Esensi

KENAPA URANG SUNDA SUKA NGELALAP?

Siapa sih yang nggak suka pecel ayam atau pecel lele. Aneh sih kalo sampe ada yang nggak suka. Kalo makan pecel pasti ada lalapan nya kan? Nah, disini bakal dibahas soal sejarah lalapan.

title

 

 

FROYONION.COM - Kita pasti sudah terbiasa beli pecel ayam atau beli pecel lele yang ada di pinggir jalan kan? Dan udah pasti ayam atau lele itu dimakan sama pendampingnya yakni  sambel sama lalapan. Sambel sama lalapan sendiri udah pasti sepaket kalau kita beli pecel ayam atau pecel lele. Sambal dan lalapan sendiri sangat bervariasi. 

Ada yang pake sambel terasi, sambal tomat, sambal bawang atau sambal itu signature dari warung tersebut yang membedakan dengan sambal warung-warung lain. Begitu juga dengan lalapannya, lalapan sendiri terdiri dari berbagai macam sayur ada yang direbus maupun yang dimakan mentah gitu aja. Sayurnya juga macem-macem ada daun kemangi, timun, tomat, kol, daun selada, leunca, dan masih banyak lagi deh.

Tapi kalau ngomongin soal lalapan pasti identik dengan urang-urang Sunda. Orang Sunda terkenal sangat suka mengkonsumsi sayur-sayuran. Bahkan ada bercandaan yang berkaitan orang Sunda dengan lalapan ini, katanya kalau punya istri orang Sunda nggak usah repot-repot ngasih makan karena dikasih daun-daunan aja udah seneng (kayanya lebih ke bercandaan bapak-bapak).

Tapi suka nggak suka atau lucu nggak lucu bercandaan itu merupakan sebuah fakta yang menarik, karena memang sayur-sayuran sangat melimpah bagi orang Sunda. 

Menurut pakar Unus Suriawiria, dari 80 jenis makanan yang dikonsumsi oleh orang Sunda 65% di antaranya adalah tumbuhan atau tanaman. Baru sisanya daging dan ikan. Orang Sunda mengenal sekitar 59 jenis pucuk/daun muda, 18 jenis bunga, 20 jenis buah muda, dan belasan jenis biji-bijian yang bisa dimanfaatkan sebagai lalap. 

Tapi kalau dipikir-pikir lagi, sejak kapan sih orang-orang Sunda ini sudah mengkonsumsi lalapan??

Kalau menurut penelusuran arkeologis, bukti tertua dari jejak lalap terbaca dari beberapa kosakata dalam tinggalan tertulis pada abad ke-10 yakni dalam Prasasti Panggamulan (824 Saka/902M) dari Sleman, Jawa Tengah. Di dalam prasasti itu disebut bahan-bahan makanan dari sayur-sayuran yaitu rumwah-rumwah, kuluban, dudutan, dan tetis. Rumwah-rumwah artinya yaitu lalap mentah, kuluban artinya lalap yang direbus, dudutan artinya lalap mentah yang diambil dengan cara dicabut akarnya dan tetis adalah sejenis sambal atau petis. 

Jenis tumbuhan yang dimakan untuk lalap ini kemungkinan tumbuh liar secara alami di daerah kebun, persawahan, dan pekarangan rumah. Seiring berjalannya waktu dengan datangnya orang-orang India, Tiongkok, dan Eropa, bahan yang digunakan untuk lalap juga menjadi semakin bervariasi. 

Bukti tentang variasi lalap ini juga tercatat dalam Serat Centhini. Di dalam naskah tersebut menyebutkan tentang perjalanan Jayengresmi ke Gunung Salak, Bogor. Dikisahkan jika Jayengresmi memperoleh “pengalaman botani” yang membuatnya senang hidup di daerah tersebut. Di situ ia banyak menemui varietas sayur-sayuran dan buah-buahan yang bermacam dan beberapa di antaranya produk-produk dari Eropa. Beberapa varietas yang disebutkan adalah labu, waluh, bit, terong, ramenas (nanas), patrasalya (peterseli), selat (slada), dan lain-lain

Bukti lain juga terdapat pada sebuah naskah Sunda peninggalan dari abad  ke-16 yang berjudul Sanghyang Siksa Kandang Karesian. Di dalam naskah tersebut sebenarnya  tidak banyak memberikan gambaran tentang budaya lalap, tetapi setidaknya cukup memberikan informasi penting terkait macam-macam rasa masakan. 

Namun dalam naskah tersebut, ada sebuah kalimat menarik yang berbunyi “kalingana asak deung atah” (sebenarnya hanya mentah dan masak).  Hal tersebut kemungkinan merujuk pada pada konteks lalap yang dimakan secara mentah atau dimasak dengan cara  seperti yang dijelaskan pada Prasasti Panggamulan.

Kecenderungan mengkonsumsi sayur-sayuran atau lalap itu ternyata juga adanya pengaruh keadaan geografis. Pada abad 15 wilayah Jawa yang juga meliputi wilayah Jawa Barat merupakan hutan belantara yang lebat. Sehingga, budaya menggembala ternak yang masif tidak berkembang. Bahkan hingga abad ke-19, Thomas Stamford Raffles juga melaporkan jika tidak ada laporan yang menunjukkan adanya pertumbuhan ternak di Jawa Barat yang signifikan. Dari bukti ini, bisa disimpulkan jika kebutuhan pangan masyarakat Sunda bergantung kepada tumbuh-tumbuhan. 

Ngelalap sendiri saat ini sudah dikonsumsi oleh semua orang dari semua kalangan. Karena memang ada kenikmatan sendiri menyantap makanan dengan lalapan. Kombinasi nasi, sambel, lauk, dan ditambah lalapan pastinya sangat menggugah selera. (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Rizka Salsabila

Just another mbak-mbak. Suka bola dan suka k-pop. Dan sesekali suka masak (masak air). Suka makan juga. Banyak suka pokoknya.