Esensi

EMANG KENAPA SIH GA BOLEH GONDRONG?

Katanya sih 'don't judge book by its cover', tapi kalo ada yang gondrong langsung di-judge preman, gembel, kriminal, dan lain-lain.

title

FROYONION.COM - Civs, waktu sekolah kalian pernah gak kena hukuman cukur sama guru karena rambutnya gondrong? Tapi kalo dipikir-pikir lagi, emangnya rambut gondrong itu ngaruh ya sama proses belajar kita? Apakah kalau rambutnya pendek akan meningkatkan pemahaman kita tentang pelajaran? 

Pertanyaan-pertanyaan seperti ini sering muncul di benak para siswa. Jika ditanyakan langsung ke guru, jawaban yang paling sering dikeluarkan adalah soal kerapihan. Rambut pendek seolah mencerminkan pribadi yang rapih dan disiplin, sementara rambut gondrong dianggap tidak terpelajar dan urakan. 

Padahal, kerapihan bermakna teratur, baik, dan bersih. Berarti belum tentu orang yang berambut panjang itu tidak teratur dan tidak bersih. Ini bergantung terhadap bagaimana orang tersebut merawat rambutnya entah itu panjang atau pendek namun tetap enak dipandang. Ini pula yang seharusnya diajarkan oleh sekolah, bukan serta merta memendekkan rambut saja tapi tidak diajarkan bagaimana caranya tetap terlihat bagus.

Bicara tentang baik dipandang, setiap orang tentu punya seleranya masing-masing. Jadi selama berambut panjang namun mayoritas orang merasa kalau ia tetap terlihat baik dan elok, maka tidak akan jadi masalah bukan?

Dalam bukunya yang berjudul 'Dilarang Gondrong', Arya Wiratama Yudhistira menceritakan bagaimana awalnya aturan ini bisa berlaku pada masa Orde Baru.

STEREOTIPE ORBA

Larangan berambut gondrong ini bermula pada awal masa orde baru. Pemerintah tidak senang dengan laki-laki yang berambut melebihi rahang atau pundak. 

Penyebab awalnya adalah banyaknya judul-judul berita kriminal yang mengidentikkan pelaku adalah laki-laki berambut gondrong. Banyak juga film-film awal 1970-an yang menggambarkan sosok antagonis adalah laki-laki berambut gondrong . Padahal tidak semua orang yang berambut gondrong adalah pelaku kriminal. Stigma ini pun masih melekat hingga sekarang. Kalian pernah denger gak lawakan tongkrongan: "gondrong doang, ga nyopet." Lawakan ini juga lahir dari stigma masa orba dan masih sering dipakai jika ada teman yang gondrong hingga sekarang.

Selain itu, rambut gondrong juga identik dengan simbol perlawanan di negara-negara barat. Simbol ini disebut hippies, gerakan yang lahir pada tahun 60an dan sangat menjunjung tinggi kebebasan individu. Budaya ini identik dengan rambut panjang, seks bebas, pakaian longgar dan mencolok, serta narkotika. Oleh karena itu budaya ini menjadi hal yang sangat menakutkan bagi pemerintah orde baru.

Pernyataan Amir Machmud misalnya, yang pada awal Orde baru menjabat sebagai mendagri. Ia beranggapan kalau rambut gondrong itu berlebihan dan tidak sesuai dengan kebudayaan bangsa. Pangkopkamtib Soemitro juga memberlakukan larangan tertulis pada tahun 1972 dengan dalih 'menyelamatkan pertumbuhan atau perkembangan kehidupan pemuda-pemudi remaja kita'.

Padahal, anak muda yang menerapkan budaya hippies di Indonesia kebanyakan berasal dari golongan menengah ke atas seperti Anak pejabat, pengusaha, bahkan petinggi militer sekalipun. Mereka memiliki modal dan akses informasi yang lebih besar dibanding masyarakat umumnya untuk mengakses budaya asing.

PENINDAKAN TERHADAP RAMBUT GONDRONG PADA MASA ORBA

Kalau sekarang razia rambut cuma ada di sekolah aja, zaman awal orba dulu razia rambut sangat populer dibandingkan dengan razia sim. Petugas berjaga di tempat ramai dan menindak laki-laki yang berambut gondrong. Bahkan sampai dibentuk Bakorperagon (Badan Koordinasi Pemberantasan Rambut Gondrong)

Laki-laki berambut gondrong juga akan kesulitan untuk mengurus dokumen kenegaraan seperti KTP. Di dunia pendidikan, pelajar diharuskan berambut pendek cepak ala ABRI. Di kampus, mahasiswa pun tidak boleh mengikuti ujian sekolah dan sidang skripsi jika masih berambut gondrong. Di dunia hiburan, artis-artis yang berambut gondrong dilarang untuk tampil di TVRI.

Karena dinilai berlebihan dan memiliki persepsi yang salah terhadap orang berambut gondrong, akhirnya muncul berbagai protes terutama dari kalangan mahasiswa. Ada yang mengkritik lewat tulisan, meminta diskusi dengan pemerintah, hingga membacakan surat terbuka di depan anggota legislatif.

KEBEBASAN BERAMBUT DI ERA REFORMASI

Untungnya, di era reformasi sekarang kita bisa bebas menentukan gaya rambut kita sendiri selama bukan aparatur negara. Banyak orang yang mulai terbuka dan menjunjung kebebasan individu masing-masing. Bahkan rambut gondrong sekarang identik dengan pemuda yang kreatif dan asik.

Namun, di dunia pendidikan aturan wajib berambut pendek masih berlaku bagi pelajar. Ini tentu tak lepas dari guru-guru yang masih memegang stereotip sama dengan masa orba tentang rambut gondrong. 

"Sekolah yang sekarang hanya mereproduksi saja aturan dari dulu. Untuk mendisiplinkan anak, tidak ada hubungannya dengan rambut panjang atau pendek. Kalau guru pakai alasan itu, buat saya guru itu malas berpikir" ujar Jimmy Philip Paat, Mantan Pengajar Prodi Sastra Prancis Universitas Negeri Jakarta kepada tirto.id

Padahal bagi murid, masa remaja adalah masa dimana kita mencari jati diri sendiri dan mencoba banyak hal, termasuk gaya rambut. Makanya tak heran banyak pelajar baru mencoba berambut gondrong ketika sudah lulus sekolah, entah itu coba-coba atau balas dendam karena di sekolah gak boleh gondrong. Eh beruntung ya bagi kalian yang sekolah online, bisa gondrongin rambut tanpa takut kena razia dari guru nih! (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Rayhan

Pelajar SMA penggemar olahraga, gaming, anime, dan dunia kreatif