Movies

PENGALAMAN PERTAMA GUE DI JAFF KE-17, ‘SURGANYA’ PELAKU DAN PENIKMAT SINEMA INDONESIA

Sebagai salah satu festival film tahunan yang cukup prestisius dan menjadi destinasi wisata hiburan di Yogyakarta, JAFF nggak bisa dilewatkan buat para sinefil. Di tulisan ini, gue spill tipis-tipis tentang apa saja yang ada di sana dan gimana keseruannya, Civs.

title

FROYONION.COM - Jogja-NETPAC Asian Film Festival telah sampai di perayaannya yang ke 17 tahun. Festival yang menampilkan film-film dari berbagai negara di Asia ini diadakan pada selama delapan hari, mulai dari tanggal 26 November 2022 sampai 3 Desember 2022 lalu. Mengusung tema ‘Blossom’ atau bersemi dengan paduan warna serba merah muda, JAFF terasa hangat dan dekat dengan kita, terutama anak muda yang penuh energi dan kreativitas kayak kita. 

JAFF ke 17 juga masih tetap berkolaborasi dengan seniman dalam ranah artwork festival, kali ini bersama Octo Cornelius—seniman yang akrab dengan instalasi kayu. Venue diadakannya JAFF masih sama seperti tahun-tahun sebelumnya, yaitu di Bioskop Empire XXI Yogyakarta dan platform digital streaming Klik Film. Namun, tahun ini ada tambahan lokasi baru untuk sesi bincang-bincangnya JAFF, yaitu di LPP Yogyakarta yang gedungnya bersebelahan sama Empire XXI. 

Gue sebenarnya sudah cukup lama mengikuti perkembangan festival ini, tapi baru sempat datang datang itu pada pergelaran JAFF ke 16, satu tahun yang lalu. Menurut gue juga, tahun ini suasananya agak beda dibanding tahun lalu. Nggak cuma suasana sih sebenarnya, tapi mulai dari pra festival, kurasi film, wajah-wajah baru, program-programnya, sampai antusiasme penontonnya.

JAFF ke 17 dibuka oleh pra festival dengan diadakannya JAFF Open Air Cinema dan JAFF Movie Night. Program volunteer yang gue nanti-nantikan juga dibuka lagi tahun ini meskipun pada akhirnya gue nggak sempat daftar karena lupa tenggat akhirnya. Hal ini yang kayaknya jadi salah satu faktor di balik antusiasme penonton yang tinggi, serta suasana yang riuh dan ramai banget selama festival digelar.

Bayangin saja, Civs, selama delapan hari digelar, ada sekitar 16 ribu orang yang berbondong-bondong datang ke festival ini. Angka ini meningkat drastis dibandingkan dengan pergelaran tahun lalu yang masih dalam fase transisi dan berkutat pada pembatasan ruang karena efek pandemi. Jumlah penonton yang datang juga melebihi JAFF yang diadakan di tahun-tahun sebelum pandemi. Ifa Isfansyah selaku Festival Director juga menyebut kalau JAFF ke 17 itu sebagai pergelaran festival paling besar sepanjang sejarah JAFF.

Film-film yang ditayangkan juga sangat beragam dan berasal dari banyak negara Asia. Total ada 146 film yang ditayangkan dan berasal dari 19 negara. Kurasi filmnya juga nggak main-main, dalam main competition sendiri ada 13 film dari 10 negara. Jumlah ini cukup banyak mengingat submisi film yang membludak daripada tahun sebelumnya. Ditambah dengan hadirnya Plan 75, film yang mewakili Jepang untuk memperebutkan Piala Oscar di ajang Academy Award tahun depan di JAFF ke 17.

WAR TIKET DAN PENGALAMAN FESTIVAL

Masih sama seperti tahun lalu, gue masih harus war tiket dulu sebelum hari penayangan. Melihat schedule, gue sudah tahu mau nonton film apa, tapi apalah daya tangan masih saja kalah cepat. Dari enam film yang gue mau, hanya tiga yang kesampaian buat ditonton. Autobiography karya Makbul Mubarak gagal ditonton karena kehabisan tiket, Puisi Cinta Yang Membunuh karya Garin Nugroho dan film dokumenter Eksil juga gagal karena jadwal yang berbenturan dengan waktu kuliah. Beruntung, masih ada Cross The Line, Balada Si Roy, dan Galang yang menjadi tontonan menarik dan sesuai sama yang gue mau.

Pertama kali masuk ke festival, gue langsung disuguhi dengan papan poster sebesar baliho tanam yang isinya denah dan schedule festival yang lengkap banget. Booth tersedia di kanan dan kiri sebelum sampai di depan pintu masuk bioskop. Ada juga panggung besar yang digunakan menjadi tempat perform bagi band dan surprise sessionsurprise screening dan surprise event—di sela-sela festival. 

Di area festival, orang-orang yang hanya bisa kita lihat di film-film, bisa kita lihat secara langsung. Kita bisa menyapa, ngobrol, diskusi, minta foto, atau cuma sekadar ngeliatin mereka jalan ke sana kemari, dari satu studio ke studio penayangan lainnya. Film-film yang kita tonton pun selalu diakhiri dengan sesi Q&A atau tanya jawab bareng sutradara atau aktor dan aktris yang main di film itu.

Sesi bincang-bincang tahun ini pun dikemas rapi dan beragam. Ada yang membahas tentang publikasi film, pengembangan karakter, perkembangan sinema Asia, sinematografi, dan lain sebagainya. Tak lupa, ada juga sesi workshop tentang akting dan subtitling dalam program JAFF Education, serta workshop upcycling—mengubah pakaian lama, usang atau rusak menjadi sesuatu yang baru dan memiliki nilai tambah. 

Tapi menurut gue, yang menarik lagi adalah adanya program Bioskop Bisik yang memberikan ruang dan peluang yang sama bagi teman-teman tuna netra untuk turut menikmati sinema. Terus yang nggak kalah seru, ada juga kompetisi ping-pong, loh. Lengkap banget kan, Civs!

Gue belum tahu dengan festival-festival film lain karena JAFF adalah festival pertama gue. Tapi sejauh ini, JAFF berkembang sedemikian rupa dan memberikan kepuasan yang menyenangkan. Selalu ada yang baru di setiap tahunnya, selalu ada hal unik dan menarik yang menyertainya. 

Menurut gue, JAFF bukan sekadar festival film biasa. Lebih dari itu, JAFF adalah tempat tujuan, wadah bergumul, ruang kolaborasi, sarana pengembangan diri, wisata hiburan, dan salah satu produk film yang harus terus eksis. Sebab, JAFF nggak hanya sekadar menayangkan film-film dari Asia saja, tetapi juga meleburkan semua penikmat film menjadi satu, tanpa memberikan batasan siapa yang memproduksi, mereka yang bermain, dan siapa saja yang menonton. (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Haidhar Fadhil

Mahasiswa HI yang suka nulis, seni, musik, dan motor