Esensi

BUDAYA SUNGKAN: TRADISI UNIK YANG MEMBELENGGU?

Berbagai macam bentuk ekspresi budaya hadir di tengah kehidupan kita, namun sayangnya terdapat di antaranya yang justru malah memberikan dampak yang buruk apabila dijalankan dengan terlalu berlebihan.

title

FROYONION.COM - Untuk hidup sebagai orang Indonesia, akan hidup dengan berbagai bentuk etika dan tata krama. Ada yang sifatnya kelokalan dan ada yang dalam jangkauan nasional. 

Salah satu bentuk tata krama yang disepakati khususnya dalam budaya Jawa adalah sungkan

Menurut KBBI sendiri “sungkan” memiliki arti malas, enggan, merasa tidak enak hati dan menaruh hormat serta segan. 

Budaya ini mengikat dalam berbagai bentuk interaksi sosial yang sifatnya vertikal. Misalnya antara orang tua dan anak, guru dan murid, atau bawahan dan bosnya.

Untuk hidup dalam budaya sungkan rasa keengganan untuk to the point dan blak-blakan sangat tidak dianjurkan, perlu rasa atau intuisi yang diperlukan agar tahu momen yang tepat untuk bersikap to the point

Nyatanya dalam banyak kasus budaya yang mengikat ini memiliki kelemahan dalam pengaplikasiannya. 

Sungkan justru hanya menjadi pengikat seseorang untuk tidak bisa menyampaikan pendapatnya dengan lebih jelas karena perasaan segan terhadap lawan bicara yang memiliki posisi di atasnya. 

Bila kita bandingkan dengan budaya egaliter dari bangsa Eropa, seseorang tidak akan merasa takut untuk menyampaikan pendapatnya dengan orang yang mungkin lebih tua darinya.

Bahkan banyak orang yang mengatakan bahwa budaya sungkan berakar dari feodalisme yang pernah kita anut dan masih mengakar dalam masyarakat kita. 

Memang sebenarnya sangat mirip apabila sistem feodalis dan budaya sungkan disandingkan. Ada rasa atau bentuk penghormatan terkhusus yang dihadirkan pada mereka yang memiliki derajat lebih lebih tinggi. Dengan cara seperti memperhatikan struktur kalimat, substansi, pemilihan diksi, mengatur momen, dan memperhatikan emosi. Walaupun cara-cara ini sebenarnya umum dalam keilmuan komunikasi, hanya saja berada dalam level yang sangat berlebihan.

Banyak hal yang sekiranya berakar dari budaya sungkan justru hanya membelenggu tanpa memberikan efek positif sedikitpun. 

1. MISKOMUNIKASI

Salah satu dampak paling kecil pada budaya sungkan adalah miskomunikasi. 

Dalam keilmuan komunikasi sungkan memiliki dampak tidak tercapainya tujuan komunikasi dengan jelas dan utuh. 

Perasaan sungkan ketika berbicara pada orang tua untuk tidak bisa berterus terang sehingga sinyal yang berusaha disampaikan seorang anak tidak bisa tercapai dengan baik. 

Konsep sungkan dalam komunikasi akan dianggap sebagai noise atau hambatan secara teoritis. Jadi akan semakin menjelaskan bahwa dalam areal komunikasi dengan fokus tujuan, sungkan hanya akan memberi dampak negatif.

2. KEBEBASAN BEREKSPRESI

Tidak bisa disanggah bahwa salah satu dampak dari budaya sungkan adalah membelenggu kebebasan berekspresi. 

Dalam RKUHP yang sudah resmi menjadi KUHP sendiri tindakan moralitas yang berakar pada budaya sungkan digunakan sebagai landasan untuk tidak bisa “menghina” para pejabat politik. 

Walaupun menghina dan mengkritik memiliki bentuk yang berbeda tetapi dua kata ini bisa digunakan menjadi permainan retorik yang cukup berbahaya. 

Menuntut kebebasan untuk mengkritik atau berekspresi tidak mungkin bisa dipisahkan dengan asas penghinaan atau merendahkan. 

Bayangkan jika seseorang yang tidak memiliki tingkat intelektual yang baik dan latar belakang pendidikan yang baik merasa secara instingtif bahwa negaranya sedang tidak baik-baik saja. Lalu memutuskan untuk mengkritik para pejabat yang dimana dia hanya mengeluarkan kalimat caci maki. 

Jikalau seperti itu akan aneh apabila yang dipersilahkan mengkritik adalah golongan tertentu atau yang berintelektual saja?

3. MENGHAMBAT KEMAJUAN

Mungkin terlalu berlebihan apabila budaya sungkan menghambat kemajuan entah secara personal atau dalam cakupan yang lebih luas. 

Perasaan untuk menjaga emosional dan hati salah satu atau beberapa pihak rela membatasi gerak seseorang untuk memilih dan bertindak sesuai keinginannya sendiri, misalnya ketika lahir dalam keluarga dokter namun salah satu anaknya memilih menjadi seorang seniman, perasaan menjaga hati orang tua atau keluarganya sangat tinggi. 

Nantinya hal ini akan sangat membelenggu, ya walaupun belum tentu akan sukses juga dalam jalan hidupnya sendiri. Hanya saja perasaan untuk menjadi diri sendiri akan sangat sulit.

Walau begitu bukan menjadi membuat orang bertindak semena-mena. Sebenarnya bukan budaya sungkan itu yang membelenggu tetapi praktiknya saja yang terlalu berlebihan dan bahkan tidak rasional, sehingga perlu adanya kritik dalam hal ini. (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Khalid Asmadi

Seorang mahasiswa di jurusan Ilmu Komunikasi, katanya sih suka baca buku filsafat, cuma ga pinter pinter amat. Pengen jago ngegambar biar bisa bikin anime.