In Depth

WACANA TARIF KRL ORANG MISKIN DAN KAYA, YAKIN ITU YANG DIBUTUHIN ANKER?

Lo setuju nggak Civs kalau tarif KRL itu harus dibedain buat pengguna yang punya banyak duit sama yang enggak? Kalau dilihat, kayaknya wacana itu nggak senafas sama semangat penggunaan transportasi umum deh ya tapi~

title

 FROYONION.COM - Kalau lo anak kereta (anker) yang rajin naik commuter line alias KRL nih pasti tahu soal wacana pembedaan tarif yang lagi digodok sama pemerintah melalui Kementerian Perhubungan, nih. As you know, KRL memang jadi salah satu moda transportasi yang cukup favorit buat para pekerja di ibu kota. 

Biaya yang bisa dibilang cukup murah buat mendorong perjalanan lo, mungkin jadi salah satu alasan kenapa KRL ini digemari. Tapi lo tahu nggak, kalau ternyata selama ini biaya yang murah itu diberikan gara-gara ada subsidi dari pemerintah. 

Makanya, wacana ini dilontarkan supaya nantinya subsidi itu bisa dinikmati secara lebih tepat sasaran. Masyarakat ekonomi mampu a.k.a “si horang kaya”, direncanakan bakal membayar tarif KRL tanpa subsidi. 

Dilansir dari CNNIndonesia.com, tarif KRL yang sekarang ini cuma sekitar Rp4 ribuan itu seharusnya dibayar dengan harga sekitar Rp10 ribu - Rp15 ribu. Nah, subsidi itu diberikan melalui jenis public service obligation (PSO). 

Alih-alih bikin happy, ternyata wacana ini malah bikin kontroversi yang nggak perlu di kalangan pecinta KRL. Benar nggak sih sebenarnya yang dibutuhin 'anker' itu penyesuaian tarif, atau sebenarnya ada hal lain yang lebih genting? 

ONGKOS KE STASIUN MASIH MAHAL

Kalau menurut pengamat transportasi, Djoko Setinowarno sekarang ini biaya perjalanan atau ongkos transportasi yang dikeluarkan para pekerja yang tinggi di Indonesia. Meskipun, mereka turut memanfaatkan KRL dengan biaya bersubsidi yang seharusnya murah banget itu kan. 

Doi merujuk ke Policy Research Working Paper 4440 World Bank kalau biaya paling tepat buat jadi ongkos bekerja masyarakat itu maksimal 10 persen dari upah bulanannya. Tapi, dari hasil survei Badan Litbang Perhubungan 2013 lalu ketika tarif KRL Jabodetabek ditetapkan satu harga dan murah, ongkos yang dikeluarkan sama rata-rata penggunanya masih sekitar 32 persen dari pendapatan bulanan.

Gimana menurut lo? Relate nggak sama biaya mahal yang lo pakai cuma buat berangkat kerja. BTW, biaya itu bukan cuma untuk harga tiket KRL aja ya, tapi ada ongkos-ongkos lain kayak misalnya biaya ojol buat ke stasiun atau ongkos parkir kalau taruh motor di stasiun. 

"Sekarang setiap stasiun KRL yang ada di Jakarta sudah terintegrasi dengan Bus Trans Jakarta dan Jak Lingko. Tapi, layanan transportasi first mile belum banyak perubahan dan cenderung angkutan ke stasiun masih berkurang jumlahnya," kata Djoko saat berbincang, Selasa (3/1/2023). 

Kalau gue coba menjajal naik KRL buat berangkat kerja, biasanya kendala yang gue temuin itu memang jarak dari rumah ke stasiun yang cukup jauh. Belum lagi, KRL yang gue tumpangi juga nggak turun di stasiun yang persis di depan kantor gue. 

Nah makanya, biaya-biaya tambahan itu muncul kan dan bikin membengkak pengeluaran cuy. 

BACA JUGA: TRAIN TO MANGGARAI: PERJUANGAN MELAWAN KERASNYA IBU KOTA

Menurut Djoko, sekarang ini lebih mending kalau pemerintah nggak cuma fokus pada penyesuaian tarif KRL Jabodetabek. Tapi, mendingan bikin rencana gimana supaya ongkos transportasi warga bisa dibendung buat kurang dari 10 persen dari pendapatan bulanan mereka, termasuk gue. 

Salah satu cara yang direkomendasiin sama Djoko, daripada fokus dengan kasta sosial menurut ekonominya kenapa nggak pembedaan tarif itu dilakukan merujuk pada fungsi dan tujuan dari perjalanan orang itu. Misalnya, tarif subsidi bisa disesuaikan jika operasional kereta berlangsung pada hari libur dan weekend. 

Soalnya, kebanyakan orang yang melakukan perjalanan saat hari libur atau weekend pasti berhubungan dengan kegiatan sosial. Misalnya, wisata, kunjungan keluarga, belanja, dll. Nah, itu kan nggak berpengaruh sama produktivitas kaum pekerja sehari-hari. 

Nggak ada salahnya mekanisme itu bisa dipertajam sekarang ini supaya jadi lebih relevan. Kalau dihitung-hitung, dalam setahun ada lebih dari 100 hari di akhir pekan dan hari libur, kalau subsidinya dikurangi maka bisa menghemat sepertiga anggaran. Dengan begitu, biaya yang dihemat bisa dialihkan buat jadi subsidi ataupun pembuatan angkutan umum feeder dari kawasan perumahan ke stasiun. 

KENDARAAN LISTRIK

Kalau dari sudut pandang penggunaan transportasi umum supaya lebih masif dan tepat sasaran, menurut Djoko ada satu kebijakan yang kontra produktif. Pemberian insentif kendaraan listrik dari Kementerian Perindustrian dianggap bertentangan dengan semangat pengguna jasa transportasi umum, khususnya KRL Jabodetabek.

Kok bisa gitu ya? 

Kalau dilihat, upaya buat memindahkan pengguna kendaraan pribadi ke angkutan umum jadi terabaikan dengan adanya insentif itu. Dampaknya apa? Bukan nggak mungkin hal tersebut bisa malah menambah angka kemacetan dan kecelakaan lalu lintas.

Daripada memberi insentif, kata dia, lebih baik kalau Kementerian Perindustrian turut mendukung upaya pembenahan transportasi umum oleh Kementerian Perhubungan. Misalnya, pengadaan lebih banyak angkutan listrik seperti bus dan motor yang bisa bikin biaya lebih hemat.

Buat kendaraan-kendaraan umum itu, nantinya baru bisa mendapat program insentif kendaraan listrik sehingga tetap senafas dengan semangat penggunaan transportasi umum. 

"Subsidi tepat sasaran harus terus diupayakan dalam rangka memberikan rasa keadilan bagi pengguna transportasi umum. Setiap pengguna transportasi umum wajib menerima subsidi, karena sudah membantu pemerintah untuk mereduksi terjadinya kemacetan, menurunkan tingkat polusi udara, dan turut mengurangi angka kecelakaan," cetus Djoko.

Menurut lo gimana Civs, kalau dilihat sih memang kayaknya masih banyak PR yang harus diselesaikan sama pemerintah buat bikin penggunaan transportasi umum jadi habits sehari-hari kaum pekerja di Indonesia. 

Apalagi, dengan banyaknya potensi pengguna moda transportasi ini, kayaknya ada banyak cara yang bisa dilakuin buat nutup kerugian yang mungkin muncul dari subsidi yang diberikan. Harus lo ingat juga Civs, kalau PT Kereta Api Indonesia (KAI) sebagai perusahaan induk KRL itu punya banyak lini bisnis lain yang berjalan, kan? (*/)

BACA JUGA: KENAPA BANYAK PEKERJA MEMILIH PINDAH DARI KOTA BESAR?

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Michael Josua

Cuma mantan wartawan yang sekarang hijrah jadi pekerja kantoran, suka motret sama nulis. Udah itu aja, sih!