Esensi

SEBERAPA PENTINGKAH PENGGUNAAN CONTENT DAN TRIGGER WARNING PADA SUATU KONTEN SENSITIF?

Dalam bermedia sosial, kita seringkali melihat konten-konten yang dimulai dengan peringatan content ataupun trigger warning. Tapi, sebenarnya seberapa efisienkah peringatan tersebut?

title

FROYONION.COM - Media sosial nggak bisa dipungkiri sudah menjadi sumber informasi untuk masyarakat umum. Berbagai informasi kini dapat kita akses melalui berbagai platform media sosial. Mulai dari informasi yang sifatnya umum dan layak untuk diberitakan, sampai ke informasi-informasi yang bersifat sensitif yang dapat ditemukan di berbagai platform media sosial. 

Akhir-akhir ini, muncul perdebatan mengenai konten informasi yang dibagikan di media sosial. Beberapa orang merasa, beberapa konten yang berisikan informasi mengenai suatu hal yang sensitif, setidaknya harus memiliki peringatan sebelum pengguna media sosial membaca isi informasi dalam konten tersebut. 

Buat kalian yang lumayan aktif di media sosial mungkin tau dengan istilah TW atau CW. Kedua istilah tersebut adalah singkatan dari kata trigger warning (TW) dan juga content warning (CW) yang umumnya menjadi sebuah kata peringatan dalam beberapa jenis konten tertentu yang mengandung informasi yang bersifat sensitif. 

Dan penggunaan TW dan CW di media sosial akhir-akhir ini nyatanya menciptakan beberapa diskusi tertentu. Beberapa orang yang membahas isu-isu sensitif tanpa menggunakan TW ataupun CW seringkali mendapat komentar negatif dari pengguna media sosial lain. 

Mereka dianggap kurang bermoral dan juga kurang berempati, karena dianggap tidak mempedulikan orang-orang yang bisa saja merasa terganggu dengan konten tersebut. Beberapa orang di satu sisi juga mempersoalkan penggunaan TW dan CW sebagai cara yang dianggap membuang waktu dan sia-sia. Penggunaan TW dan CW dianggap tidak diperlukan dalam penulisan suatu konten yang berisikan informasi sensitif. Karena kembali lagi, sederhananya, kalau tahu konten tersebut berisikan informasi sensitif yang tidak mau kita lihat, untuk apa kita lihat?

Dari adanya perdebatan ini, muncul sebuah pertanyaan. Sebenarnya, seberapa pentingkah penggunaan TW dan CW sebagai peringatan dalam suatu konten yang berisikan informasi sensitif?

PENGGUNAAN TW DAN CW DALAM SUATU KONTEN

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya kita memahami bagaimana cara penggunaan TW dan juga CW dalam sebuah konten.

Content warning atau CW sendiri adalah sebuah bentuk peringatan mengenai suatu konten yang dianggap dapat menyinggung, menyebabkan trauma, dan juga memberikan rasa tidak nyaman untuk orang yang mengakses konten tersebut.

Di lain sisi, trigger warning atau TW sendiri adalah sebuah bentuk peringatan mengenai suatu konten yang dapat menciptakan reaksi negatif untuk orang yang mengakses konten tersebut, seperti untuk para penyintas trauma, individu yang memiliki fobia tertentu, penderita PTSD, dan lainnya. 

Dari sini, memang penggunaan CW dan TW memang ditujukan untuk menghindarkan orang-orang untuk tidak melihat konten-konten yang memang memiliki isi mengenai suatu hal yang sensitif. TW secara spesifik mencegah orang-orang yang memiliki pengalaman traumatis mengenai suatu hal yang terjadi dengan kehidupan mereka untuk tidak melihat konten yang memiliki kaitan dengan pengalaman traumatis yang pernah mereka alami.

Makanya, di beberapa konten penggunaan CW lebih digunakan untuk konten-konten umum yang memiliki isu sensitif seperti, politik, agama, dan budaya tertentu ataupun konten-konten yang membuat orang-orang merasa tidak nyaman. Di sisi lain, penggunaan TW lebih sering digunakan ke hal-hal sensitif yang sifatnya lebih personal, seperti kasus bunuh diri, kekerasan dan pelecehan seksual, dan lainnya. 

SEBERAPA PENTINGKAH PENGGUNAAN TW DAN CW

Lantas, sebenarnya seberapa pentingkah penggunaan TW dan CW dalam suatu konten yang berisikan informasi sensitif?

Secara harfiah, TW dan CW memiliki tujuan sebagai sebuah bentuk peringatan, sesuai dengan penggunaan kata “warning” di dalam istilah tersebut. Sehingga, nggak ada yang salah untuk menggunakan peringatan ke dalam sebuah konten yang bermuatan isu sensitif, terlebih apabila konten tersebut dapat memicu trauma seseorang.

Akan tetapi, dalam suatu penelitian yang dilakukan oleh Benjamin Bennett yang merupakan Veteran Angkatan Darat dan juga Richard J. McNally yang merupakan seorang Profesor Psikologi Klinis dari Harvard University, menemukan fakta bahwa penggunaan CW dan TW sebagai peringatan ada baiknya dihilangkan. 

Menurut mereka, penggunaan CW dan TW sebagai peringatan untuk menghindarkan orang-orang dari konten sensitif justru dapat menciptakan gejala PTSD. Dan sebaliknya, untuk orang-orang yang nggak punya pengalaman traumatis, penggunaan TW dan CW justru membuat diri mereka rapuh secara emosional. Penelitian ini pun berlanjut di tahun 2019 dengan hasil, penggunaan CW dan TW nyatanya tidak memiliki manfaat bagi orang yang memiliki trauma. 

Lantas, dengan adanya hasil dari penelitian tersebut, mengapa banyak orang masih menggunakan CW dan TW sebagai peringatan untuk konten-konten dengan isu sensitif untuk beberapa orang?

Well, dengan hasil penelitian tadi. Memang pada akhirnya penggunaan CW dan TW sebagai sebuah peringatan terkesan sia-sia karena pada dasarnya tetap akan memberikan reaksi tertentu bagi penderita PTSD ataupun orang-orang tanpa taruma. Akan tetapi, penggunaan CW dan TW pada akhirnya tetap memiliki kontribusi penting untuk pengguna media sosial lainnya. 

Dalam artian, penggunaan CW dan TW disini berguna untuk mengembalikan keputusan ke pengguna media sosial terkait dengan konten yang akan mereka lihat. 

Melalui CW dan TW, kreator dari konten tersebut setidaknya sudah memberikan peringatan terkait konten apa yang audiens akan lihat dalam konten tersebut. Dan sebaliknya, para audiens pun tahu mengenai apa isi dari konten yang akan dibahas melalui peringatan CW ataupun TW tersebut. Sehingga, segala bentuk reaksi yang terjadi terhadap audiens yang melihat konten tersebut sudah di luar tanggung jawab kreator dari konten tersebut.

Sehingga penting, untuk kita sebagai audiens untuk bisa memilih konten apa yang harus dan tidak harus kita lihat. Terlebih, apabila kita mengalami pengalaman traumatis dan phobia tertentu. 

Jadi, kalau memang memiliki pengalaman traumatis atau merasa konten tersebut akan membuat diri kita tidak nyaman. Ada baiknya untuk tidak melihat isi dari konten tersebut, pun kalau masih ngeyel dan tetap membuka konten tersebut. Dampak yang terjadi, tentunya akan menjadi tanggung jawab pribadi, bukan tanggung jawab kreator konten tersebut, ataupun orang lain. (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Radhytia Rizal Yusuf

Mahasiswa semester akhir yang hobi menonton anime dan memiliki ketertarikan dalam berbagai budaya populer seperti, anime, J-pop, K-Pop