Esensi

INILAH JUMLAH JAM KERJA IDEAL UNTUK MERAWAT KESEHATAN MENTAL

Kerja sampe ‘burnout’ dan capek mental emang nggak enak tapi lebih nggak enak lagi juga jadi pengangguran. Nah, ilmuwan mencoba menemukan titik tengahnya. Berapa jam kerja sih yang ideal supaya kita nggak gila karena overdosis kerjaan  tapi juga nggak sampe nganggur banget dan sehari-hari cuma bisa bengong?

title

Orang-orang yang mengeluh burnout di kerjaan di media sosial, sering dihantam balik sama kaum jobless: “Eh, masih enakan bisa cari duit. Bayangin gue yang nganggur udah sekian bulan/taun!” Namanya hidup yang nggak enak adalah di titik ekstrim. Semuanya yang terlalu atau berlebihan itu nggak bagus. Terlalu sibuk, jadi capek, lama-lama kesehatan fisik dan mental rontok. 

Terlalu nganggur, waktu luang kebanyakan juga kita jadi ngerasa hampa hidupnya. Karena mesti diakui, punya kerjaan itu selain membawa manfaat finansial, ada manfaat psikologisnya, Civs. Lu jadi punya kepercayaan diri saat gaul bareng temen dan jadi lebih mudah melebur di pergaulan manapun. 

Karena biasanya kalo kenalan kan emang ditanya, “Kerjaan apa? Di mana kerjanya? Posisinya apaan? Enak nggak kerjanya?” Pertanyaan-pertanyaan ini bisa jadi pengantar ke obrolan-obrolan asyik berikutnya. Lain kalo kita lagi nganggur, ditanya kerjaan apa pasti jadi berkaca-kaca dan pengen lenyap dari muka bumi aja.

Nah, sains mencoba menemukan titik tengah yang moderat alias sedang-sedang saja itu seberapa banyak jam kerja sih. Sebuah tim peneliti dari Universitas Cambridge dan Salford melakukan riset soal ini. Jadi mereka pengen tau jumlah jam kerja yang ideal buat kesehatan yang optimal buat  manusia modern. Mereka meneliti perubahan jumlah jam kerja di Inggris dan kaitannya kepada kesehatan mental dan kepuasan hidup pada lebih dari 70 ribu warga Inggris dari tahun 2009 hingga 2018.

Dipublikasikan di jurnal Social Science and Medicine tahun 2019 lalu, temuan mereka menyatakan bahwa saat manusia berubah statusnya dari jobless atau merawat anak di rumah menjadi pekerja yang ‘cuma’ kerja 8 jam atau kurang per minggu, risiko mereka mengalami masalah kesehatan mental jadi menurun sebanyak rata-rata 30%.  Angka ini bisa dikatakan lumayan signifikan.

Tapi apakah manfaat bekerja ini bakal lebih signifikan kalau seseorang kerja makin lama durasinya? Jadi kalau secara matematis, kerja 8 jam seminggu aja udah bisa nurunin risiko depresi jadi 30% lebih rendah. Apakah kerja 8 jam selama 3 hari bakal mengakumulasi dampak positif ini jadi 90% penurunan risiko masalah kesehatan mental? Hmm, nggak sesimpel itu kayaknya.

Peneliti nggak menemukan bukti kuat bahwa dengan bekerja lebih dari 8 jam seminggu bakal kasih efek penurunan risiko gangguan kesehatan mental yang lebih tinggi pada manusia. Dengan demikian, mereka yang kerja 37 atau 40 jam seminggu (8 jam sehari, 5 hari kerja seminggu) belum tentu mengalami penurunan risiko gangguan kesehatan mental sebagaimana yang dialami mereka yang kerja 8 jam seminggu.

 Sosiolog dari Universitas Cambridge Brendan Burchell yang memimpin riset ini menegaskan bahwa apa yang mereka ketahui adalah dosis pekerjaan yang pas menurut mereka jika kita mau merawat kesehatan mental tanpa jadi pengangguran adalah 8 jam seminggu itu. Alias kerja cuma sehari seminggu!

Lebih lanjut, ia mengatakan memang saat seseorang menganggur, dampak buruknya ke kesehatan mental juga besar. Misalnya jatidiri orang tadi turun, persepsi dirinya terhadap statusnya juga melorot. Alhasil mereka nggak begitu PD buat kumpul-kumpul atau ketemu orang lain bahkan keluarga sendiri. Makanya, mereka yang jobless lebih rawan terhadap pola pikir yang pesimis dan negatif.

Pekerjaan dengan dosis yang tepat bisa mengenyahkan semua efek buruk menganggur tadi. Dan dosis minimalnya cuma 8 jam seminggu, ucap Burchell.

MASALAHNYA, EMANG BISA?

Nah, sekarang problem di kehidupan nyatanya adalah apakah saran ilmiah ini beneran bisa diterapin di kehidupan nyata sekarang atau masa depan?

Karena dari apa yang kita alami sekarang, rasanya sungguh mustahil bisa bertahan hidup cuma dengan kerja 8 jam seminggu. Kerja 7 hari seminggu aja masih terasa kurang banget buat sebagian orang untuk menutup kebutuhan dan pengeluaran sehari-hari.

Makanya temuan ini harus didiskusikan dengan para pengambil kebijakan di seluruh negara di dunia karena ada kaitan eratnya sama penghasilan dasar universal para warga dunia.

Ilmuwan sih berargumen bahwa para pekerja usia dewasa produktif bisa bekerja tanpa harus lelah jiwa raga asal jumlah jam kerja bisa diatur supaya tersebar sedemikian rupa ke mereka. Jadi dengan demikian masalah pengangguran dan masalah burnout kaum pekerja terpecahkan. Menurut mereka beban kerja yang dipikul mereka yang burnout bisa didistribusikan secara merata ke mereka yang masih menganggur. Dengan demikian semua warga dunia usia kerja bisa mendapatkan manfaat positif dari pekerjaan tanpa mengorbankan kesehatan fisik dan mental mereka.

TRANSFORMASI RADIKAL DUNIA KERJA

Disinggung pula soal kemunculan kecerdasan buatan (AI), robot dan big data yang bakal juga menggeser pelan-pelan pekerjaan-pekerjaan yang dulunya dikerjain secara manual oleh manusia. Sekuat apapun kita mencoba menghindar dan menangkal tren ini, lama-lama juga kena.

Maka dari itu,l para pengambil kebijakan di dunia mesti memikirkan mulai sekarang bagaimana caranya agar tetap ada lapangan kerja bagi manusia dan bagaimana SDM yang ada bisa beradaptasi dengan kondisi dunia kerja yang berubah drastis ini.

Menurut lu gimana, Civs? Apakah pola kerja 8 jam seminggu ini bisa diterapin suatu hari di negara kita ini atau nggak? (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Akhlis

Editor in-chief website yang lagi lo baca