Esensi

CHATGPT: SEBUAH ANCAMAN ATAU BANTUAN?

Akankah mahakarya OpenAI bernama ChatGPT membuka peluang baru dalam penulisan, atau malah membawa ancaman yang nggak terelakkan?

title

FROYONION.COM - ChatGPT jadi salah satu program artificial intelligence ciptaan OpenAI yang paling marak diperbincangkan orang di seluruh belahan dunia. Bukan tanpa sebab, Civs, AI ini bagi sebagian orang dianggap mengancam profesi penulis dan sub pekerjaan di dalamnya, misalnya copywritercontent writertechnical writer, dan beragam pekerjaan lainnya yang serupa.

Lo bisa bertanya, “Mengancam dari segi apa?”

Bagi sebagian besar masyarakat, kehadiran ChatGPT ini dirasa bisa menggeser, atau mendominasi aspek teknis yang dimiliki manusia dalam penulisan artikel.

Dalam banyak perbincangan dan opini netizen yang seliweran di media sosial tentang ChatGPT, dikabarkan AI yang satu ini berfungsi layaknya search engine Google, yang bisa memberikan lo sebuah informasi, namun secara lebih ringkas, terstruktur, spesifik, dan dalam beberapa kasus terasa nyata layaknya tulisan ciptaan manusia.

MENCOBA CHATGPT, SEBERAPA ‘MENGERIKAN’ HASILNYA?

Beberapa waktu lalu, gue melakukan sedikit percobaan pada ChatGPT. Gue membuat akun di platform mereka, lalu memberikan beberapa prompt spesifik yang isinya memberitahu ChatGPT untuk menuliskan sebuah artikel pendek yang membahas tentang mengapa karya seni AI dinilai problematik dan nggak etis oleh seniman konvensional.

Lalu, gue mencoba untuk membandingkan artikel ciptaan ChatGPT dengan artikel yang gue buat sendiri. Ada disclaimer yang gue perlu sampaikan, bahwa artikel singkat yang dibuat oleh ChatGPT itu somehow sulit merangkum informasi dan kejadian yang terjadi setelah tahun 2021.

Dengan sedikit mengabaikan beberapa aspek tersebut, berikut gue sajikan artikel pendek ciptaan ChatGPT, kemudian membandingkannya dengan beberapa paragraf yang telah gue buat sebelumnya.

Penulisan prompt pada ChatGPT disarankan spesifik untuk memperoleh output yang optimal. (Sumber: Garry/Froyonion)
Penulisan prompt pada ChatGPT disarankan spesifik untuk memperoleh output yang optimal. (Sumber: Garry/Froyonion)

Lalu di bawah ini, ada artikel singkat yang dibuat oleh ChatGPT  dengan tema dan judul yang sama dengan rangkuman artikel yang gue buat sendiri:

Artikel buatan ChatGPT (Kiri), dan artikel buatan penulis (kanan). (Sumber: Garry/Froyonion)
Artikel buatan ChatGPT (Kiri), dan artikel buatan penulis (kanan). (Sumber: Garry/Froyonion)

Setelah membaca 2 artikel di atas (agak ironis sih topiknya), hal apa yang lo rasakan, dan bagaimana tanggapan lo terhadap artikel yang diciptakan oleh ChatGPT?

Secara pribadi, jika dilihat secara sekilas dengan metode scanning (membaca cepat dan tertuju kepada informasi yang ingin dicari), maka artikel ChatGPT nggak terasa seperti sebuah artikel yang diciptakan oleh mesin ataupun kecerdasan buatan.

Bridging antara pendahuluan dan penjabaran informasinya pun secara pribadi gue rasa cukup baik, nggak kaku dan masih make sense. Layaknya sebuah artikel pendek dan spesifik, sebagai penulis tentu lo nggak mau pesan yang disampaikan ditulis dengan bridging yang panjang dan bertele-tele, dan gue rasa ChatGPT udah cukup berhasil untuk mengerjakan prompt yang udah gue berikan.

Tapi kalau lo lihat secara seksama, kata per kata, maka ada beberapa kesalahan yang dibuat oleh ChatGPT (mungkin, karena base-nya berbahasa Inggris, penulisannya jadi agak aneh dan mirip-mirip kayak hasil terjemahan Google Translate).

Contohnya, ChatGPT 3 kali melakukan kesalahan dalam penggunaan kata “sebagai”, contohnya ada dalam kalimat “Banyak seniman yang menganggap AI art sebagai problematik,” lalu “Jadi, jika kamu sebagai seorang seniman,”

Selain kesalahan teknis, ada juga perasaan janggal ketika membaca artikel ciptaan ChatGPT ini. Meskipun kalimat dan pesan di dalamnya disampaikan dengan straightforward dan spesifik (yang mana itu bagus), di sisi lain, malah terasa sangat fabricated dan menghilangkan kesan ‘manusiawi’-nya.

Dalam opini pribadi, ketika menulis, setelah menyampaikan pesan yang objektif, setelahnya gue cenderung mengimbanginya dengan opini subjektif untuk memvalidasi pesan itu. Dan hal ini nggak gue temukan dalam artikel ciptaan ChatGPT.

Hampir seluruh kalimatnya nggak membuat gue merasa perlu untuk engage dan terhubung. Gue baca, gue coba cerna, dan isinya cuma masuk di kepala tanpa meninggalkan kesan apapun terhadap tulisan itu. Opini yang satu ini mungkin terasa bias, karena gue menulis artikel dengan tema serupa, dan jika lo merasa tulisan ChatGPT biasa-biasa aja, ya itu juga nggak salah.

Puncaknya, ChatGPT memang nggak bisa memberikan opini subjektif terhadap hal apapun yang kita minta.

Iseng-iseng, gue memberikan prompt berupa pertanyaan kepada AI ini tentang sutradara film terbaik di tahun ini. Dan inilah jawabannya, Civs:

Jawaban ChatGPT terhadap hal yang sifatnya subjektif. (Sumber: Garry/Froyonion)
Jawaban ChatGPT terhadap hal yang sifatnya subjektif. (Sumber: Garry/Froyonion)

BAGAIMANA LO BISA MEMANFAATKAN CHATGPT UNTUK PEKERJAAN LO?

Di luar percobaan kecil-kecilan yang gue lakukan ke ChatGPT, sebenarnya, ada banyak hal bermanfaat yang bisa lo ciptakan dengan bantuan AI satu ini, Civs.

ChatGPT bakal sangat membantu banget untuk pekerjaan yang membutuhkan analisa cepat dan singkat. Contohnya, merangkum sebuah jurnal/ website dan menyajikannya dalam poin-poin penting, mengoreksi coding-an yang salah dari sebuah aplikasi, membantu lo membuat kerangka/ draft surat-menyurat, dan masih banyak lagi.

Beberapa YouTuber luar negeri bahkan menciptakan sebuah course di website penyedia pembelajaran macam Udemy dari ChatGPT. Caranya pun simpel, lo tinggal memberikan prompt ke ChatGPT untuk mencari suatu informasi tertentu, kemudian meminta ChatGPT untuk membuatkan kerangka pembelajaran singkat, kemudian lo bisa copy-paste rangkuman informasi itu ke dalam slides, dan voilashort course yang effortless pun jadi dan lo bisa jual ke platform Udemy.

Tapi, gue nggak menyarankan cara ini untuk mendulang cuan dadakan. Karena, seperti yang dijelaskan di website OpenAI, bahwa ada limitasi yang terdapat dalam ChatGPT, salah satunya adalah potensi misinformasi yang mungkin di-generate ChatGPT. Untuk itu, sebagai manusia, kita juga perlu menelaah informasi yang kita dapatkan dari AI ini, sebelum kita gunakan untuk sesuatu yang sifatnya komersial dan edukasi terhadap orang lain.

KESIMPULAN APA YANG BISA DIAMBIL DARI KEHADIRAN CHATGPT?

Dari 2 contoh artikel pendek yang telah gue sajikan di atas, sebagai penulis, gue hanya ingin memberikan pesan bahwa pekerjaan sebagai penulis nggak akan hilang, mati, atau punah berkat kehadiran AI seperti ChatGPT.

Bukanini bukan coping mechanism gue terhadap kehadiran ChatGPT yang nggak terelakkan ini.

Kenapa gue bisa bilang seperti ini?

Sama halnya seperti lukisan, musik, film, atau apapun bentuk karya seni di luar sana, semua ciptaan manusia bisa laku terjual, disukai banyak orang, dan berjalan dengan sustain berkat adanya value, perasaan, imajinasi, atau suatu koneksi yang dibangun penciptanya dan kemudian dirasakan juga oleh pembelinya, penikmatnya, atau orang lain, se-simpel itu.

Dan hingga sekarang, gue rasa, salah satu kelemahan yang dimiliki AI adalah absennya hal-hal manusiawi itu dalam karya ciptaan mereka.

Okelah, karya ciptaan AI kita cap bagus, keren, atau apapun itu secara teknis, namun apakah mereka bisa membawa hal seperti ‘perasaan’ dan emosi manusia di dalamnya? 

Karena pada hakekatnya, perasaan itu bukanlah hal yang simpel, bahkan untuk kita, manusianya sendiri. Mungkin, sebuah AI bisa mempelajari perasaan dan emosi manusia, dan berperilaku sepantasnya supaya membuat manusia nyaman. Tapi, apakah AI itu bisa menciptakan emosi dalam karyanya, alih-alih mengerti perasaan manusianya aja?

Dilansir dari Think Big, kita masih butuh waktu bertahun-tahun untuk menciptakan Artificial General Intelligence (AGI) yang mampu mereplikasi emosi manusia. Terlebih, sebuah perasaan atau emosi itu sulit untuk dibaca, dan terkadang apa yang manusia katakan nggak selalu merepresentasikan apa yang mereka benar-benar rasakan.

Pada akhirnya, dalam konteks AI vs manusia, relatability atau shared-feelings inilah yang gue rasa akan terus dicari oleh manusia. Dan selagi manusia belum bisa menerjemahkan, mempelajari perasaan serta emosi manusia lainnya dengan penuh, dan mengonversikannya dalam angka dan bentuk yang absolut, maka rasanya AI pun nggak akan jadi lebih mengerti dan hebat ketimbang manusia itu sendiri. (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Garry

Content writer Froyonion, suka belajar hal-hal baru, gaming, dunia kreatif lah pokoknya.