Esensi

TREN SEPEDA : DARI LADANG KAUM PEKERJA MENJADI SARANA PAMER HARTA

Dulu sepeda menjadi alternatif tersendiri bagi mereka yang tidak mampu membeli motor, biasanya digunakan oleh kaum pekerja untuk mengais rezeki. Namun sekarang harga satu sepeda bisa melebih harga mobil dan digunakan untuk pamer instastory.

title

FROYONION.COM - Sepeda pada mulanya menjadi sarana yang membumi bagi para pekerja. Menurut pernyataan yang di lansir oleh Ensiklopedia Columbia, tercatat bahwa Baron Karl Drais seorang pengawas hutan menciptakan sepeda untuk pertama kalinya yang memudahkan para buruhnya bekerja. Bahkan hal tersebut berlanjut hingga sekarang, dimana sepeda menjadi sarana pencari cuan bagi tukang becak, penjual jamu, hingga bike messenger atau kurir pengantar paket.

Selain itu sepeda juga sering dikaitkan dengan kesederhanaan, seperti dalam film karya anak bangsa yang berjudul Laskar Pelangi, tokoh utamanya dikisahkan sebagai anak yang tinggal di pelosok negeri. Dan harus menempuh puluhan kilometer agar sampai ke sekolahnya dengan menggunakan sepeda. Pada film ini sepeda berperan sebagai sarana sederhana yang menjadi jembatan ilmu pengetahuan. 

Namun berbeda dengan saat sekarang, sepeda menjadi sarana yang bergengsi. Bahkan harga satu sepeda saja ada yang melebihi harga mobil New Avanza dengan kisaran harga 204,99 juta. Sepeda yang dimaksud ialah sepeda dengan Merk SF01 yang berasal dari perusahaan otomotif tersohor di dunia, Ferrari. 

Karena banyak sepeda dengan harga yang fantastis, maka tidak jarang kita melihat fenomena orang disekitaran yang menggenjot sepeda cuman lima menit, namun foto dan selfie nya bersama sepeda kesayangan bisa satu jam. Hanya demi memperlihatkan foto bersama sepeda mevvah dengan caption "dari gowes aku menyadari, bahwa untuk mencapai suatu tujuan butuh mengayuh berkali-kali" alah siah boy. 

Ini menunjukkan bahwa peran sepeda selain sebagai sarana pencari rezeki, juga menjadi ajang pamer instastory.

TREN BERSEPEDA
Sejak pandemi Covid-19 mulai melanda planet bumi, tren bersepeda menjadi sangat laris di Indonesia, selaris komentar "MU nih boss, senggol dong" . Jika biasanya udara di perkotaan dipenuhi dengan kebulan asap motor dan mobil, sekarang dipenuhi dengan nafas para kaum eksekutif yang menggowes sepeda sambil cengar-cengir. 

Namun karena sepeda semakin banyak digandrungi oleh berbagai kalangan dengan bermacam kebutuhan, toko sepeda yang biasanya selalu sepi sekarang mendadak rame bak warung kopi.

Hal tersebut turut dirasakan oleh ayah teman gue sebagai pemilik salah satu toko sepeda. Ia pernah mengaku bahwa semenjak virus Covid 19 mulai berkeliaran, penjualan sepeda di tokonya mengalami peningkatan hingga lebih dari 40%. Ini menunjukkan bahwa tren bersepeda dapat mensejahterakan penjualnya.

TREN BERSEPEDA DIIKUTI DENGAN MARAKNYA BEGAL SEPEDA
Meskipun sepeda sebagai sarana alat transportasi ramah lingkungan juga sebagai alat untuk berolahraga maupun bekerja. Namun tak jarang juga yang menggunakan sepeda mahal sebagai simbol pamer harta.

Alhasil akitivitas menggowes di jalan mulai tidak aman. Karena sepeda kini terkesan sebagai barang mevvah, maka acap kali kita melihat kasus begal sepeda dimana-mana. Kalau dibandingkan pada zaman gue masi kecil, gue belum pernah nemuin kasus pembegalan sepeda. Bahkan karena saking yakinnya kalau sepeda gue gak bakal dicuri, abis make sepeda, gua langsung ngerobohin sepeda ke tanah tanpa ngegembok ke roda kemudian ditinggal main warnet.

Namun berbeda saat sekarang, malahan aksi begal sepeda sudah menjadi headline tersendiri.Dilansir dari mediaindonesia.com, Ferdinand Andi Lolo menilai bahwa maraknya aksi pembegalan sepeda ini diikuti dengan pengguna sepeda yang meningkat dengan pesat. Karena pengguna sepeda yang meningkat dan ditambah kalangan penggunanya berasal dari starta sosial yang beragam yang sebelumnya kebanyakan digunakan oleh kaum menengah sekarang menjelma menjadi hobinya kaum atas.

Selain itu juga bisa disebabkan karena perilaku gaya hidup para pesepeda. Bahkan kita sering melihat pesepeda yang cerobohnya menaruh handphone pada setang sepeda sambil ngerekam walaupun yang keliatan cuman lubang hidungnya doang. 

Supaya hal-hal yang semacam ini enggak keulang lagi, diharapkan para penghobi gowes yang mendadak ini seharusnya mulai belajar untuk meniatkan diri bersepeda hanya untuk olahraga dan menjaga lingkungan, bukan untuk rekam sana cekrek sini.

FENOMENA PESEPEDA YANG IKUT-IKUTAN TREN
Karena ramah lingkungan, sepeda dinilai sebagai alat transportasi yang arif, namun berbeda dengan sekarang sepeda menjelma menjadi kendaraan eksklusif plus dengan harga yang fantastis. Maka untuk mengikuti populasi hobi gowes yang semakin banyak ini, jalanan ibu kota terbelah menjadi beberapa jalur, yakni jalur sepeda, sepeda motor, mobil dan busway.

Namun sayangnya, meskipun sudah disediakan jalur khusus sepeda. Pesepeda yang ikut-ikutan tren, acap kali belum mengetahui etika bersepeda yang benar di jalan raya. Alhasil banyak di antara mereka yang berjejer memenuhi jalur sepeda motor sembari cengar-cengir seolah-olah jalan punya bapaknya sendiri.

Fenomena inilah yang memunculkan stigma negatif dari pengguna roda lain. Karena ngerasa bumi punya miliknya sendiri, yang lain cuman ngekos, alhasil mereka tidak menghiraukan pengendara lain sambil gegayaan menggowes di tengah jalan. Dalem hati, ini orang sepedaan buat mencapai kesehatan jasmani atau mencapai sang ilahi? Duhh, emang gak beres fenomena persepedaan duniawi ini.

Lebih menjengkelkannya lagi, selain mengkavling jalan sebagai milik pribadi, para pesepeda yang cuman ikut-ikutan tren ini juga seenak jidad menerobos lampu merah. Padahal meskipun naik sepeda, kita juga harus patuhi rambu-rambu lalu lintas bukan asal nyerobot aja, dikira lagi ikut Tour de France apa ya?

Jangan sampai hanya karena bersepeda sebagai ajang pamer, sehingga tidak memperhatikan tata tertib dan etika bersepeda. Pengguna sepeda yang eksis ini dapat berpotensi menyebabkan pergeseran stigma yang berbahaya. Kan gak lucu kalau bersepeda yang mulanya diidentikkan dengan ramah lingkungan dan kesehatan, menjadi lekat dengan stigma arogan, tidak tertib dan tukang pamer. (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Bayu Dewantara

Mahasiswa UI(n) Jakarta, Content Writer, Civillion, Penulis buku antologi "Jangan Bandingkan Diriku" dan "Kumpulan Esai Tafsir Progresif"