Esensi

GULA-GULA APLIKASI DATING

Aplikasi dating seperti gula-gula. Nah, gula-gula jenis apa yang saat ini kamu makan?

title

FROYONION.COM - Saya punya teman yang memiliki cita-cita go international seperti Agnes Monica. Tidak seperti Agnes Mo yang go international dengan bernyanyi, teman saya ini ingin go international dengan cara menumpang hidup dengan bule.

Menumpang hidupnya gimana? Jadi, dia punya niatan berkenalan dengan bule lewat aplikasi dating dan lewat perkenalan tersebut (moga-moga) bisa dibawa ke Eropa. Syukur-syukur bisa menetap di sana, tapi kalaupun nggak, setidaknya bisa jalan-jalan di Eropa, merasakan udara Eropa, posting foto di Instagram—untuk menunjukkan keinternasionalannya.

Semua orang memang bebas bermimpi. Seperti teman saya ini yang punya mimpi naif kalau tidak bisa disebut “mau enaknya” saja. Tapi toh, lagi-lagi kebebasan bermimpi menjadi pembenaran untuk mimpi terkonyol sekalipun. 

Dalam pengejaran menemukan mimpi internasionalnya, si teman menggunakan dua aplikasi dating yang dianggap sebagai aplikasi terbaik untuk menjembatani mimpi tersebut; Tinder dan Bumble. 

Sebelum Tinder menjadi aplikasi yang identik dengan mencari seks gratis, teman saya mendaftarkan dirinya ke Tinder premium, sehingga membuat dia bisa mengatur profil travel mode on. Ini membuat profilnya bisa muncul di kota sasarannya tanpa harus berpindah lokasi secara langsung. 

Dia bisa ke Frankfurt, Milan, Hungary dan lain-lain. Dulu sebelum pandemi, teman saya suka pergi ke Singapura untuk menyalakan aplikasi dating-nya. Bertemu, berkencan, diajak makan di Marina Bays, sudah jadi pengalaman yang menyenangkan dan “internasional”—mungkin—menurutnya.

Dia sering bercerita ke saya betapa menyenangkannya bergaul dengan orang-orang bule. Dari sekian teman match tersebut dia berusaha menemukan kandidat potensial yang bisa membantu mengubah hidupnya. Siapa tahu dia diajak berkunjung ke negara si bule, syukur-syukur dibayarin.

Sebelum negara api diserang aka pandemi, kalau tak salah sudah tiga kali teman saya melakukan perjalanan ke Eropa dan dalam perjalanan tersebut dia bertemu dengan teman match dari aplikasi dating. Tidak hanya kopdar, dia juga menginap di tempat teman match-nya. Dari satu teman match ke teman match yang lain. Tak jarang juga dibayari makan—yang menurutnya sangat membantu menekan pengeluaran selama berpelesir di Eropa. 

 Teman saya cukup terbuka menceritakan seputar perjalanannya ke Eropa dan apa saja yang diberikan si match ke dirinya, namun dia tidak menceritakan dengan jelas timbal balik yang diberikannya sebagai balas jasa akomodasi dan makanan yang diberikan. 

Terakhir kali ke Eropa setelah pandemi, teman saya kembali mengunjungi benua biru tersebut salah satunya atas permintaan teman match yang menjanjikan akan memberikan uang untuk tambahan ongkos ke Eropa. 

“Ya, nggak tahu sih, apa mengganti uang tiket atau gimana,” jawab teman saya, saat saya bertanya, apakah si WNA akan mengganti uang tiketnya.

Singkat cerita, teman saya mendapatkan uang yang dijanjikan si WNA, tapi hanya beberapa ratus euro, yang tidak sampai menutupi sekali perjalanan. Tidak menang banyak, seperti perjalanan sebelumnya. Tapi setidaknya, cukup “internasional-lah” untuk mengisi postingan di feed Instagram. 

Teman saya pernah menghaturkan harapan untuk bisa seperti kenalannya yang dibayari ke Dubai oleh rekan match-nya. Atau setidaknya, seperti perempuan WNI yang tak sengaja dia jumpa di ruang tunggu bandara, yang berhasil bertunangan dengan lelaki asing dan akan segera diboyong ke negara si laki-laki.

“Tiket, visa dan lain-lainnya diurusin sama bule itu,” begitu cerita teman saya. 

Sebagai negara pascakolonial, kita sering bertemu dengan orang-orang—atau jangan-jangan saya sendiri—yang menganggap negara asing atau orang-orang asing sebagai yang terdepan dan menjadi acuan dan panutan. Bergaul dengan orang asing apalagi kalau tinggal di luar negeri adalah bukti kita lebih beradab dan lebih maju dibanding orang Indonesia lainnya. Zaman boleh berganti, tapi pola pikir demikian masih saja dianut. 

20-an tahun lalu ketika saya masih tinggal di Medan dan masih rajin gereja, gereja tempat saya beribadah mengadakan retreat ke Danau Toba. Saat acara bebas, muda-mudi duduk santuy sambil melihat Danau Toba, seorang kakak pembimbing menyapa seorang kenalannya yang ternyata akamsi (anak kampung situ). 

Saya yang masih imoet dan lugu—kala itu—mencuri  dengar si akamsi yang seorang laki-laki bercerita dengan kakak pembimbing kalau dia sedang menjalani nikah kontrak dengan seorang perempuan bule. Setahun. Ada rona kebanggaan saat dia menyampaikan hal tersebut. Kalau nggak salah dia bilang, “Lumayan juga satu tahun,” mungkin yang dia maksud adalah lumayan soal finansial. 

Setelah saya agak dewasa dan sering ke Parapat – Tomok – Tuktuk, saya acap kali menjumpai perempuan lokal yang menemani laki-laki bule di mobil travel yang saya tumpangi. Pernah saya dengar supir mobil travel nyeletuk, “Selimut hidup..”

Setelah keluar dari Medan, dan melancong ke beberapa kota yang sepertinya tidak penting untuk disebutkan namanya, situasi yang sama juga masih saya temukan. Dan sepertinya itu adalah sesuatu yang lumrah. Perempuan lokal menemani turis asing, begitu juga sebaliknya. Orang lokal berasumsi, kalau orang asing berduit banyak sehingga bisalah untuk jajan-jajan lucu, atau kalau “jodoh” bisa diajak ke relasi lebih serius, entah itu buka usaha bareng, tinggal di negara asalnya, atau seenggaknya terlihat keren dengan menggandeng bule. 

Sebelum teknologi menjajah, pertemuan antar-ras ini terjadi secara organik. Namun setelah teknologi menggila, pertemuan demikian dihadirkan di ruang maya dengan bermacam-macam jenis manusia untuk kemudian dibawa ke pertemuan langsung.

Tampaknya, di tengah perkembangan dunia yang semakin menuju error dengan teknologi yang melampaui akal, manusia masih punya mimpi purbanya; untuk mendapatkan hidup enak dengan cara yang gampang.

Keberadaan aplikasi dating diharapkan dapat memberikan jawaban untuk tuntutan tersebut. Mencari enak dengan cara gampang dapat diartikan dalam banyak hal. Kemudahan mendapatkan pasangan seks, seks gratis, makan gratis, tambahan uang, perubahan gaya hidup, dan lain-lain.

Aplikasi dating seperti gula-gula, "gula-gula" jenis apa yang saat ini kamu makan? (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Ester Pandiangan

Penulis buku "Maaf, Orgasme Bukan Hanya Urusan Kelamin (2022)". Tertarik dengan isu-isu seputar seksualitas.