In Depth

BEAUTY PRIVILEGE BIKIN GAMPANG KETERIMA KERJA?

Berwajah cantik dan tampan bisa sangat menguntungkan, terutama dalam dunia kerja. Dengan beauty privilege, peluang diterima kerja dianggap lebih besar daripada yang berparas biasa saja.

title

FROYONION.COM - Kamu pasti tidak asing dengan persyaratan “good looking” dalam lowongan pekerjaan. Persyaratan ini banyak menimbulkan pro dan kontra, karena berimplikasi bahwa yang pantas mendapatkan pekerjaan hanya mereka yang cantik atau tampan. Fenomena sosial ini dikenal sebagai beauty privilege.

BEAUTY PRIVILEGE DALAM LINGKUNGAN KERJA

Mengutip studi Aprilianty dkk. tahun 2023, beauty privilege merujuk pada perlakuan istimewa yang diberikan kepada individu dengan paras yang cantik atau tampan, tanpa menghiraukan kemampuannya. Ini berarti bahwa wajah cantik atau tampan merupakan keuntungan bagi pemiliknya. Orang-orang tidak akan terlalu memikirkan kemampuan dan kinerja, dan lebih fokus pada penampilan mereka. Penampilan yang menawan diasosiasikan begitu saja dengan hal-hal positif yang mungkin dimiliki atau tidak oleh individu dengan beauty privilege.

Menurut Kwan dan Trautner dalam studi mereka tahun 2009, penampilan yang menarik diasosiasikan dengan sejumlah hal positif, termasuk peluang besar diterima kerja, mendapat gaji besar, promosi, dan juga keuntungan sosial dan personal yang meliputi kepuasan kerja, persepsi positif dari orang lain, serta kepercayaan diri yang tinggi.

BACA JUGA: APAKAH ‘GOOD LOOKING’ MASIH JADI STANDAR NYARI KERJA?

Beauty privilege ini tentunya menjadi tantangan tersendiri bagi para pencari kerja. Pasalnya, tidak semua orang terlahir dengan fisik yang sesuai dengan standar kecantikan dan ketampanan yang dianut oleh masyarakat. Hal ini kemudian membentuk sebuah diskriminasi di tempat kerja. Kemampuan dan kinerja seseorang bukan lagi menjadi tolak ukur, namun penampilan merekalah yang menjadi poin utama penilaian kecakapan kerja.

Seperti yang diungkapkan Aprilianty dkk., dalam lingkungan kerja, individu dengan paras yang cantik atau tampan lebih besar peluangnya untuk mendapatkan pekerjaan dan bahkan diperlakukan dengan istimewa oleh konsumen dan klien. Di sisi lain, individu yang dianggap tidak menarik akan mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan berupa body shaming.

Sampai sini, kita tahu bahwa dalam lingkungan kerja, seseorang dengan beauty privilege mendapatkan perlakuan istimewa terlepas dari kemampuan dan kinerjanya. Lantas, kenapa fenomena sosial ini bisa terjadi, karena idealnya seseorang direkrut untuk suatu posisi pekerjaan karena kompetensinya pada posisi tersebut?

ALASAN RECRUITER MENERAPKAN BEAUTY PRIVILEGE

Penerapan beauty privilege di tempat kerja menimbulkan pertanyaan lebih lanjut. Kenapa banyak perusahaan atau recruiter yang lebih menyukai karyawan yang cantik atau tampan? Kecenderungan ini bisa dijelaskan dari sudut pandang biologi dan psikologi.

Melansir dari laman Vice, Judy Ho, praktisi neuropsikologi, menjelaskan bahwa beauty privilege berhubungan dengan tujuan evolusi. Individu yang memiliki wajah simetris akan dianggap lebih menarik, karena kesimetrisan berkorelasi dengan kekuatan fisik. Karenanya, wajah simetris mengindikasikan gen yang sehat, yang menjadikannya disukai oleh orang-orang demi tujuan evolusi berupa keberlangsungan spesies.

Selain itu, menurut Judy, beauty privilege juga tercipta oleh Halo Effect. Halo Effect merujuk pada kecenderungan seseorang untuk mengasosiasikan satu karakteristik baik dari seseorang dengan karakteristik baik lainnya. Dalam hal ini, satu karakteristik baik itu adalah kecantikan dan ketampanan. Ini berarti bahwa orang-orang yang cantik dan tampan akan diasosiasikan dengan sifat-sifat positif lainnya seperti pintar, humoris, dan bertalenta.

Kecenderungan ini merupakan cara kerja otak manusia dalam memahami dunia. Kita membuat asumsi-asumsi sebagai jalan pintas untuk memahami hal-hal di sekitar kita. Oleh sebab itu, kita cenderung mengelompokkan atau mengasosiasikan suatu karakteristik positif dengan karakteristik lainnya. Misalnya, dalam dunia kerja, recruiter akan menilai kandidat yang mempunyai wajah menawan sebagai pribadi yang pintar, baik, mudah bergaul, dan sebagainya.

Dengan fakta-fakta ini, kita tahu bahwa secara alamiah, manusia memang lebih tertarik pada manusia lain dengan paras yang menawan. Ini berimplikasi pada ketidakadilan yang dialami oleh orang-orang dengan wajah biasa saja atau wajah yang dianggap tidak menarik oleh masyarakat.

Di sisi lain, persyaratan yang mencantumkan “good looking” dalam lowongan biasanya merupakan lowongan untuk posisi pekerjaan frontliner. Posisi pekerjaan ini bersinggungan langsung dengan pelanggan, sehingga perusahaan memiliki alasan tersendiri mengapa posisi ini harus diisi oleh orang-orang dengan paras menarik.

Pekerjaan frontliner, seperti customer service, resepsionis, pramugari, dan teller bank, mengharuskan pekerjanya berpenampilan menawan agar pelanggan bisa mendapatkan pengalaman yang berkesan. Ditambah dengan kecenderungan manusia yang menyukai kecantikan, tidak heran bahwa perusahaan ingin pelanggannya tertarik dengan produk atau layanan perusahaan yang diwakilkan oleh para pekerja frontliner tersebut.

Pada konteks ini, masuk akal jika perusahaan ingin representasi perusahaan yang menarik bagi pelanggan. Sehingga, dalam ranah ini, kita seolah tidak punya kendali akan kebutuhan pasar pekerja yang berhubungan langsung dengan konsumen. Meskipun demikian, kecantikan dan ketampanan adalah hal yang subjektif dan relatif. Seseorang bisa dianggap menarik oleh satu orang, namun tidak oleh orang lainnya. Oleh sebab itu, perusahaan perlu mengevaluasi kriteria “good looking” seperti apakah yang diinginkan oleh mereka.

PERLUNYA EVALUASI PERSYARATAN “GOOD LOOKING”

Idealnya “good looking” yang dimaksud adalah keterampilan dalam berpenampilan agar tampak rapi dan profesional. Pada dasarnya, berpenampilan rapi dan profesional adalah hal yang pasti dilakukan oleh semua pekerja dalam berbagai perusahaan di segala sektor. Tidak mungkin, seorang karyawan berpenampilan compang-camping saat pergi ke kantor.

Pada akhirnya, beauty privilege adalah fenomena sosial yang nyata terjadi di lingkungan kerja. Fenomena ini dipicu oleh berbagai aspek, yang salah satunya adalah bias penilaian manusia. Seperti yang sudah dipaparkan, manusia mempunyai kecenderungan untuk menyematkan sejumlah sifat positif pada individu yang memiliki paras yang cantik dan tampan. Sehingga, manusia bisa dengan cepat menilai seseorang dari penampilannya saja. Pada kenyataannya, untuk mengenal kepribadian seseorang, kita tidak bisa hanya berpatokan pada penampilan orang tersebut.

Seperti pernyataan klasik “Don’t judge a book by its cover,” manusia memiliki sifat-sifat yang tidak bisa hanya direpresentasikan oleh penampilannya saja. Karena itu, perusahaan harus lebih bijak dalam menetapkan kriteria kandidat yang bisa merangkul banyak orang kompeten, terlepas dari standar kecantikan dan ketampanan yang sebenarnya dangkal dan tidak sesuai dengan keberagaman masyarakat kita. Selain merugikan orang-orang berparas biasa saja, beauty privilege juga merugikan orang-orang berparas cantik dan tampan, karena orang lain akan menilai bahwa pencapaian mereka hanya ditunjang oleh penampilan dan bukan kompetensi pada bidang pekerjaan mereka masing-masing. (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Muhammad Khamaduddin

A graduate of English Literature who considers writing as his coziest way of communication.