
Apakah salah kalau laki-laki berdandan seperti karakter anime wanita favoritnya? Yup, mereka biasa dipanggil sebagai crossplayer. Tapi sayangnya masih banyak stigma negatif dan salah kaprah bagi para crosssplayer di Indonesia. Seperti apa itu? Yuk simak!
FROYONION.COM - Semenjak pandemi 2020 keberadaan weeaboo mulai dinormalisasikan oleh netizen. Pasalnya hal ini berkaitan dengan komunitas weeaboo yang selalu dikaitkan dengan hal-hal freak dan extraordinary.
Namun, seiring dengan berdamainya netizen dan mulai diterimanya weeaboo ke ranah umum. Menjadikan semua hal yang berbau jejepangan menjadi bagian dari budaya populer. Salah satunya adalah para cosplayer yang akhirnya dapat dinikmati oleh khalayak luas.
Satu hal yang menarik perhatian dari budaya cosplay ini adalah keberadaan para crossplayer di tengah-tengah komunitas jejepangan. Crossplayer berasal dari gabungan kata crossdress dan cosplay. Jadi bisa disimpulkan dengan mudah, bahwa crossplayer adalah laki-laki yang berdandan layaknya karakter wanita favoritnya.
Yang menjadi masalah di sini adalah keberadaan mereka masih menuai kontra. Ditambah juga masalah stigma dan salah kaprah yang terjadi.
Tentu, ini adalah hal yang paling lumrah terhadap budaya moralis di Indonesia. Tapi masalahnya bukan tentang bagaimana berdandan seperti seorang wanita. Melainkan fokus utama para crossplayer adalah hiburan dan entertaining semata.
Biasanya crossplayer akan melakukannya demi lomba dari sebuah event jejepangan. Atau menjadi seorang model. Umumnya mereka menjual karyanya dalam bentuk foto. Dari mulai konten yang Safe For Work (SFW) sampai Not Safe For Work (NSFW). Dan target pasar mereka pun hanya menyasar bagi para fansnya saja.
BACA JUGA: APA SIH MANFAATNYA JADI COSPLAYER?
Pembelaan yang paling jelas bagi para crossplayer adalah salah satu bentuk ekspresi seni. Yang harus diketahui adalah, usaha para crossplayer demi menjadi semirip mungkin dengan karakter tujuannya tidaklah mudah.
Para crossplayer akan berusaha sebisa mungkin menjaga bentuk badannya agar tetap bagus. Dan banyak dari mereka yang benar-benar belajar makep up dari nol. Selain itu, usaha untuk menjaga dan merawat kulit dengan berbagai skin care dan treatment. Tentu tidaklah murah, ditambah harga dari pakaian untuk cosplay yang tidak murah.
Yang membuat usaha mereka patut dihargai salah satunya adalah keberadaan weeaboo radikal. Mereka adalah tipe weeaboo yang tidak ingin waifu mereka dirusak oleh cosplayer asal-asalan. Biasanya komentar mereka cukup membuat mental terganggu.
Melihat seorang crossplayer adalah bagaimana mereka menjadikan tubuhnya sebagai objek seni. Tujuan yang berfokus pada entertain dan hiburan namun dilakukan dengan sepenuh hati dan sangat serius.
BACA JUGA: COSPLAYER JUGA MANUSIA, BERIKUT 4 ETIKA BERFOTO DENGAN MEREKA
Sebenarnya yang paling menyebalkan adalah tuduhan orientasi seksual mereka yang diasumsikan menyimpang. Padahal hal itu belum tentu adanya. Banyak crossplayer yang datang ke sebuah event jejepangan yang justu ditemani oleh kekasih wanitanya. Namun, asumsi ini akan sangat mengganggu ketika sudah memasuki ranah digital.
Bahkan sampai akhirnya, crossplayer akan memberikan sebuah statement yang diletakan di bio media sosialnya. Dengan isinya menyatakan tentang orientasi seksualnya, demi menghindari asumsi netizen.
Apalagi keberadaan orang-orang yang tidak bisa membedakan tentang dunia maya dan nyata. Mereka yang berpikir apa yang ada di media sosial seratus persen benar adanya. Wajar saja apabila Indonesia dianggap memiliki literasi media sosial/digital yang rendah.
Iklim dunia digital yang tidak sehat malah membuat para crossplayer agak kesulitan mengekspresikan nilai seni mereka. Namun, selama bisa menciptakan iklim komunitas yang baik di media sosial. Tentunya akan memudahkan crossplayer untuk berkarya lebih bebas.
Dengan banyak kondisi inilah rasa untuk mengerti dan berpikir rasional menjadi penting. Untuk menghindari asumsi tanpa dasar, dan menciptakan iklim media sosial yang kondusif. Apalagi selama kebebasan berekspresi seseorang tidak menghalangi orang lain untuk berekspresi. Yang harusnya sih, sah-sah saja.(*/)