Esensi

RILISAN FISIK MASIH PUNYA ‘NYAWA’

Generasi sekarang mana kenal yang namanya kaset apalagi piringan hitam yang suaranya kresek-kresek? Lagu-lagu kesayangan dari band dan penyanyi favorit cukup diunduh ke gadget. Praktis! Tapi jangan salah, yang fisik gini terasa lebih klasik.

title

FROYONION.COM - Perkembangan zaman dan globalisasi telah membuat berbagai hal di dunia ini mengalami perubahan. Munculnya inovasi-inovasi baru pada akhirnya menuntut semua industri agar bisa beradaptasi dengan perubahan yang ada. Dalam hal ini, industri musik adalah salah satu yang terkena dampaknya. Digitalisasi musik memiliki dampak yang cukup signifikan terhadap industri musik dengan secara tidak langsung mengubah cara manusia dalam membuat dan menikmati musik.

Musik yang telah eksis untuk waktu yang sangat lama pada kehidupan manusia mengalami begitu banyak transformasi, mulai dari fisik sampai digital. Pada tahun 90-an sampai era awal 2000-an yang mana digadang-gadang sebagai masa kejayaan musik Indonesia, akses untuk menikmati musik terbilang sangat terbatas. Para penggemar musik di masa itu harus mendatangi langsung suatu konser musik atau membeli berbagai macam produk musik seperti piringan hitam, kaset pita, dan compact disk untuk bisa menikmati suatu karya.

 Namun, keterbatasan ini tidak senantiasa menyebabkan antusiasme penggemar menurun. Sebut saja album ‘Bintang Di Surga’ milik Peterpan, album Bintang Lima’ milik Dewa 19, sampai ‘Kisah Klasik Untuk Masa Depan’ milik Sheila On 7 yang mana adalah beberapa bukti nyata dari antusias penggemar yang begitu fantastis dengan torehan penjualan lebih dari 2 juta keping pada album-album tersebut. Konser musik merebak, toko musik laku keras, rilisan fisik menjadi sebuah komoditas yang selalu bisa kita temui di mana-mana.

DIGITALISASI 

Seperti halnya industri broadcast yang berkembang dari audio menjadi audio-visual, industri musik juga mengalami hal serupa. Kemunculan format audio MP3 beserta MP3 Player, semakin majunya internet, sampai diluncurkannya Ipod oleh Apple menjadi awal dari digitalisasi musik. Laman-laman untuk mengunduh musik baik secara legal maupun ilegal bermunculan di internet, tak sedikit manusia yang kemudian terseret dalam gaung digitalisasi.

Kemunculan platform digital streaming seperti YouTube pada tahun 2005 hingga Spotify pada tahun 2008 semakin merubah cara manusia dalam memproduksi dan menikmati musik. Tak sedikit orang-orang yang mulai berhenti membeli rilisan fisik dan mulai beralih ke musik digital. Akses untuk menikmati musik memang semakin efisien dan praktis, namun beberapa orang berpendapat bahwa hal ini tidak lagi bersifat spesial dan personal.

Namun, sebelum lebih jauh membicarakan mengenai hal ini, kurang afdol rasanya apabila hanya menggunakan opini pribadi tanpa adanya riset yang lebih mendalam. Saya kemudian melakukan wawancara singkat secara virtual untuk memperoleh perspektif baru dengan Harri Prakosa, atau yang akrab disapa Mas Harri. Mas Harri sendiri adalah seorang pemilik toko musik atau record store bernama Rilisan Fisik (@rilisan_fisik) yang berbasis di Yogyakarta. Toko ini menjual berbagai macam produk musik mulai dari album cd, kaset pita, piringan hitam, buku, hingga merchandise yang dikeluarkan oleh para musisi tanah air

“Menurut saya, rilisan fisik itu tetap abadi, sifatnya yang esensial dan bisa dipegang secara langsung membuat hal ini (menikmati musik) jadi lebih ngena secara personal.” Ungkap Harri Prakosa dalam sebuah wawancara virtual melalui Zoom Meeting. Mas Harri memiliki pendapat yang sama sebagai seseorang yang tidak hanya menikmati namun juga terjun langsung dalam industri ini. Mas Harri juga menambahkan bahwa membeli rilisan fisik merupakan sebuah bentuk dukungan secara langsung dan nyata terhadap karya para musisi.

 “Mendukung musisi itu banyak bentuknya, bisa dengan nonton konser musik, beli merchandise, tapi yang dampaknya langsung dirasakan oleh musisi ya dengan membeli rilisan fisik karena tidak adanya potongan dan pendapatan langsung masuk ke mereka,” sambung Mas Harri.

 Meskipun digitalisasi musik secara perlahan menggerus eksistensi rilisan fisik, nyatanya rilisan fisik belum benar-benar hilang. Rilisan fisik masih hidup dan menjadi sebuah ajang bagi para musisi untuk saling beradu kreativitas. Pengemasan album yang semakin khas dan penuh warna, format rilisan fisik yang beragam, serta segala cerita yang ada di balik tiap lagunya menjadi daya tarik tersendiri bagi para penggemarnya.

Awal tahun ini sendiri, beberapa musisi tanah air semakin menggelora dalam mengembalikan eksistensi rilisan fisik. Sebut saja Nadin Amizah yang merupakan pendatang dalam skena musik nasional dengan mengejutkan berhasil menjual 400 piringan hitam dari album pertamanya, ‘Selamat Ulang Tahun’ hanya dalam waktu 1 jam 43 menit. Mendekati pagelaran Record Store Day, Hindia seakan tak mau kalah, 300 piringan hitam dari album ‘Menari Dengan Bayangan’ telah dipesan seluruhnya hanya dalam waktu 5 menit 43 detik.

Hal ini cukup mengejutkan mengingat industri musik terasa cukup lesu semenjak pandemi menyelimuti seluruh dunia. Konser musik ditiadakan, perkumpulan manusia juga dibatasi. Segala aktivitas musik hanya bisa dinikmati melalui platform digital streaming seperti YouTube, Spotify, Joox, Apple Music, dan lain sebagainya.

MASIH BERTAHAN

Hadirnya inovasi mengembalikan eksistensi rilisan fisik juga didukung oleh para musisi dan penggemar. Acara tahunan seperti Record Store Day (RSD) dan Cassette Store Day (CSD) yang mewadahi pertemuan antara musisi, penggemar, dan para pemilik toko musik selalu ramai dikunjungi. Alat pemutar musik portabel seperti walkman dan discman menjadi buruan yang tak kalah penting ketika pagelaran ini diadakan.

Teori permintaan dan penawaran menjadi salah satu alasan di balik eksistensi rilisan fisik. Selama masih ada demand atau permintaan maka akan selalu ada supply atau penawaran. Artinya, masih ada begitu banyak penggemar yang menantikan kehadiran rilisan fisik dari karya yang dihasilkan oleh musisi entah itu dalam bentuk single, EP (Extended Play), maupun album.

Lebih jauh dari itu, rilisan fisik pada dasarnya selalu mempunyai ruang dalam hati para penggemar musik. “Mempunyai rilisan fisik dari sebuah band atau seorang musisi itu menimbulkan perasaan bangga tersendiri, terlebih ketika ada sesuatu yang eksklusif pada rilisan fisik itu.” Ungkap Mas Harri ketika ditanya mengenai alasan mengapa banyak orang masih membeli rilisan fisik.

Rilisan fisik juga memberi kesan nostalgia, kisah-kisah yang ada di balik sebuah rilisan fisik selalu tertanam dalam benak pemiliknya. Tak jarang kenangan seputar proses mendapatkan suatu rilisan fisik atau dampak yang ditimbulkan dari suatu rilisan fisik menyeruak ketika seorang manusia sedang menatap dalam-dalam atau memutar rilisan fisik miliknya. Sebab, di mata penggemarnya, rilisan fisik akan selalu hidup, bernyawa, dan sependapat dengan apa yang disampaikan Mas Harri, rilisan fisik itu abadi.



 

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Haidhar Fadhil

Mahasiswa HI yang suka nulis, seni, musik, dan motor