Tips

LIBUR KULIAH, AKHIR JANUARI JOGJA BAKAL SEPI, KELILING LOKASI HISTORIS GRATIS DONG

Jogja di bulan Januari bakal kelihatan romantis, terutama di lokasi historis. Momen liburan kuliah ini Jogja sepi lalu-lalang mahasiswa. Nah, justru ini bisa dimanfaatin buat hangout gratis ngelewatin jejak bersejarah kota ini.

title

FROYONION.COM - Yogyakarta dikenal dengan berbagai nama, mulai dari Kota Kraton, Kota Pendidikan, tapi tak bisa dilupakan sebagai Kota Bersejarah. Umum dikenal dengan nama Jogja, kota yang menampung kedatangan manusia dari segala penjuru negeri ini memang eksotis dari segi historis.

Bagaimana tidak, kota ini masih syahdu dengan kenangan arsitektur bersejarahnya. Siapa yang tak kenal Malioboro coba!? Jalanan yang dulunya menandai kedatangan pasukan perang Belanda, Jepang, hingga NICA itu telah menjadi ruang interaksi masyarakat tak terbatas. Jalan itu seolah menampilkan pestanya tiada akhir. Lampu-lampu kota di Jalan Malioboro seperti tak pernah tertidur—begitu pula para pejalan kaki yang menikmatinya.

Nah, yang menjadikan Malioboro ini asyik adalah rekaman sejarah yang ada di setiap sudutnya Civs! Mulai dari lampu-lampu kota yang masih menampung ide-ide Wilhelmina, sampai bangku-bangku taman yang ikut bercengkrama dengan budaya tanah kincir angin tersebut. 

Pada ujung jalan Malioboro ini setiap pengunjung Yogyakarta akan tersihir oleh gemerlap lampunya yang sedang menyapa adzan Subuh. Dimulai ketika lapak-lapak pedagang oleh-oleh telah menutup dirinya, tepat pukul 02.00 WIB, Malioboro akan menampakkan keindahan historis yang tak terlupakan, utamanya di titik 0 kilometer.

Titik yang menandai pusat dari seluruh wilayah Yogyakarta itu seolah membuat seseorang yang berdiri di atasnya terhubung ke segala arah. Namun, mata kita akan terpaku pada temaram lampu yang membuat Gedung Bank Indonesia tampak lebih megah daripada biasanya.

Tidak ada yang berlalu lalang, setidaknya tidak akan terlalu ramai. Yogyakarta benar-benar menunjukkan kenyamanannya, kehangatannya, justru di waktu paling dingin dari yang pernah ada. Sesekali gerobak angkringan silih berganti mencoba menyisir jalan di depan terasnya. Namun, gerobak-gerobak itu dipersilahkan untuk memberikan senyum sebelum mereka pulang.

“Gedung Bank Indonesia ini dulunya adalah benteng, yang menutup Kraton. Ini menyimbolkan ditutupnya akses tradisi masyarakat dengan rajanya. Namun, hal ini sekaligus simbol perlindungan di masa perang,” ungkap Rama, ahli sejarah lulusan Universitas Gadjah Mada kepada Froyonion (2/1).

Dari Gedung Bank Indonesia ini, perjalanan menyambut adzan Subuh pun diteruskan dengan mengucap salam kepada Plengkung Gading. Gerbang dengan lorong yang melengkung itu ada empat titik sebagai simbol empat arah mata angin yang disambut oleh Kraton Yogyakarta. Plengkung Gading sendiri dikenal sebagai simbol unggah-ungguh untuk siapapun yang hendak masuk Yogyakarta.

Tingginya yang hanya 2 meter dari permukaan tanah tidak memungkinkan kendaraan besar untuk memasuki istana. Hal ini menunjukkan dua hal, seseorang yang membawa sesuatu berkapasitas besar harus masuk pelan-pelan dan tidak boleh ada pasukan bersenjata yang memasuki istana. Ide besar dari Plengkung Gading ini terutama diterapkan oleh Hamengkubuwono IX dalam peristiwa Serangan Umum 1 Maret yang terjadi di Yogyakarta.

Plengkung Gading yang terletak di timur menjadi jalan masuk utama yang menyimbolkan kehidupan dengan segala normanya. Plengkung Gading ini pulalah yang menjadi perantara kehidupan Jawa khas Kraton dengan kebudayaan Islam di Kauman. Melalui Plengkung Gading ini, sebuah proses untuk mencapai tangga ilahiah dikerjakan, terutama kalau para wisatawan mau sedikit mengambil jarak untuk sampai ke Masjid Kauman.

Adzan Subuh hampir berkumandang dan waktu telah menunjukkan pukul 03.55 WIB. Pada bulan Januari ini Subuh datang lebih cepat di wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah. Ketika adzan berkumandang, langit yang mulai terang ikut menjadi benderang bersama lampu-lampu di sekitar Masjid. Saat itu, masyarakat berbondong-bondong menyongsong Shalat Subuh.

Bukan hanya masyarakat Jogja saja yang datang ke Masjid Kauman, tetapi juga para wisatawan yang sedang akan bergembira-ria di Kota Historis ini. Bus-bus pariwisata telah terparkir di sekitar Alun-Alun Utara dan Parkiran Umum Ngabean. Mereka yang berangkat di malam hari telah sampai di Yogyakarta. Beberapa dari mereka mandi di ruang-ruang yang memang sudah disediakan Masjid Kauman.

Musim libur kuliah ini, tidak banyak bus yang terparkir sebab bukan musim libur sekolah. Cengkrama wisatawan pun tak seramai bulan Juni atau Desember, namun tetap saja Masjid Kauman menyambut mereka dengan kehangatan. Setelah usai Shalat Subuh, setiap orang akan menuju arah yang berbeda-beda.

Saya memilih untuk berkelana ke Selatan, menuju bangunan historis lain yang tak bisa lepas dari identitas Yogyakarta. Bangunan itu bernama Panggung Krapyak, yang sebenarnya sebuah benteng pengawas sekaligus penjara pada masanya. Uniknya, peradaban Islam justru tumbuh megah di sekitar Panggung Krapyak.

Banyak pondok pesantren yang saling bahu-membahu membangun nuansa religius di sekitar Panggung Krapyak. Dari sebuah titik yang kini di rantai untuk mengenang nilai-nilai bersejarah itu, Masjid Jogokariyan menjadi lokasi paling ramai dikunjungi, terutama di waktu Subuh. Meneruskan tradisi ketika Ramadhan, Masjid Jogokariyan dan kalangan santri di sekitar Panggung Krapyak membuka ruang pasar kaget di waktu subuh hingga pukul 07.00 WIB.

Masyarakat dari berbagai kalangan, tak melulu harus beragama Islam ikut membaur di sini. Mereka menikmati makanan tradisional khas Yogyakarta yan juga dipadukan dengan bumbu-bumbuan ala pesantren. Sebuah interaksi tiada akhir dari kehidupan historis Yogyakarta terbangun di sini. Giman Civs! Mumpung Januari belum berakhir nih, ke Jogja aja! (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Hamdan Mukafi

Selamanya penulis