Stories

DENDY DARMAN: ‘KARAKTER ITU DIBENTUK DARI PROSES, NGGAK SEKADAR DARI BERKHAYAL’

Dalam mendesain, terkadang keterbatasan dalam proses mampu menciptakan identitas yang kuat. Dendy Darman bercerita tentang idealisme yang dibawa dalam desainnya, dan juga ‘wejangan’ untuk anak-anak muda kreatif di Indonesia.

title

Kalo ngomong soal fashion brand lokal, kebanyakan dari kita pastinya udah nggak asing lagi dengan UNKL347. Eksistensinya sebagai salah satu fashion brand yang legend ternyata nggak cuma title semata, UNKL347 masih terus relevan dan malah semakin dikenal luas sama anak-anak muda, meskipun generasi pembelinya sekarang mungkin udah cukup berbeda dari awal terciptanya brand ini.

Beberapa waktu lalu, gue berkesempatan untuk ngobrol bareng Dendy Darman, figur keren dan nyentrik di balik nama besar UNKL347. Kita ngobrol-ngobrol tentang gimana caranya mempertahankan sebuah brand supaya bisa terus relevan dan dikenal luas. Terlebih, UNKL347 udah malang melintang di skena fashion brand lokal selama 25 tahun terakhir.

WAJIB BIKIN SENDIRI

“Dari dulu kita bekerja karena kita suka dan antusias sama hal itu, sampai sekarang juga menganggap hal ini kayak kesenangan kita. Sampe sekarang kita masih bekerja secara idealis, nggak pernah yang ‘besar’ banget,” jelasnya.

Menurutnya, idealisme bisa menunjang keberlangsungan bisnis, tapi konsekuensinya adalah bisnis yang dimiliki akan sulit untuk maju ke skala yang lebih besar.

“Ketika gue mendesain, gue harus bikin sendiri, jadi ketika mendesain pasti gue mikirin gimana bikinnya, dari dulu sampai sekarang idealisme di UNKL347 itu ngikut gue,” lanjut Dendy.

KETERBATASAN JADI PELUANG

“Ketika gue bikin grafis, gue harus tau gimana caranya ‘bermain’ dengan hanya 1 warna,” tutur Dendy.

Terkadang, kebebasan dalam membuat desain (misalnya memakai banyak warna) membuat desainer jadi lebih terlena. Sedangkan di sisi lain, keterbatasannya dalam memilih warna malah bisa membuat UNKL347 jadi lebih dikenal secara luas.

Dendy Darman, founder UNKL347, bermain dengan keterbatasan warna dan komposisi.
Bermain dengan keterbatasan warna dan komposisi. (Sumber: www.unkl347.com)

Kebiasaan ini yang masih dibawa Dendy dalam bisnisnya sampai sekarang. Akibat keterbatasan produksi, secara nggak langsung malah membuat desainnya jadi punya karakter.

“Alhamdulillah ternyata dari ketidaksengajaan itu jadi identitas. Kayak band-bandchord, kalo lo dengerin Nirvana chord-nya dikit tapi ada identitas yang muncul, itu keterbatasan. Kayak kita (UNKL347) dulu nggak bisa print baju dengan baik karena nge-print sendiri, gue cuma sanggup nge-print satu sampai dua warna aja,” tambahnya.

Batasan itu menolong gue untuk mengurangi ego, kita jadi bijak untuk memilih warna dan komposisi,

DISKUSI >>> KERJA

Soal idealisme yang sempat disinggung di atas, gue jadi penasaran sama work culture yang dikembangkan sama Dendy dalam bisnis yang dimilikinya. Apakah kuatnya idealisme itu bisa memengaruhi orang-orang yang bekerja dengannya juga?

“Terkadang gue nggak butuh mereka mengerjakan desain, padahal mereka di-hire untuk mendesain, terkadang juga mereka dateng cuma buat ngobrolin musik sama gue sampe sore, atau ngobrolin hal yang kita sama-sama suka, menurut gue itu bekerja,” jelas Dendy.

Diskusi dan saling tukar referensi jadi hal yang sama atau bahkan lebih penting daripada sekadar ‘kerja’. Menurutnya, pekerjaan bisa diselesaikan kalo lagi sendirian, sedangkan ketika lagi ngumpul, ya bagusnya memperbanyak ngobrol. Dari proses itu, ide-ide kreatif bisa muncul.

“Benang merahnya ada di seni. Ketika gue mau mengambil keputusan dalam membuat sesuatu, sebenernya gue nggak menambah pekerjaan gue, tapi gue nambah orang yang ngebantuin gue,” jelas Dendy.

Contohnya saat dirinya menciptakan DDS (Dendy & Darman Studio). Ia memercayakan banyak hal kepada timnya. Meskipun begitu, Dendy juga tetap hadir dan aktif berkomunikasi dalam setiap proses kerja yang dilakukan. Makanya, dirinya selalu bisa me-manage setiap pekerjaan dengan baik karena semakin banyak project yang dikerjakan, semakin banyak pula orang-orang yang membantunya.

Fasad bergaya dua dimensi yang khas dari Dendy Darman.
Fasad bergaya dua dimensi yang khas dari Dendy Darman. (Sumber @dendy_darman)

“Misalnya gue bikin rumah, yang bantu gue kan arsitek, interior desainer, anak-anak teknik sipil, mereka selalu melihat sesuatu secara tiga dimensi, tapi mereka harus diarahkan sama gue yang kacamatanya dua dimensi. Ya jadinya kayak DDS sekarang, kalo liat DDS bikin rumah itu dua dimensi banget, jadi ciri khas lagi kan,” lanjutnya.

Satu hal yang mencirikan Dendy Darman adalah sikap beraninya dalam menjalani bisnis. Diskusi dan berbagi informasi jadi satu hal yang penting, tapi lebih penting lagi untuk berani memulai dan menghadapi tantangan seiring berjalannya bisnis.

Menurutnya, semakin banyak referensi yang dimiliki di awal, maka akan semakin takut dan sulit untuk memulai. Dalam berkarya, Dendy lebih mengutamakan untuk bergerak terlebih dulu, dan bisa berkembang seiring proses yang dijalaninya.

“Gue nggak terlalu suka belajar dari perspektif, atau belajar dari prediksi’, gue sukanya kayak lebih lakukan dulu, karena gue lebih suka kalo berproses dan belajar dari hal yang salah, dibandingkan gue menghindari yang salah,” tambahnya.

OFFLINE VS ONLINE

“Kalo di UNKL347, cara penjualannya aja yang terdampak pandemi. Kita dulunya offline banget, orang harus ke toko, harus dengerin di toko ada musik apa, gimana setting tokonya. Toko juga setiap tiga bulan sekali kita ubah layout-nya sebagai service kita buat orang yang datang ke toko, selain dia beli baju, dia juga dapet experience-nya,” jelas Dendy.

Dendy menambahkan bahwa esensi toko offline dan online nggak akan bisa disamakan. Dirinya menyayangkan bahwa dunia masih harus terdampak oleh pandemi, dan berharap secepatnya situasi bisa kembali normal dan orang-orang bisa kembali merasakan pengalaman belanja secara langsung ke toko ritel.

“Kalo kita tanya ke generasi gue, pengen nggak ritel balik lagi offline? Pasti semuanya pengen. Budayanya beda, ketika jaman dulu gue pergi ke toko pasti pulangnya nggak cuma dapet belanjaan aja, tapi inspirasi juga, sedangkan online itu terlalu ‘langsung’, beli, beli, dan beli aja,” tambahnya.

Dalam pandangannya, bisnis online terkadang hanya dimanfaatkan sebagai cara pintas untuk jadi kaya tanpa memikirkan karya yang dihasilkan.

“Kalo lo bikin brand dan jualan offline, lo akan bertemu dengan orang asing dan harus mau merepresentasikan produk lo. Kalo produk lo asal-asalan, pasti lo akan malu dan nggak tega nawarin ke orang itu. Sedangkan kalo di toko online, lo nggak perlu ada di tempat, lo bisa bikin sesuatu ‘yang penting laku aja’,” tutur Dendy.

Pada akhirnya, Dendy berharap bahwa kehadiran brand-brand lokal secara online mampu memiliki mentalitas yang baik, nggak cuma memanfaatkan online platform sebagai cara untuk mencapai kekayaan finansial aja.

BANYAK ALTERNATIF = SULIT MEMULAI?

Dendy memulai bisnis di tahun 90-an, di mana belum ada internet dan menurutnya masih tergolong sebagai zaman yang minim referensi. Jadi, dirinya lebih menikmati segala proses yang terjadi secara organik, tanpa ada paksaan dalam mencari ide dan inspirasi untuk desainnya.

Kebiasaan ini tentunya sangat berbeda di era digital seperti sekarang, di mana lo bisa cari banyak referensi desain dari internet. Tentunya bukan tanpa efek samping, terlalu banyak referensi juga bisa membuat lo semakin bingung dalam memutuskan desain seperti apa yang ingin lo eksekusi.

Apa yang lo pikirkan pertama kali, ya langsung kerjain aja dulu, jangan terlalu banyak alternatif, karena menurut gue itu adalah godaan.

Menurutnya, karakter atau identitas yang kuat dalam desain cuma bisa didapat dari proses yang dijalani, dan bukan sekadar khayalan awal semata. Dan yang terpenting juga, lo mampu merepresentasikan apa yang lo buat dan bangga dengan hasilnya. (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Garry

Content writer Froyonion, suka belajar hal-hal baru, gaming, dunia kreatif lah pokoknya.