
Bener nggak sih kalau aturan baru Perpu Cipta Kerja bikin lo libur cuma 1 hari sepekan? Apa kabar dong nantinya para budak korporat ye, jadi makin sering healing gara-gara burnout dong?
FROYONION.COM - Pemerintah resmi menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja untuk menggantikan Omnibus law UU Cipta Kerja yang telah ditetapkan sebagai inkonstitusional bersyarat menurut Mahkamah Konstitusi (MK).
Mungkin berita ini jadi salah satu topik yang banyak lo dengar di awal tahun 2023 ini ya Civs. Pasalnya, beleid itu diteken 30 Desember 2022 kemarin dan bikin gempar karena banyak aturan yang dianggap bermasalah bagi kaum pekerja (jangan lupa kalau banyak orang Indonesia itu budak korporat ya).
FYI, dengan terbitnya Perpu ini maka putusan MK pada 2020 lalu jadi gugur ya Civs. Sebelumnya memang MK meminta agar pemerintah memperbaiki dan merevisi sejumlah pasal bermasalah dalam kurun waktu 2 tahun --deadline hingga 25 November 2023--. Tapi, cara pintas yang dipakai pemerintah alih-alih merevisi UU adalah dengan menerbitkan Perpu.
Oke deh, tapi kita mungkin nggak usah terlalu jauh bahas soal huru-hara tepat atau enggaknya penerbitan Perpu ini.
Dalam Perpu terbaru yang diluncurkan, ada anggapan bahwa hak libur dua hari bagi pekerja yang diatur dalam Pasal 79 ayat (2) huruf b telah dihapus. Nah, klausul soal libur 2 hari itu lenyap dan berbeda dari apa yang diatur dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Nih buat perbandingan, coba gue tulis apa yang dicatet sama dua beleid itu ya.
Pasal 79 Perpu Cipta Kerja:
Waktu istirahat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib diberikan kepada Pekerja/Buruh paling sedikit meliputi:
a. istirahat antara jam kerja, paling sedikit setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus-menerus, dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja; dan
b. istirahat mingguan I (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
Sementara kalau di Pasal 79 UU 13/2003:
Waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), meliputi:
a. istirahat antara jam kerja, sekurang kurangnya setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja;
b. istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu;
Terlihat kan perbedaannya itu ada di hilangnya klausul istirahat mingguan buat jangka waktu 2 hari untuk lima hari kerja dalam sepekan. Kata tersebut nggak lagi masuk redaksional Perpu terbaru yang bakal jadi payung hukum buat lo pada budak corporate ke depannya nanti.
Meskipun sebenarnya klausul itu juga sudah hilang sejak pengesahan UU Ciptaker dulu. Tapi ternyata setelah diperbarui jadi Perpu, nggak ada penyesuaian lebih lanjut soal polemik hari istirahat mingguan bagi pekerja, ya.
Buat lo tahu juga nih Civs, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) sebenarnya juga sudah buka suara tentang hari libur itu. Lembaga ini menegaskan kalau nggak ada penghapusan hari libur dalam Perpu yang sudah disahkan itu.
Ada anggapan lain juga kalau dalam Perpu Ciptaker ini maksimal 40 jam kerja dalam seminggu sudah diterapkan. Sehingga nantinya pengusaha bisa memilih antara lima hari kerja dengan durasi 8 jam kerja per hari. Atau pakai pendekatan lain, yakni enam hari kerja dengan durasi 7 jam kerja per hari ditambah 5 jam pada hari terakhir.
Gue pun coba ngobrol soal gimana implementasi Pasal itu ke dosen hukum ketenagakerjaan Universitas Gadjah Mada, Nabiyla Risfa Izzati. Doi pun mengatakan kalau lewat Pasal tersebut bukan artinya lo para budak korporat cuma dapat jatah libur satu hari sepekan.
Kata Nabiyla, maksud dari klausul itu adalah aturan batas minimum libur yang bisa diberikan kepada pekerja itu paling sedikit satu hari sepekan. Pasalnya pun nggak berubah dari apa yang tercantum dalam UU Cipta Kerja 2020 lalu.
"Ini bukan berarti bahwa istirahat mingguan cuma boleh 1 hari dalam seminggu, tapi dia mengatur batas minimum paling sedikit. Memang jadi membingungkan karena tidak selaras dengan Pasal 77 ayat (2). Tapi lagi-lagi, ini bukan baru dimunculkan di Perpu, tapi sejak UUCK sudah begini," kata Nabiyla saat berbincang, Senin (2/1/2023).
Nggak cuma itu, pasal tersebut juga harus dibaca senafas dengan ketentuan waktu kerja. Di mana, perusahaan yang memberi waktu istirahat 1 hari dalam seminggu, maka waktu kerja maksimalnya adalah 7 jam sehari.
Tapi, tetep ada kekhawatiran yang muncul nih. Apalagi, dengan nggak adanya perbaikan dari polemik terdahulu bikin celah hukum itu sebenarnya rentan dimanfaatkan buat korporasi ngasih libur satu hari doang kepada pekerjanya tanpa ada embel-embel lain soal penyesuaian waktu kerjanya.
Nabiyla sih juga melihat kalau ketentuan lembur yang makin panjang dalam Cipta Kerja ini bisa membuat para budak korporat nantinya harus bekerja dengan waktu yang lebih panjang lagi.
"Pasca UUCK membuka kemungkinan pekerja bekerja dengan waktu kerja panjang, dan hanya mendapatkan waktu istirahat 1 hari seminggu. Yang mana akhirnya hal ini cenderung merugikan bagi pekerja," jelasnya.
Kalau memang hilangnya klausul itu ternyata berefek sama hari libur minimal bagi para kaum pekerja, gimana dong seharusnya pemerintah bertanggung jawab atas perubahan itu ya.
Sebenarnya kalau lo ingat, dilansir dari Okezone, Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto pada 2020 pernah ngejelasin kalau polemik pasal tentang waktu kerja ini (yang tercantum di UU Ciptaker) sama aja kayak aturan lama which is diatur dalam UU 13/2003. Menurut dia, ada pekerjaan yang butuh fleksibilitas seperti e-commerce sehingga membutuhkan adanya pasal tersebut.
Tapi kan aturan ini nggak cuma buat e-commerce corp doang ya, gimana nantinya kalau memang celah itu dimanfaatin buat ngasih libur yang minimal bagi pekerja di korporasi lainnya? Itu nantinya kan bakal berbeda dari waktu kerja lembur yang juga sebenarnya diatur dalam aturan tersebut.
Balik lagi ke soal penyesuaian waktu kerja 7 jam sehari. Nabiyla menganggap kalau pemerintah perlu menjabarkan enforcement yang serius dalam beleid tersebut kepada korporasi yang melakukan pelanggaran jam kerja ini kepada pekerjanya.
Selama ini, kata Nabiyla, masih banyak situasi di lapangan yang memperlihatkan kalau pekerja bertugas lebih dari waktu kerja. Nah, pemerintah nggak ada tuh di posisi tersebut buat melakukan penindakan kepada mereka yang melanggar.
"Enforcement lebih serius soal pengawasan maksimal waktu kerja, maksimal waktu lembur dan upah lembur. Kenyataannya di lapangan banyak sekali pekerja yang bekerja melebihi waktu kerja," tambah dia.
Bukan itu doang sih menurut gue, ada beberapa hal-hal yang perlu ditambahkan nih buat memperjelas aturan ini. Misalnya dengan penyesuaian upah yang diberikan buat para budak korporat.
Terus juga, indikator apa sebenarnya yang bisa dipakai buat perusahaan atau korporasi buat dianggap butuh 'fleksibilitas' sehingga bisa menyesuaikan waktu kerjanya lebih banyak dari biasanya.
Sebenarnya kan praktek-praktek potong hari libur juga banyak dikenal di kalangan pekerja ya. Misalnya mereka yang ada di industri kreatif, perfilman, broadcasting, IT security, hingga jurnalis gue rasa juga sering kok kena potong hari liburnya dalam sepekan.
Tapi selama ini kurang ada penyesuain upah yang bisa diberikan kepada mereka yang harus mengorbankan hari liburnya (2 kali sepekan) buat bekerja.
Gimana Civs, kalau lo mau lebih paham lagi soal hak dan kewajiban lo sebagai budak korporat versi Perpu Cipta Kerja mendingan lo cek langsung deh dokumen lengkapnya di situs JDIH Setneg ini. (*/)