
Akhirnya, di tengah dunia yang penuh tipu-tipu dan kemunafikan ini, saya menemukan satu hal yang masuk akal; seorang bapak lulusan STM dengan pengalaman segudang diterima bekerja ketimbang fresh graduate lulusan UI tanpa pengalaman.
FROYONION.COM - Saya senang sekali membaca tweet yang menunjukkan kedangkalan seorang mahasiswa perguruan tinggi ternama. Ngegas karena enggak terpilih sebagai karyawan dan dikalahkan oleh bapack-bapack lulusan STM tapi punya segudang pengalaman dan sertifikasi mumpuni terkait bidangnya.
Ingin saya bilang langsung, lau sehat berani ngebacot begitu? Kok sudah sarjana pemikirannya masih seperti katak dalam tempurung?
Mungkin—yah mungkin, kita di Indonesia dibesarkan di kultur yang demikian, yang menganggap kuliah adalah jaminan mendapatkan kehidupan lebih baik. Sebelas dua belaslah dengan anggapan kalau cinta adalah sarana pembebasan atas status lajang.
Bukan hanya kuliah, dimana kita kuliah juga menjadi pertimbangan yang mempermudah mendapatkan pekerjaan. Zaman saya menjadi freshg raduate dulu—saya lulusan 2008 angkatan 2004 FISIP USU (Universitas Sumatera Utara), saya sering melihat lowongan pekerjaan yang mencantumkan persyaratan kandidat berasal dari universitas terkemuka. Salah satunya adalah perguruan tinggi negeri (PTN).
“Kemabukan” akan perguruan tinggi negeri menciptakan jalur lain untuk masuk kampus negeri. Salah satunya adalah keberadaan jalur mandiri yang memberi kesempatan pada orang-orang berduit yang tidak berhasil masuk kampus negeri untuk mencoba jalur masuk lain kampus negeri impiannya. Tentu saja harganya lebih mahal.
Perbandingannya bisa sepuluh kali lipat. Kalau saya enggak salah ingat. Di tahun 2004, uang kuliah satu tahun jurusan Ilmu Komunikasi FISIP USU adalah Rp 750.000. Sedangkan untuk mahasiwa jalur mandirinya membayar Rp 7.500.000 per semester atau per tahun. Luar biasa kan?
Kalau suudzon-nya saya, ini karena nama besar USU serta keyakinan kalau lulusan USU lebih mudah diterima bekerja. Jadi ya sudah, mati-matianlah masuk USU supaya masa depan cerah. Secerah wajah Pevita Pearce.
Faktanya, setelah lulus kuliah, apa yang terjadi? Apakah yang lulus 3,5 tahun dengan IPK selangit lantas cepat dapat kerja dengan gaji Rp 8 juta? Enggak juga sih, Pulgoso…
Gaji pertama saya ketika bekerja di surat kabar di Medan adalah Rp 850.000. Itu pun juga setelah diterima kerja ada aroma-aroma enggak digaji alias terima amplop dari narasumber. Kerja melebihi 9 to 5, berselimut debu dan asap kendaraan, digaji kembang-kempis. Siapa yang mau kerja begitu? Hanya orang-orang kepepet saja yang butuh pekerjaan karena tuntutan ekonomi yang bisa menjalani profesi demikian.
Eniwei baswei, modal ijazah dan jebolan PTN enggak menjamin langsung cus dapat kerja dengan gaji dua digit seperti mimpi generasi Z sekarang, brader and sister. Hidup tidak sebercanda itu. Kalau mau hidup yang bener, kita perlu yang namanya pengalaman, sertifikat, serta kompetensi-kompetensi pendukung lainnya.
Saya kuliah jurusan Komunikasi program studi Jurnalistik. Di semester akhir, kami disuruh magang di media. Sebagai anak lokal, banyak yang berburu magang di media nasional seperti Kompas dan Trans 7. Tahun 2000-an, Trans 7 menjadi media yang megang banget dan ditonton banyak orang. Mungkin, menjadi cita-cita banyak anak muda di masa itu untuk kerja di Trans 7.
Secara anak yatim dengan keterbatasan modal, saya dan seorang teman hanya bisa bermimpi magang di media lokal. Waktu itu kami magang di Waspada yang sudah berdiri sejak 1947 dan turut menyumbang sejarah pers Indonesia.
Oh ya, sebelum magang di Waspada, kami sempat magang lepas di TVRI Medan. Pengalaman magang official dari kampus dan pribadi ini memang sedikit banyak memperkaya pengalaman persiapan menuju dunia kerja. Terutama kalau memang mau menyemplungkan diri ke dunia jurnalistik.
Ketika kuliah, kami diajarkan teori-teori Komunikasi, cara membuat straight news, sistem kerja periklanan, membuat tulisan feature, fotografi dasar, dan lain-lain. Dan di magang baru terlihat jelas bagaimana teori-teori tersebut dipraktikkan.
Kemudian, setelah lulus kuliah, dengan bekal ijazah dan magang dari dua tempat, apakah lantas mempermudah jalan menuju dunia kerja? Kita harus melihat dulu perkembangan dunia kerja di Medan seperti apa. Bagaimana industri media di Medan dapat memberikan lapangan kerja kepada pekerja baru.
Kesempatan tidak hanya datang dari jebolan mana, lapangan kerja, kemauan dan kemampuan, serta faktor “orang dalam”. Oh, ya sampai lupa, penampilan juga menjadi pertimbangan dong, di negara yang sangat memperhatikan bungkusan ketimbang isi ini. “Penampilan menarik”, “usia 25 – 30 tahun”, menjadi kriteria mutlak beberapa lowongan pekerjaan. Seolah kandidat di atas 30 tahun sudah tidak layak bekerja.
Dear para freshgrad dan pencari pekerjaan pada umumnya, ada begitu banyak faktor yang menentukan kita bisa mendapatkan pekerjaan. Semata pengalaman saja juga tidak menjadi penentu. Apalagi modal lulusan universitas “ternama” dengan nol pengalaman—kecuali punya “orang dalam”.
“The power of orang dalam” ini dari masa ke masa memang nggak ada matinya. Jangankan kerja di bumi, kalau punya kenalan alien, lau juga bisa kerja di Mars. Ketimbang membuat status yang mempermalukan diri sendiri dan almamater, mending mengasah diri dengan meningkatkan skill.
Sekarang ini, persaingan kerja lebih tinggi dari Monas, so kita memang perlu menambah pengalaman dan keahlian baru. Caranya gimana? Kan ada banyak kelas yang bisa diikuti, baik berbayar maupun gratis. Atau belajar otodidak, membuat platform sendiri, atau nyanyi Yellow seperti Aldi Taher. Intinya, mencari kerja memang butuh pengalaman. Mendapatkan uang perlu kemauan dan usaha—bukan hanya ijazah. (*/)