Esensi

SUBURNYA SEPAK BOLA SEBAGAI LADANG ‘REZEKI’ MAFIA

Di saat sepak bola seharusnya menjunjung tinggi sportivitas dan jadi ajang untuk saling ‘mengeratkan’, tapi kenyataannya malah jadi opsi ‘nyaman’ bagi para mafia untuk mencari penghidupan yang malah menodai citra olahraga favorit masyarakat kita ini.

title

FROYONION.COMKalo lo nanya tentang film dan TV series bergenre crime yang cukup berkesan buat gue, maka gue bisa bilang dengan mudahnya bahwa Godfather Part I & Part II sama Breaking Bad lah yang jadi jawabannya.

Pas masih bocah, gue nggak pernah suka nonton film-film berbau crime, ataupun yang ada mafia-nya. Bagi gue (saat itu masih SMP), film action superhero dan horror ecek-ecek adalah pilihan wajib tiap kali nonton film di TV.

Seiring bertambahnya umur, gue semakin ngerasa kalo ternyata hal-hal yang terjadi di film-film atau series crime tuh sedikit banyak menggambarkan kejadian nyata yang ada di dunia kita saat ini.

Dari situ, sedikit demi sedikit gue mulai mendapatkan ‘pencerahan’ tentang how the world really works (di balik layar panggung politik), yang ngebuat gue mulai ‘sadar’ sama real life yang nyatanya nggak ada Batman, The Punisher, atau Spiderman untuk memberantas kejahatan-kejahatan yang nggak keliatan di permukaan.

Termasuk di ranah sepak bola, ada banyak mafia yang ‘berkelana’ ke tiap pertandingan dan memanfaatkan celah di berbagai sudut olahraga favorit masyarakat kita. 
 

KASUS MAFIA BOLA YANG SEMPAT VIRAL

Yang paling gue inget adalah kasus Bambang Suryo yang beberapa tahun lalu mengaku terlibat sebagai runner dalam berbagai kasus pengaturan skor sepak bola dengan bandar judi dari Bet365 di tahun 2011 sampe 2015.

Praktik pengaturan skor yang pernah dilakukan Bambang nyatanya berjalan mulus selama 4 tahun lebih. Membuktikan betapa lincahnya para pelaku dalam aksinya.

Semenjak kasus Bambang Suryo meluap, ada beberapa nama yang ikut naik ke publik seiring dengan pengakuan ‘taubat’ Bambang. Dirinya juga berjanji untuk turut membantu membongkar praktik mafia bola di Indonesia. Berulang kali dirinya juga diundang dalam acara ‘Mata Najwa’ yang udah ngebahas PSSI sampe 6 jilid.

Bambang Suryo juga pernah mengangkat nama Vigit Waluyo ke publik. Vigit adalah seorang pengusaha asal Sidoarjo dan juga mantan pemilik klub Deltras Sidoarjo yang ‘katanya’ udah menggeluti dunia pengaturan skor sepak bola nasional sejak lama.

Dan akhir-akhir ini sepak bola tanah air juga lagi rame ngebahas tim Perserang Serang yang lagi diguncang isu pengaturan skor saat pertandingan lawan RANS Cilegon FC. Alhasil 5 pemain dan 1 pelatih dari Perserang dikenakan hukuman dari PSSI, salah satu dari lima pemain bahkan dilarang beraktivitas di dunia sepak bola selama 5 tahun. Dan yang bikin jaw-dropping lagi, kasus yang menimpa para pemain Perserang ini kabarnya dilaporkan langsung sama manager Perserang itu sendiri ke PSSI.

Dari banyak kasus lokal yang pernah terjadi dan terungkap, ternyata influence yang datang bukan cuma berasal dari pihak luar. Bahkan, para pemain pun udah nggak asing lagi sama praktik pengaturan skor di Liga 1 dan Liga 2. Gue jadi mikir, kenapa sih pengaturan skor yang didalangi mafia-mafia bola ini masih terus tumbuh subur sampe sekarang?

Padahal di tahun 2018, Kapolri udah membentuk Satgas Anti Mafia Bola. Pembentukan ini didasari masukan-masukan dari masyarakat tentang terjadinya praktik ilegal pengaturan skor di berbagai pertandingan sepak bola di negara kita.

Di tahun 2019, Satgas Anti Mafia Bola Jilid II dibentuk dengan tujuan untuk menangani kasus-kasus mafia bola yang belum diselesaikan di jilid sebelumnya, juga dengan daerah pengawasan yang lebih luas. Begitu pun dengan tahun 2020, Satgas Anti Mafia Bola Jilid III kembali dibentuk dengan tujuan yang sama.

 

GIMANA KINERJA SATGAS ANTI MAFIA BOLA SELAMA INI?

Di tahun 2020, Kasatgas Anti Mafia Bola Brigjen Hendro dalam konferensi pers bilang kalo kasus pengaturan skor udah menurun dari tahun sebelumnya. Kehadiran satgas di tiap pertandingan sepak bola bisa dibilang ‘nakut-nakutin’ oknum atau mafia yang berniat melakukan pengaturan skor sejak awal pertandingan. Begitu pun di jilid 3, yang katanya udah sedikit ditemukan adanya pengaturan skor di lapangan. 

Di sisi lain, beberapa orang termasuk gue sendiri menilai kehadiran Satgas Anti Mafia Bola di lapangan tuh nggak lebih dari sekedar ‘gertak sambel’. Karena gue bingung, menurut gue mafia bola nggak akan terang-terangan hadir di stadion pas hari H pertandingan. Kayak yang gue bilang sebelumnya, mafia bergerak licin dan cerdik, makanya disebut ‘mafia’, kalo dia nggak cerdik ya pasti bakal cepet ketangkep dan nggak bakal disebut mafia juga.

Cara kerja Satgas Anti Mafia Bola selama dibentuk juga cukup mengandalkan laporan dari masyarakat. Contohnya, di tahun 2019, mereka menerima 338 laporan match fixing di Liga 2 dan 3. Dari ratusan kasus itu, 73 kasus layak ditindaklanjuti, dan 4 kasus ditangani intens. 

Soal ini, gue yakin praktik ilegal yang dilakukan mafia bola juga nggak melulu soal pengaturan skor atau pengaturan pertandingan aja. Gue menilai hal-hal ini cukup basic dan cuma berada di permukaan. Sedangkan ada kasus-kasus lebih berat macam pencucian uang dan perjudian yang mungkin aja udah terjadi di ranah sepak bola lokal. 

Gue juga menilai, akan lebih baik kalo Satgas Anti Mafia Bola bisa bergerak lebih banyak ‘di bawah permukaan’ dalam memberantas mafia bola, karena masalahnya ada di dalam. Bukan hanya kehadiran satgas di lapangan untuk beri serangan psikologis ke mafia bola aja. 
 

KESEJAHTERAAN PEMAIN BOLA DI INDONESIA

Memang nggak bisa dipungkiri sih, kualitas negara-negara di Asia sulit disandingkan dengan negara-negara di Eropa. Kita bisa bangga lewat badminton, tapi kok soal sepak bola kita nggak pernah bisa mencetak talenta-talenta yang jadi kebanggaan, kayak Son Heung-Min di Tottenham Hotspurs, atau Shinji Kagawa di Dortmund dan Manchester United?

Kilas balik sedikit, di tahun 2020, tepatnya di awal pandemi bulan Maret - Juni, PSSI nerbitin Surat Keputusan (SK) dengan nomor SKEP/48/III/2002 yang pada intinya memperbolehkan klub-klub Liga 1 dan Liga 2 menggaji pemainnya maksimal 25 persen dari gaji normalnya, karena pandemi dianggap sebagai keadaan force majeure (keadaan kahar).

Yang lebih bikin kaget lagi, pemain-pemain di Liga 2 hanya dibayar 10 sampe 15 persen dari gaji (normalnya di sekitaran angka Rp 2,9 juta), yang mana gaji normal sebelum pandemi pun masih di bawah Upah Minimum Regional (seharusnya Rp 4,4 juta). Berarti, selama pandemi, para pemain Liga 2 cuma di bayar kurang lebih Rp 700.000 per bulannya.

Keadaan yang pelik ketika bicara sisi finansial ini yang mungkin berpengaruh kuat dan jadi salah satu faktor kenapa mafia bola tanah air masih tumbuh subur sampe detik ini. Ketika mimpi jadi atlet sepak bola tercapai, tapi realita tentang kesejahteraan ekonomi atletnya menampar keras hidup, siapa yang harus bertanggung jawab?

Gue punya pandangan bahwa semua yang terjadi di kancah sepak bola di negara kita adalah akumulasi dari banyak faktor. Nggak akan habis dalam satu tulisan dan satu pembahasan untuk mencari solusi komplit untuk mengatasi mafia bola dan di sisi lain meningkatkan kesejahteraan pemain.

Akan selalu ada kemungkinan buat segenap individu atau oknum untuk memanfaatkan ‘celah’ kecil dalam sebuah sistem di berbagai macam sektor kehidupan. Celah yang jadi kelemahan ini dieksploitasi oleh ‘oknum’ untuk jadi keuntungan, atau masuk kantong pribadi. Dan yang parahnya, aktivitas ilegal ini rasanya sulit untuk dibuktikan agar sampe ke persidangan, karena praktiknya terlalu ‘rapi’ dan ‘licin’.

Untuk kasus mafia bola, pengaturan skor nggak akan terjadi kalo para pemain udah cukup sejahtera dan nggak menggadaikan sportivitasnya demi keuntungan yang lebih tinggi daripada gaji bulanannya.

Berapa banyak anak-anak kecil di negara kita yang punya mimpi jadi atlet olahraga, terutama jadi pemain bola pas udah gedenya? Nggak akan terhitung rasanya, karena pasti banyak banget. Tapi, siapa sangka, kalo jalan menuju impian itu bakal susah dicapai kalo lo jadi atlet sepak bola di negara kita?

Terlalu banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan, terlalu banyak kekurangan yang juga harus dibenahi, nggak cuma bagi pemerintah yang berwenang langsung dengan sepak bola, tapi juga buat kita semua, penikmat dan pelaku sepak bola.(*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Garry

Content writer Froyonion, suka belajar hal-hal baru, gaming, dunia kreatif lah pokoknya.