In Depth

ALASAN KENAPA LO HARUS BERHENTI MENGIDEALISASIKAN NILAI DAN IPK RENDAH!

Sudahi romantisisasi lo anak muda, jika IPK lo bernasib satu koma, silahkan intropeksi diri dan baca artikel ini!

title

FROYONION.COM - Ada suatu prinsip yang menjamur dan menjadi budaya yang sering dipakai oleh anak muda Indonesia, terkhusus para mahasiswa. Bahwa IPK atau nilai akademik itu bukan menjadi jaminan lo untuk sukses. Gak jarang banyak yang bilang "Ah IPK cuman sekedar formalitas dan gak bakalan kepake di dunia kerja nanti, karena yang terpenting itu skill dan attitude". 

Menurut gw, jika lo berpikir untuk tidak serius dalam dunia akademik hanya karena menganggap IPK sebatas formalitas dan gak menjamin kesuksesan, mungkin sedikit ada benarnya, namun kebanyakan naifnya. Karena dari masalah IPK bagus atau tidak pasti ada sebabnya. 

Bagaimana kepribadian dan kedisiplinan lo dalam menjalani masa studi? Apakah lo sering mengikuti perkuliahan? Apakah lo mengerjakan tugas dengan sebaik mungkin? Sudahkah menyelesaikan tugas lo sebelum mencapai deadline? Atau bisakah lo mengerjakan tugas maupun ujian dengan lancar?

Dan masih banyak pertanyaan di luar itu yang sangat mempengaruhi nilai maupun IPK lo. Gw masih kurang paham kenapa masih banyak orang-orang yang gemar meromantisisasi IPK rendah bahkan tidak jarang menggurui mereka yang ber-IPK tinggi. Apakah itu hanya sebagai pembenaran atas kegagalan akademik mereka?

Namun apapun itu, jika lo termasuk oang yang gemar mengidealisasikan IPK yang rendah, bagusnya lo hentikan kebiasaan tersebut dan pahami alasan-alasan berikut!

GAK SEMUA ORANG BERPIKIRAN UNTUK MAU MENJADI SUCCES HUNTER

Succes Hunter merupakan istilah yang menggambarkan suatu paham bahwa pendidikan itu gak terlalu penting. "Toh, manusia yang sekaya dan sekelas Bill Gates aja sampai drop out dari kampus". Ya, gw akui memang ada orang yang secara akademik tidak sukses, namun sukses dalam dunia pekerjaan. Tapi kira-kira berapa banyak sih orang yang bisa sukses seperti itu?

Oke, kita anggap bahwa banyak pengusaha sukses yang jarang masuk kelas, IPK-nya jelek, bahkan sampai pernah drop out, namun apakah lo tahu kalo mereka juga terus belajar dan meningkatkan self education-nya? Oh iya, jangan lupa soal privelege yang turut andil dalam mempengaruhi kesuksesannya.

Terlalu naif jika lo berpikir untuk meraih kesuksesan, sedangkan yang lo tiru cuma sebatas pendidikan itu gak penting? Ditambah dengan taburan cerita bahwa Mark Zuckerberg saja keluar dari kampusnya namun bisa menjadi miliarder seperti sekarang? Perlu untuk lo ingat, meniru cara hidup dan proses Mark Zuckberg tak lantas bisa ngebikin lo seperti Mark, bukan?

Siapapun juga bakal kelabakan meniru jalan ninja seorang Isaac Newton. Yang sukses menemukan hukum gravitasi ketika jatuhnya buah apel tepat dikepala doi. Kan ga lucu, lo memaksa meniru jalan ninja Isaac dengan duduk di bawah pohon duren? Boro-boro lo mau menemukan hukum fisika yang baru, yang ada malah menemukan sang pencipta terlebih dahulu.

Jadi, meskipun lo nyinyir meromantisisasi IPK rendah dengan alasan para miliarder tidak mementingkan pendidikan. Sungguh pernyataan tersebut sangat naif wahai anak muda. Karena semua hal tersebut berbicara mengenai kemampuan dan keunikkan lo untuk survive tanpa nilai di atas kertas.

SECARA ADMINISTRASI LO SUSAH LOLOS KERJA!

Boro-boro lu mau menunjukkan skill sama attitude jika pas seleksi administrasi saja udah gugur duluan, karena nilai IPK lo yang terlalu rendah.

Karena faktanya, gak cuman di dunia akademik, pada dunia kerja lo juga membutuhkan nilai di atas kertas. Mau itu perusahaan swasta, BUMN atau institusi pemerintahan, mereka selalu menetapkan minimal IPK tertentu sebagai salah satu syarat seleksi.

Bahkan anak muda yang gak bisa mengeyam dunia perkuliahan saja, harus memiliki ijazah dan nilai raport yang memadai agar bisa bekerja meskipun hanya sebagai tukang sapu.

Gak salah jika lo berkeyakinan bahwa skill atau attitude itu penting dalam dunia kerja, namun biasanya, hal tersebut baru bisa lo tunjukkan ketika lo udah keterima kerja.

KASIHAN DENGAN PARA PENERIMA BEASISWA

Alasan ketiga yang harusnya cukup bagi lo untuk berhenti menggemborkan nilai IPK rendah ialah karena merugikan para pejuang maupun penerima beasiswa. Karena cukup banyak program beasiswa yang mensyaratkan minimal dengan nilai IPK tertentu. 

Kan kasihan, hanya karena mendengarkan kenaifan lo, mereka yang awalnya kepengen dapat beasiswa akhirnya mendapatkan kesulitan secara finansial, karena membayar uang semester tidak semudah omongan untuk meromantisisasi IPK rendah, Civs!.

GAK SEMUA ORANG MEMILIKI PRIVELEGE

Bagi orang-orang yang nggak punya privelege. Prestasi akademik bisa jadi salah satu hal yang ngebikin mereka bahagia dan lebih percaya diri lagi untuk menuju impian masing-masing.

Mungkin bagi lo yang terlahir dari keluarga yang serba ada atau memiliki relasi yang luas dan kuat, gak terlalu masalah jika lo memaklumi dan membanggakan nilai yang rendah. 

Namun bagaimana dengan mereka yang berasal dari keluarga menengah bahkan kebawah? Yang orang tua mereka mati-matian banting tulang demi anaknya agar bisa mengenyam pendidikan dan meraih nilai yang membanggakan? tentu gak cuman anaknya, orang tuanya juga merasa bahagia.

So, pesan gw jika ada temen yang terlihat ambisius mengejar nilai ataupun IPK yang tinggi, gak usah buru-buru dulu buat nasehatin mereka dengan anggapan cetek yang menganggap nilai bukan jadi jaminan kesuksesan. 

Gak masalah kok, jika lo aktif di banyak kegiatan organisasi, kepanitiaan, atau bahkan sering ikut kegiatan di luar kampus, asal lo tidak melupakan kewajiban primer lo sebagai mahasiswa atau pelajar.

Karena ketika lo nyinyir dan mencari pembenaran atas kegagalan akademik lo dengan meromantisisasi IPK rendah, padahal lo mampu berupaya mendapatkan nilai yang bagus. Maka itu hanya akan membuat lo selalu memaklumi suatu kemalasan dan tidak menghargai sama sekali perjuangan orang yang berambisi untuk mendapatkan nilai bagus. 

Jika sudah begitu apakah lo sudah bisa mencerminkan suatu attitude yang baik? (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Bayu Dewantara

Mahasiswa UI(n) Jakarta, Content Writer, Civillion, Penulis buku antologi "Jangan Bandingkan Diriku" dan "Kumpulan Esai Tafsir Progresif"