019, beberapa bulan sebelum Coronavirus terdeteksi di Indonesia. Saat itu meski Covid belum tercatat masuk ke wilayah RI, ia menemukan adanya penurunan angka penjualan di area Bali yang juga menjadi tempatnya menitipkan produk untuk dijual ke turis-turis mancanegara. 

“Bulan November itu, penjualan di Bali udah menurun karena sebenernya Corona-nya udah mulai di Wuhan.”

Diduga memang angka kunjungan turis China sendiri sudah menurun padahal jumlah mereka ini lumayan banyak dan daya beli mereka tidak bisa dibilang kecil saat berlibur di pulau dewata itu. 

DI awal pandemi tahun 2020 lalu, karena bisnis MGKYM ini dimulai secara online, Glenn mengaku justru bisa merasakan lonjakan angka penjualan.

“Lebaran tahun lalu itu MGKYM mencatatkan pencapaian penjualan tertinggi sebenarnya. Itu karena untungnya produksi udah selesai setelah PSBB diberlakukan jadi tinggal jualan aja.”

Masalah sebagian besar UMKM saat pandemi ialah saat pembatasan aktivitas diberlakukan proses produksi mereka belum usai. Akibatnya stok mereka nol atau setidaknya menipis jadi tidak bisa berjualan. 

Tapi apa yang dirasakan Glenn saat PSSB perdana 2020 diberlakukan justru adalah kepanikan. 

“Gue punya barang banyak banget. Ini siapa yang mau beli?” tanyanya pada diri sendiri saat itu.

Glenn bersyukur bahwa pada saat itu para konsumennya cuma menyangka bahwa pandemi dan PSBB akan berlangsung sebentar saja dan kondisi akan berubah seperti semula lagi. “Jadi daya beli dan belanja mereka masih gede.”

Glenn memiliki strategi jitu untuk memulai berbisnis. Ia memulai dengan jualan online dan tidak pernah menyewa apalagi memiliki sebuah toko atau gerai fisik sendiri. Memang kita tahu biaya sewa lokasi jualan di tempat-tempat strategis dan ramai tidak bisa dibilang murah.

Ia mengaku melakukan titip jual produknya di sejumlah gerai/ toko di  pusat-pusat perbelanjaan ibukota, dari Plaza Indonesia, Grand Indonesia. Di Bali, ia juga menitipkan produknya di beberapa tempat seperti Uma Seminyak dan Jimbaran.

“Tapi gara-gara PSBB, aku berhenti titip jual di GI. Kalau di Plaza Indonesia, tokonya tutup.”

Per  Juli 2021, produk-produk MGKYM cuma bisa dibeli secara langsung di MataLokal di MBloc dan Museum Macan Jakarta. Itu pun koleksinya sudah minimalis banget karena Glenn ingin mengantisipasi dampak pemberlakuan PSBB yang masih buka tutup entah sampai kapan.

“Kalau barangku di sana kan nyangkut jadinya. Kalau aku simpan sendiri aku masih ada kesempatan untuk menjualnya,” tuturnya.

Meski sejumlah UMKM fashion ada yang banting stir jadi produsen masker,  Glenn sendiri tidak fokus untuk melakukannya. Pernah MGKM meluncurkan produk masker pun itu masker sulam tangan yang sebenarnya lebih pada masker artistik, bukan masker kain untuk tujuan medis yang bisa menyaring partikel halus atau mikroba.

Produk-produk yang sekarang laris menurutnya adalah selendang dan outer.

Kenapa outer? Ternyata konsumen suka mengenakan outer yang praktis untuk menutup pakaian santai di rumah tatkala harus meeting virtual atau video call di rumah. Dengan memakai outer, pakaian santai seperti kaos oblong atau sejenis masih bisa dikenakan dan tampak lebih sopan dan modis. 

Dampak pandemi pada performa penjualan MGKYM cukup besar. Meski di awal pandemi 2020 lalu, ia sanggup mencatatkan angka penjualan yang paling tinggi dalam sejarahnya, di tahun 2021 ini Glenn mesti puas dengan kondisi pasar yang masih lesu dan konsumen yang lemah daya belinya.

Biasanya pada sekitar pertengahan bulan (tanggal 15), ia bisa mencapai target  penjualan. Namun, sekarang saat PSBB berlaku, target baru bisa dicapai tanggal 25. Tapi ya masih bisa achieve target aja udah bagus, timpalnya.

 

EMPATI PADA BALI

Sebagai seorang pebisnis UMKM yang merasa berutang budi pada Bali, Glenn merasakan duka mendalam juga saat pariwisata di sana lesu darah akibat ‘dihajar’ pandemi. 

Dari akhir tahun 2019, Glenn mengaku sudah koar-koar untuk membantu Bali. Namun, ia akui masih ada yang belum menerima kenyataan bahwa Coronavirus bakal ‘menyapu’ negara ini juga akhirnya dan meluluhlantakkan ekonomi kita.

Ia menyisihkan pendapat dari penjualan untuk disumbangkan desa Tembok, yayasan disabilitas di Ubud, dan sebagainya. Menurutnya ini salah satu jalan agar brand lokal bisa tetap bertahan sembari menunjukkan empati pada kelompok masyarakat lainnya yang sedang berjuang keras menghidupi keluarganya.  

“Aku cari aja di Internet terus sumbang. Nggak gede cuma aku berusaha setiap bulan ada yang disisihkan ke sana.” tutur pria yang mengaku sumber hiburan dan pengetahuannya selama di rumah adalah TikTok dan YouTube.

Ia berupaya melakukan ini sudah sejak sebelum pandemi melanda Indonesia bahkan. Dan sekarang ia melakukannya secara konsisten selama setahun sejak PSBB tahun 2020. 

Untuk bisa terus menggerakkan MGKYM, Glenn bekerjasama dengan sebuah sanggar tari di Bali yang berupaya menebarkan optimisme meski kondisi di Bali saat ini memang tak bisa dikatakan cerah.

“Mereka sendiri terdampak pandemi karena tidak ada pertunjukan.  Selain berdonasi juga ke mereka, aku juga minta sanggar tari pimpinan Echa Laksmi itu mempromosikan MGKYM.” 

Hingga sekarang Glenn masih menitipjualkan produk MGKYM di Bali dan penjualannya masih terbilang ‘lumayan’ (baca: masih ada penjualan). Ia sendiri tidak muluk-muluk.

Meski MGKYM bergerak secara online, Glenn paham betul bahwa tidak semua UMKM bisa dijalankan dengan 100% online

Jadi jika dibandingkan tahun 2020 lalu, di tahun ini Glenn menyadari bahwa UMKM  terutama yang tidak bisa go online makin tersudutkan karena daya beli sudah melemah dan jumlah pembeli juga makin sedikit. 

Apa yang dirasakan Glenn juga sama. “Yang beli dia dia lagi, yang masih punya daya beli. Jadi pie tak bertambah besar. Nambah toko juga nggak bakal nambah untung. Percuma buka toko lebih banyak. Ditambah dengan kondisi toko dan mall yang tak bisa ditebak. Kadang bisa ramai, kadang nggak.”

Bagi Glenn, apa yang seharusnya dibangun pemerintah sejak dulu agar UMKM di tanah air tangguh menghadapi goncangan seperti sekarang ini adalah EKOSISTEM.

“Bangun ekosistem sih yang paling penting.  Mulai dari produksi, distribusi, aturan ekspor yang jelas. Aku juga pikirkan standarisasi. Contohnya standarisasi supplier. Karena sekarang itu kayak awur-awuran.”

Ia mencontohkan misalnya jika ada teman yang meminta bantuannya untuk mencarikan perajin perak di Bali. 

“Sekilas kita pikir banyak. Tapi pas nyari di internet, susah. Belum lagi profesionalisme para perajin yang ada. Apakah supplier itu bisa membuat sesuai spesifikasi yang diminta?” Menurutnya inilah yang masih menjadi ganjalan.

Menurut Glenn, pemerintah dan UMKM mestinya menggunakan momen pandemi ini sebagai kesempatan untuk berbenah dan membangun ekosistem bersama

Cara pikir untuk bertahan selama masa sulit ini, kata Glenn, juga seharusnya bukan “kapan pandemi ini akan selesai supaya aku bisa jualan lagi kayak dulu ya?”, tapi lebih ke “apa yang harus gue lakuin dengan keadaan sekarang yang entah kapan berakhirnya?”.  

Ia sendiri sekarang mencoba untuk terus menjalankan MGKYM meski terhimpit PPKM. Rencananya untuk meluncurkan desain baru saban Agustus juga jadi agak molor. 

“Pasti telat lah. PPKM gini, percetakannya tutup, ekspedisi terhambat.”

Di sini ia juga bersikap tidak terlalu ‘ngoyo’ dalam menahkodai MGKYM selama pandemi. 

“Di antara pengikut MGKYM di Instagram pasti ada yang sedang cari kerjaan, kehilangan anggota keluarga atau teman. Rasanya nggak sensitif banget kalau di tengah suasana prihatin begini, aku promosi gencar,’ Yuk beli beli!’,” ucapnya.

Untuk para pelaku industri kreatif yang ingin memulai bisnis di saat pandemi, Glenn punya satu nasihat: “‘Napasnya’ harus panjang. Kamu harus siap nggak dibayar, siap hidup susah dalam beberapa tahun ke depan karena mungkin selama itu bisnis kamu itu belum sanggup menafkahi kamu.”

Untuk para pekerja kreatif yang ingin mencari pekerjaan sekarang  bersikap optimislah karena masih ada bidang-bidang industri yang relatif tahan pandemi misalnya kesehatan, transportasi, dan sebagainya.

Di posisi atau industri apapun kita sekarang, alih-alih menghabiskan waktu untuk meratapi kondisi pandemi ini, justru momen sekarang adalah saat yang tepat untuk menambah ilmu, tandas Glenn. 

“Manfaatkan waktu sekarang untuk belajar teknologi informasi, kesehatan, dan investasi,” terang pria yang gemar menghabiskan waktu di depan laptop untuk belajar beragam ilmu pengetahuan baru melalui video-video berfaedah di YouTube. (*/ Akhlis)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Akhlis

Editor in-chief website yang lagi lo baca