Esensi

JERITAN PETUGAS KPPS, GAJI TAK SEBERAPA TAPI DIHANTUI RESIKO KEHILANGAN NYAWA

Gaji petugas KPPS disebut tak sebanding dengan resiko kehilangan nyawa, tercatat sudah 108 petugas Pemilu 2024 yang meninggal dunia. Memangnya seberapa berat bekerja sebagai petugas KPPS?

title

FROYONION.COM – Tragedi tewasnya petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) kembali terjadi di Pemilu 2024.

Menyadur dari data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia per tanggal Sabtu, 22 Februari 2024, Kemenkes telah mengkonfirmasi bahwa sebanyak 108 petugas telah dinyatakan kehilangan nyawa setelah bertugas sebagai petugas Pemilu 2024.

Angka kematian dihitung sejak tanggal 10 Februari, mencakup 58 anggota KPPS, 20 anggota Linmas, 12 petugas, sembilan saksi, enam anggota Badan Pengawas Pemilu, serta tiga anggota Panitia Pemungutan Suara.

Penyebab utama dari kematian petugas tersebut sebagian besar disebabkan oleh penyakit jantung, kecelakaan, hipertensi, dan syok septik. Selain itu, gangguan pernapasan akut, penyakit serebrovaskular, diabetes melitus, serta berbagai komplikasi kesehatan lainnya juga turut menyumbang pada angka kematian para petugas tersebut.

Berdasarkan usia, para petugas yang meninggal kebanyakan berada dalam rentang usia 41 hingga 60 tahun.

Sedangkan dalam hal penyebaran, provinsi-provinsi seperti Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah menempati peringkat tertinggi dalam jumlah kematian.

Namun, lebih dari sekadar statistik, tragedi ini menyoroti kondisi yang memprihatinkan di balik layar. Kelelahan menjadi musuh utama bagi para petugas pemilu.

Mereka terjebak dalam siklus kerja yang melelahkan, mulai dari persiapan, pemungutan suara, hingga tahapan akhir yang menyita waktu dan tenaga.

Ludvia salah satu petugas KPPS membagikan ceritanya sebagai petugas KPPS di lingkungan rumahnya, ia diketahui ditugaskan di salah satu TPS di Kabupaten Ponorogo.

Ia mengaku awalnya tertarik menjadi petugas KPPS karena dirinya merasa perlu untuk bersosialisasi dan lebih peduli lagi dengan lingkungan tempat tinggalnya.

“Sewaktu jadi KPPS itu niat pertama aku ikut berkontribusi di lingkungan sosial karena jujur selama ini aku kurang peduli dengan lingkungan sekitar,” ujarnya.

Berawal dari coba-coba, Ludvia mengaku senang bisa menjadi anggota KPPS walaupun capek, apalagi ia dia ditugaskan sebagai ‘Sirekap’ yang notabene memang banyak sekali mengalami trouble ketika bertugas, entah karena jaringan atau data yang tiba-tiba tidak sinkron.

“Sementara aku bagian Sirekap udah mulai kerja masukin data ke aplikasi dan scan data backup buat jaga-jaga. Ya tahu sendiri Sirekap ini tuh banyak masalahnya sebelum hari H dan di waktu hari H. Mungkin servernya trouble,” kata wanita berusia 27 tahun ini.

Ia juga mengaku, saking banyaknya data yang harus di-input, tak jarang petugas KPPS harus merelakan waktu istirahat dan jam tidurnya.

Menurut pengakuannya petugas KPPS harus sudah datang pukul 06.30 WIB dan pekerjaan selesai diproyeksi pada 15 Februari 2024 pukul 03.00 WIB dini hari..

Ibarat kata mereka berangkat pagi dan pulang pun juga pagi buta. 

“Bikin capeknya itu tanda tangan fotokopi hasil C salinan sejumlah saksi, kemudian lima salinan yg wajib dikasih ke PPS, PPK, Panwas, Kpps sama KPU. Itu sih yg bikin capek banget sampe jam 02.00 WIB pagi atau 03.00 WIB pagi itu baru beres,” ungkapnya.

Sementara itu, di lain TPS ia juga mendapat kabar bahwa ada juga beberapa TPS yang baru selesai melakukan perhitungan hingga jam 10.00 WIB.

“Ada loh TPS yang sampe jam 10 pagi 15 Februari baru selesai perhitungan. Kemungkinan nggak teliti sewaktu registrasi karena itu poin penting untuk KPPS,” ujarnya.

Dengan tugas yang bisa dibilang seabrek dan tuntutan 24 jam sehari memang tidak bisa kita pungkiri ada banyak petugas KPPS yang ambruk hingga berujung kematian.

“Mungkin faktor, nggak terbiasa begadang bisa jadi faktor kelelahan juga. Kemudian ada beberapa orang yang lupa makan saking sibuknya juga bisa jadi faktor sih kalau menurut aku. Ketahanan fisik orang beda,” jelasnya.

Sayangnya, kesadaran akan pentingnya menjaga kesehatan masih terasa kurang. Banyak petugas yang mengabaikan kondisi fisik mereka demi menyelesaikan tugas, bahkan jika mereka memiliki riwayat penyakit tertentu.

Faktor ini semakin diperparah oleh minimnya dukungan sistem dan kurangnya perhatian terhadap kesejahteraan petugas.

KPU LAKUKAN PEMUNGUTAN SUARA ULANG

Sementara itu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI telah mengumumkan bahwa 686 lokasi pemungutan suara (TPS) akan mengadakan pemungutan suara ulang, tersebar di seluruh provinsi.

Penghitungan ulang suara diperlukan karena terdapat perbedaan antara jumlah suara sah dan tidak sah dengan estimasi jumlah pemilih yang seharusnya, yang kemungkinan terjadi karena kurangnya pemahaman petugas KPPS di TPS tersebut tentang aturan penulisan data hasil suara.

Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu), pemungutan suara ulang dapat dilaksanakan dalam jangka waktu maksimal 10 hari setelah pemungutan suara awal, yaitu tidak melewati hari Sabtu 24 Februari 2024 mendatang.

KPU juga menyatakan bahwa kemungkinan jumlah lokasi pemungutan suara ulang dapat bertambah.

Selain itu, petugas KPPS telah meminta pemilik untuk memberikan tanda khusus, baik dengan menandai atau menuliskan nama atau alamat pada surat suara yang dicurigai disalahgunakan.

Tidak hanya di Indonesia, pemungutan suara ulang juga akan dilakukan di Kuala Lumpur, Malaysia, khususnya untuk pemilih yang masuk dalam daftar pemilih via pos dan Kotak Suara Keliling (KSK), terkait dengan masalah serius dalam pendataan pemilih di wilayah tersebut.

SOAL PEMILU ULANG AKANKAH MEREKA SETUJU?

Sementara itu saat ditanya soal Pemilu ulang, Froyonion.com berhasil mewawancarai beberapa orang petugas KPPS yang keberatan dengan pemilu ulang tersebut.

Jika pemungutan suara diulang, para petugas KPPS ini mengakui sedikit kecewa karena mereka merasa tidak dihargai jerih payahnya.

Terlebih lagi resiko biaya membengkak juga cukup besar jika pemungutan suara ulang dilakukan.

“Menurut saya tidak perlu dalam pembacaan hasil pemilu dan itu juga sudah disaksikan oleh saksi partai,” ungkap Siti petugas KPPS salah satu TPS di Kabupaten Magetan.

“Jika diulang lagi apakah negara mau mengeluarkan uang lagi karena biaya yang diperoleh setiap KPPS itu sudah banyak mbak, dan jika itu diulang lagi itu akan memakan waktu dan dana negara. KPPS sudah kerja dari pagi sampai pagi. Itu saja sudah berusaha cepat agar tidak menguras tenaga, Namun malah di berita mau diulang lagi,” tambahnya.

Menyadur dari Tempo, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan bahwa pemerintah telah mengalokasikan total dana sebesar Rp 71,3 triliun untuk pemilu dan pilpres 2024. Rincian alokasi tersebut dijelaskan dalam Konferensi Pers APBN Kita pada Kamis, 22 Februari 2024.

Anggaran untuk pemilu pada tahun 2022 tercatat sebesar Rp 3,1 triliun, sementara pada tahun 2023 melonjak menjadi Rp 29,9 triliun. Untuk tahun 2024, pemerintah telah menyiapkan anggaran sebesar Rp 38,3 triliun, namun hingga tanggal 12 Februari baru terealisasi sebesar Rp 16,5 triliun.

Dari anggaran tersebut, sebagian besar dialokasikan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dengan total anggaran mencapai Rp 16,2 triliun. Dana tersebut digunakan untuk berbagai keperluan mulai dari pembentukan badan adhoc, pengawasan pemilu, hingga pengelolaan logistik.

Selain itu, belanja pemilu juga dilakukan oleh 14 Kementerian dan Lembaga lain di luar KPU dan Bawaslu, dengan nilai belanja mencapai Rp 300 miliar. Dana tersebut digunakan untuk berbagai kegiatan termasuk pengamanan, penanganan pelanggaran kode etik, dan diseminasi informasi.

Dengan tercapainya belanja anggaran sebesar Rp 16,5 triliun, pemerintah masih memiliki sisa pagu anggaran sekitar Rp 21,8 triliun dari total pagu anggaran pemilu tahun ini yang mencapai Rp 38,3 triliun.

Selain itu, salah satu petugas KPPS juga mengaku menyayangkan sikap KPU yang acap kali menyalahkan Sumber Daya Manusia (SDM) petugas KPPS, padahal aplikasi dari KPU yang terkadang bermasalah dan petugas hanya bisa pasrah dan menunggu.

“KPU juga sama saja menyalahkan SDM KPPS. Aku yang jadi Sirekap miris melihat aplikasi KPU yang terus trouble mereka mikir nggak sih kenapa nggak manual aja kalo digital nggak siap,” ungkap Ludvia.  

“Jujur kita yang jadi kpps di lapangan merasa tidak dihargai kerja kerasnya. Semua petugas juga disumpah. Jujur modal kerja kek gitu mempertaruhkan nyawa juga buktinya banyak yg gak kuat terus sakit sampai meninggal dunia. Kemungkinan memang punya riwayat penyakit tapi tetep aja lolos skrining kesehatan. Gaji segitu terbilang gak sebanding dengan nyawa,” tambahnya.  

Sebagai informasi gaji ketua KPPS di Pemilu 2024 sebesar Rp 1.200.000, kemudian untuk anggota KPPS sebesar Rp 1.100.000.

PEMERINTAH HARUS USAHAKAN E-VOTING DI PEMILU MENDATANG

Kayaknya mulai sekarang sistem pemungutan menggunakan sistem e-voting harus segera direalisasikan juga di Indonesia agar meminimalisir hal semacam ini.

Metode pemungutan suara elektronik, atau e-voting, menggunakan perangkat elektronik untuk melakukan pemungutan suara dan penghitungan suara dalam sebuah pemilihan.

Di Uni Eropa, banyak negara tengah melakukan eksperimen dengan pemilihan elektronik dan merancang strategi yang sesuai untuk menerapkannya.

Sementara Belanda telah menggunakan mesin pemungutan suara elektronik sejak tahun 1970-an, Belgia, Irlandia, dan Prancis semakin memperluas penggunaannya dalam pemilihan mereka.

Negara-negara seperti Jerman dan Norwegia telah mengadakan atau berencana mengadakan proyek percontohan yang melibatkan mesin pemungutan suara elektronik.

Namun, beberapa negara mencari solusi pemilihan jarak jauh dengan mempelajari dan menguji sistem e-voting, termasuk Inggris, Belanda, Swiss, Italia, Spanyol, Jerman, Finlandia, Yunani, dan Estonia. Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan partisipasi pemilih.

Untuk merangsang peningkatan partisipasi pemilih, alternatif teknologi canggih digunakan. Oleh karena itu, e-voting menjadi inovasi yang dikembangkan oleh politisi, industri penyedia peralatan pemilihan, dan ahli independen dari industri pemilihan.

Meskipun terjadi perdebatan sengit mengenai kenyamanan, manfaat, dan risiko implementasi penuh sistem e-voting, namun jelas bahwa jika diterapkan dengan benar, e-voting memiliki beberapa keunggulan dibandingkan metode pemungutan suara konvensional.

Keuntungan tersebut mencakup kecepatan dan akurasi yang lebih besar dalam penghitungan suara serta kenyamanan yang lebih tinggi bagi para pemilih, meskipun transparansi masih menjadi masalah kontroversial. (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Anandita Marwa Aulia

Hanya gadis yang suka menulis