Esensi

ART JAKARTA 2022: BELAJAR MENGAGUMI DAN MEMAHAMI KARYA SENI DARI KACAMATA ORANG AWAM

Pameran seni Art Jakarta diselenggarakan dari tanggal 26 hingga 28 Agustus 2022. Sebagai orang yang ‘awam’ seni, ini adalah momen yang tepat untuk belajar mengapresiasi dan mengerti arti dari sebuah karya.

title

FROYONION.COMJumat (26/8) kemarin, Art Jakarta, sebuah eksibisi seni bertaraf internasional diselenggarakan di bilangan Senayan, tepatnya di Jakarta Convention Center. Berawal dari ajakan seorang pegiat dan juga penikmat seni di Froyonion, yaitu Kinur, gue memutuskan untuk datang ke eksibisi tersebut dan menempatkan diri sebagai orang yang ‘awam’ dalam memandang sebuah karya seni–memahami dan mengapresiasi karya seni rupa, baik yang berbentuk dua dimensi maupun tiga dimensi (terutama berbentuk abstrak dan memiliki makna tersirat).

Rasanya, selama ini gue masih sulit memahami hal apa yang ingin disampaikan seorang seniman melalui karyanya. Pertanyaan muncul di benak gue, “Bagaimana kita bisa mengapresiasi karya seni dari seseorang jika kita saja masih belum paham maksud dan tujuan dari terciptanya karya tersebut?”. Pertanyaan itu terus ada di kepala dalam perjalanan menuju ke lokasi pameran.

Ketika sampai di venue dan masuk ke dalam pameran, ada sebuah kelompok patung-patung burung Flamingo karya Sang Soo-Lee, karya ini adalah karya pertama yang cukup menarik perhatian dan memicu pertanyaan, “Kenapa bentuknya harus spiral-spiral gitu sih?”.

Flamingo, karya Sang Soo-Lee. (Sumber: Froyonion)
Flamingo, karya Sang Soo-Lee. (Sumber: Froyonion)

Setelah lelah mengumpulkan asumsi-asumsi tentang maksud apa yang ingin disampaikan Soo-Lee lewat patung Flamingo itu, baru deh gue membaca deskripsi yang ada di sebelah karyanya. Ternyata, maksud yang ada di kepala gue jauh berbeda dari yang ingin diutarakan oleh Soo-Lee. Ia ingin menciptakan persepsi gambaran 2D ke dalam bentuk 3D melalui 3 ekor Flamingo yang sedang ‘mengembara’ secara damai lewat gerakan-gerakan yang dibentuk dari sebuah garis minimalis.

Dalam benak, gue berkata “Hah? Oh iya ya?”. Gue menampik asumsi gue sebelumnya, dan ‘mengiyakan’ maksud dari Soo-Lee.

Masih penasaran, gue mencoba melarikan pandangan gue ke karya lainnya, yaitu Tak Berakar Tak Berpucuk No. 8 karya Handiwirman Saputra.

Tak Berakar Tak Berpucuk No. 8 karya Handiwirman Saputra. (Sumber: Froyonion)
Tak Berakar Tak Berpucuk No. 8 karya Handiwirman Saputra. (Sumber: Froyonion)

“Karya yang aneh, tapi kok keren?”, itu impresi gue ketika melihat karya ini untuk pertama kali, semata-mata karena bentuknya yang masif dan terlihat lebih dominan ketimbang karya-karya lain di sekitarnya.

Pertama, di bagian atas ada batu, lalu diikat dengan karet berukuran besar, dan di bagian paling bawah ada trash bag yang menggenangi air. Asumsi pertama gue tanpa melihat tabel deskripsi adalah “Manusia mengambil kekayaan [mineral, batu] dari bumi, terus ditukarnya dengan sampah, hubungan transaksional yang nggak menguntungkan satu pihak banget”.

Dan setelah membaca deskripsi, ternyata gue salah lagi. Handiwirman Saputra menjelaskan bahwa karya ini menggambarkan bentuk ‘toleransi’ antara benda-benda saat banjir melanda studionya di Yogyakarta, mengekspresikan ide bahwa benda mati maupun benda hidup tidak dapat tercipta dengan sendirinya, dan seluruh benda itu saling terhubung dalam ikatan reaksi dan kemungkinan yang rumit.

Gue kembali bertanya pada diri sendiri. “Apakah gue sebodoh itu dalam memahami karya seni?”

Sebenarnya, masih banyak lagi karya yang ditampilkan dalam Art Jakarta yang memicu perdebatan di kepala gue. Berusaha memahami arti sebuah karya seni memang nggak mudah, atau mungkin, memang nggak ada jawaban benar / salah dari sebuah karya seni?

Saat pulang, gue mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang hadir di kepala gue ketika di pameran. Bagaimana cara agar gue bisa lebih memahami seni? Bagaimana juga cara mengapresiasinya? Gue pun berdiskusi dengan Kinur yang menurut gue adalah orang yang cukup mengerti dan memiliki referensi serta ketertarikan yang tinggi juga terhadap seni.

Gue kemudian menyadari, hingga gue membuat artikel ini, bahwa karya seni apapun yang lahir dari kreativitas dan idealisme seorang individu memang selayaknya nggak harus selalu dipertanyakan artinya dan berakhir dengan membuat lo jadi nggak menikmati prosesnya. Memahami karya seni bisa berarti menikmatinya melalui pengamatan, dan nggak perlu selalu menghasilkan jawaban.

Nggak semua orang memiliki indera yang sensitif dalam menganalisis karya seni, dan gue pun merasa gue bukan orang yang punya kelebihan itu. Meskipun secara eksplisit gue nggak menggambarkan kepuasan batin saat melihat karya, tapi dalam hati gue entah kenapa merasa puas dan ‘penuh’ ketika melihat karya seni tertentu. Toh, setiap manusia punya preferensi masing-masing, dan nggak semua karya seni kita sukai di level yang sama dengan karya seni lainnya.

Melancholia (Kiri) dan Magnificent Set of Disposable Virtue 8 (Kanan). (Sumber: Froyonion)
Melancholia (Kiri) dan Magnificent Set of Disposable Virtue 8 (Kanan). (Sumber: Froyonion)

Contohnya, entah kenapa gue sangat menikmati lukisan Melancholia karya Rosit Mulyadi dan ‘batu’ berjudul Magnificent Set of Disposable Virtue 8 karya Bongga Jordan Hutagalung. Nggak ngerti kenapa, tapi dengan melihat 2 karya ini, gue merasa ‘terprovokasi’ (ke arah yang positif).

Gue merasa bahwa 2 karya ini cukup relateable dengan diri gue, terutama untuk tulisan “If everyone is an artist, is anyone?”. Apakah gue juga bisa disebut seorang seniman? Atau apakah ada seniman yang keunikannya membuat dirinya dicap lebih spesial di dunia ini? Atau memang semua orang itu keren dan unik, jadi nggak ada manusia yang benar-benar unik karena semuanya memang sudah unik dari ‘sananya’?

Lalu, gue rasa, dengan datang secara langsung ke pameran seni adalah bentuk paling make sense dalam mengapresiasi suatu karya seni. Nggak semua seniman yang mengikutsertakan karyanya di pameran berniat untuk menjual karyanya, banyak juga yang hanya ingin menampilkan karya untuk bisa dinikmati orang lain–membagikan isi hati, menuangkan perasaan dalam coretan di kanvas agar bisa bisa dirasakan oleh orang lain.

Jadi, memahami dan mengapresiasi karya seni bukanlah hal yang muluk-muluk dan cuma bisa dilakukan oleh orang-orang tertentu aja. Seni bisa dinikmati semua kalangan dan diinterpretasi secara berbeda-beda oleh masing-masing orang.

Kalau kata aktor Hollywood yang pernah memenangkan 5 Grammy Awards dan juga seorang penikmat seni, Steve Martin, “I believe picture reveal themselves over time, you can’t really get it in one lengthy look. It’s great to be able to live with a painting or visit a painting in a museum, and go back and back and back.” (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Garry

Content writer Froyonion, suka belajar hal-hal baru, gaming, dunia kreatif lah pokoknya.