Esensi

PLURALITAS YANG ROMANTIS DI LASEM 'TIONGKOK KECIL'

Romantisme lintas iman dan ras lahir serta tumbuh dengan subur di pesisir utara Jawa, mereka melebur tanpa sekat tak tergilas zaman. Kayak gimana sih romantisme yang ada di sana? Cek aja di bawah, Civs. Sikat!

title

FROYONION.COM- Lasem, sebuah kota kecil di pesisir utara pulau Jawa yang sering disebut juga sebagai Tiongkok Kecil. Salah satu kecamatan di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah ini bisa dikatakan begitu autentik dengan berbagai macam warna, terlebih pada struktur masyarakat dan kebudayaannya. Bagaimana tidak? Wilayah yang notabenenya hanyalah sebuah kecamatan ini memiliki sejarah yang luar biasa dalam perkembangannya dan masih lestari sampai saat ini. 

Mulai dari peranakan Tionghoa yang menetap di Lasem sejak sekitar tahun 1700-an sampai saat ini dapat hidup berdampingan dengan penduduk asli dengan damai, melebur menjadi penduduk asli Lasem juga, dengan kata lain tak ada kata pendatang maupun pribumi karena semua sama, sama-sama penduduk asli Lasem. Kerukunan yang terjadi dapat dibuktikan dengan adanya sebuah Klenteng bernama Gie Yong Bio di Lasem yang di dalamnya terdapat patung Raden Panji Margono yang merupakan salah seorang Jawa Islam yang berjuang mengusir penjajah Belanda atau lebih tepatnya VOC saat itu, dari tanah Lasem dalam perang kuning bersama Oei Ing Kiat, Tan Kee Wie, Kyai Ali Badawi serta orang-orang Tionghoa maupun Jawa yang lain. Bagi orang-orang Tionghoa di Lasem, Raden Panji Margono adalah orang yang sangat berjasa bagi mereka, memandang perbedaan sebagai media persatuan untuk mempertahankan ibu pertiwi, sebab itu dibuatlah patung Raden Phanji Margono di klenteng Gie Yong Bio, Lasem.

Tidak berhenti di romantisme perang kuning saja, kerukunan masyarakat Tiongkok kecil ini masih terus berlanjut romansanya, melalui pondok pesantren bernama Kauman asuhan KH Muhammad Zaim Ahmad Ma’shoem atau akrab disapa gus Zaim ini memiliki arsitektur bergaya rumah China, yang memang awalnya pondok pesantren ini merupakan rumah peninggalan keturunan keluarga Tionghoa yang kemudian dijual dan dijadikan pondok pesantren, namun gus Zaim tetap mempertahankan arsitektur gaya pecinan rumah tersebut, bahkan menambahi dengan ornamen-ornamen khas Islami dan China seperti lampion di sekitaran pondok pesantren. Ada juga pos ronda di sebelah pondok pesantren bergaya bangunan pecinan dengan hiasan tulisan china dan arab di sebelah kiri dan kanan pintu. Gus Zaim sendiri mengaku tidak ingin mengubah orisinalitas dari rumah yang Beliau jadikan pondok pesantren serta kediamannya saat ini, Beliau lebih memilih mempertahankan identitas dari rumah tersebut.

Ditambah adanya sebuah desa bernama Karangturi yang didominasi dengan deretan rumah-rumah pecinan yang masih kokoh berdiri dan mayoritas masih ditempati oleh pemiliknya secara turun temurun serta letak pondok pesantren yang berada di kawasan rumah-rumah pecinan itu menumbuhkan romantisme tersendiri bagi masyarakat, terlebih jika ada gotong-royong semua berduyun-duyun turut andil, atau apabila masyarakat sekitar sedang tertimpa musibah seperti kematian atau butuh bantuan banyak orang maka semua santri pondok pesantren Kauman membantu dan begitu juga sebaliknya.

Di kedai kopi pun romantisme kerukunan masyarakat Lasem terlihat begitu kental, semua membaur tanpa sekat usia, ras, maupun agama. Ketika para santri “jagongan” atau nongkrong di kedai kopi milik orang cina dan kemudian berdialog dengan seorang Jawa abangan adalah romantisme yang lahir dan lestari sejak dahulu kala hingga detik ini di Lasem. Serta saat berpapasan di jalanan dan saling sapa adalah sesuatu yang jarang kita temukan di kota-kota besar tetapi masih ada di Lasem sampai saat ini, meski yang saling menyapa itu belum tentu saling kenal.

Bukti keharmonisan antar masyarakat Tiongkok kecil ini pun berpengaruh pada kebudayaan batik, yang dimana Lasem juga merupakan sentra batik tulis yang besar dan harum namanya di kancah nasional hingga internasional meskipun masih kalah tenar dengan Jogja, Solo, Pekalongan untuk lingkup Jawa. Motif batik Lasem adalah perpaduan budaya lokal dengan Tiongkok, seperti misalnya penggunaan warna merah darah adalah perpaduan antara Tiongkok yang identik dengan warna merah dan menjadi pekat merah darah setelah masuk ke Lasem. 

Dijelaskan dalam buku Babad Lasem, anak buah kapal Laksamana Cheng Ho yang bernama Bi Nang Un menetap di daerah Lasem bersama istrinya Na Li Ni dan kemudian si Na Li Ni ini mulai membatik dengan membuat motif naga, phoenix, mata uang serta warna merah yang identik dengan Tiongkok yang pada akhirnya motif batik Lasem sangat identik dengan warna merah darah, motif naga (biasanya masyarakat Jawa menyebut liong) yang memiliki arti keberuntungan dan kemakmuran, motif phoenix yang berarti kesetiaan, motif watu pecah yang bercerita tentang penderitaan masyarakat Lasem bekerja di pertambangan pemecahan batu di masa Hindia Belanda pimpinan gubernur jenderal Daendels ketika itu.

Dan saat ini, Lasem tengah berbenah menjadi kota pusaka atau sering disebut dengan “Heritage City” sejak tahun kemarin, hal tersebut merupakan bagian dari program kementerian PUPR.

Serta jangan lupa bahwa, romantisme masyarakat Lasem masih terus lestari di tengah kemajuan zaman, di tiap rumah, di tiap gang, di jalan raya, di pasar, di warung kopi, dimana saja di tiap sudut Lasem “Tiongkok Kecil” di pesisir utara laut Jawa. Semoga saja selalu lestari tanpa mengenal henti.(*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Imam Luqman

Mahasiswa Sastra Indonesia tingkat akhir di salah satu kampus negeri di Surabaya, anggota masyarakat urban di Surabaya dan aktif di kesenian teater dan film pendek