Books

MARYAM: TERSINGKIRKAN KARENA IMAN

Hidup Maryam tidaklah mudah. Sebagai perempuan ia mengalami tekanan dari orang tua, kungkungan masyarakat yang menempatkan laki-laki di posisi atas, dan juga konservatisme agama yang membuatnya harus kehilangan kampung halaman.

title

FROYONION.COM - Bertahun-tahun kemudian Maryam kembali ke kampung halamannya. Ia tidak pernah menyangka akan berpulang lagi setelah angkat kaki dari tanah kelahirannya akibat penolakan keluarga sendiri. Maryam memutuskan untuk menikah dengan seorang pria beragama Islam, namun berbeda aliran dengan keluarganya.  Apa yang ia harapkan melalui kepulangannya? Apakah keluarganya akan menerimanya kembali? Atau apakah keluarganya sudah melupakannya?

Lika-liku kehidupan Maryam tidaklah mudah. Beban moral yang ditanggung tidak hanya serta merta dari orang tua yang mengekang, keluarga yang menjunjung tinggi nilai tradisional dalam beragama, namun identitasnya sebagai perempuan juga menjadi beban tersendiri. Ia adalah seorang perempuan yang lahir di Desa Gerupuk, di pantai selatan Lombok. Keluarganya adalah generasi ketiga pengikut Ahmadiyah yang dapat hidup berdampingan dengan baik bersama umat beragama lainnya. Namun, seperti yang kita tahu, sekali pun tampak baik di luar, ketegangan dan konflik bisu tidak bisa dihindari. Sehingga Maryam melawan itu semua dalam senyap.

Diam-diam ia melakukan pemberontakan meskipun hanya terucap lirih di batinnya sesekali menahan rasa sedih yang tidak seorang pun akan paham. Konflik bermula ketika Maryam jatuh cinta dengan seorang laki-laki bernama Gamal. Ia sama-sama seorang Ahmadi. Namun, cinta itu kandas tatkala Gamal membelot dari ajarannya. Maryam pun pergi ke Jakarta dan bertemu dengan laki-laki lain bernama Alam. Ia membawanya ke rumah dan bermaksud untuk menjalin hubungan yang lebih serius. Namun, ketika ia bukan seorang Ahmadi, keluarganya pun urung untuk memberi lampu hijau. Mulai dari sini ketegangan pun memuncak.

Cover buku “Maryam” karya Okky Madasari.
Cover buku “Maryam” karya Okky Madasari. (Sumber gambar: Goodreads.com)

Maryam juga didesak dari pihak mertua yang percaya bahwa tanggung jawab seorang istri adalah menurut dengan suami. Terutama dalam hal beragama karena suami merupakan imam keluarga. Tekanan bertubi-tubi terus mendera Maryam. Dan karena ia seorang perempuan, beban moral baik dari keluarga pribadi, keluarga calon suami, dan stigmatisasi masyarakat, serta kungkungan agama yang mengikat dilimpahkan semua pada Maryam. Ia yang harus memenuhi semua persyaratan orang-orang di sekitarnya tanpa ada yang mau mendengarkan suaranya.  Bahkan ketika Maryam belum bisa memiliki anak. Mertuanya menjadi kesal dan menyalahkannya karena dianggap beraliran sesat. Sejak saat itu, pernikahan mereka usai dan Maryam memilih kembali ke kampung halamannya. 

Kata sesat kerap digunakan sebagai ungkapan oleh orang yang merasa lebih tinggi derajatnya untuk melabeli ajaran tertentu, yang dianggap tidak sesuai dengan prinsip beragama yang baik dan benar. Kata ini pula yang kemudian menyebabkan Maryam tersingkirkan bersama pengikut Ahmadiyah lainnya. Sebuah khotbah mengatakan bahwa aliran kepercayaan mereka sesat. Maka orang-orang dengan amarah dan kekejaman datang menggerebek rumah-rumah warga Ahmadiyah dengan lemparan batu, memporak-porandakan pagar dengan cangkul dan parang, sampai membakar habis tujuh belas rumah dengan intimidasi yang memaksa untuk meninggalkan ajaran mereka atau angkat kaki sekarang juga! 

Seperti yang kita tahu, kasus intoleransi agama banyak terjadi di Indonesia. Konflik berkepanjangan tersebut telah merenggut hak hidup banyak orang bahkan menyebabkan ribuan nyawa manusia melayang. Padahal mereka adalah para korban yang tidak bersalah, yang hanya menginginkan hidup seperti sewajarnya masyarakat pada umumnya, seraya bisa beribadah tanpa ada rasa takut, intimidasi, atau lemparan batu. 

Intimidasi terhadap agama semakin memuncak sejak pasca reformasi. Seperti konflik Poso yang terjadi pada Desember 1998, kemudian berlanjut sampai dua tahun ke depan, hingga memuncak dari Mei sampai Juni 2000. Peristiwa ini memakan banyak korban jiwa dan menimbulkan pengalaman traumatis pada setiap keluarga korban sampai saat ini. Tidak hanya itu, rekam jejak berbagai konflik yang pernah terjadi juga mengakibatkan krisis kemanusiaan yang mempertajam sentimen agama di wilayah Indonesia lainnya. Konflik agama seringkali tidak hanya dimotori oleh benturan kepercayaan saja. Namun, penunggangan kepentingan politik juga menjadi penyebab utama dari konflik tersebut. Perseteruan agama yang terjadi di masyarakat digunakan sebagai alat elit politik untuk merebut kekuasaan pimpinan daerah. 

Seperti yang baru-baru ini terjadi. Belasan jemaat Gereja Bethel Indonesia (GBI) Solagracia di Lubuk Begalung, Padang, Sumatera Barat mengalami intimidasi dan pembubaran ketika acara kebaktian. Acara tersebut dilakukan bergilir di rumah salah satu jemaat. Namun, ketika prosesi bernyanyi dan berdoa berlangsung, tiba-tiba seorang ibu dari belakang rumah keluar sambil berteriak-teriak dan memecahkan kaca jendela pemilik rumah. Sontak semua jemaat terkejut dan langsung keluar. Tidak hanya itu, salah seorang keluarga yang keberatan juga mengintimidasi secara verbal seraya mengayun-ayunkan kayu dan parang yang ia bawa. Hal ini membuat para jemaat menjadi takut dan suasana terasa begitu tegang. 

Ada konflik isu komunal (antaragama) maupun konflik terkait isu sektarian (interagama). Konflik agama komunal memang paling eksis terjadi di masyarakat seperti peristiwa di atas. Biasanya perseteruan didominasi dengan penolakan pembangunan tempat ibadah umat agama minoritas. Sedangkan untuk konflik agama berjenis isu sektarian adalah pengusiran atau penolakan terhadap Komunitas Ahmadiyah di Kabupaten Bogor, yang juga dialami oleh tokoh novel Maryam.

Okky Madasari memang sangat kritis terhadap isu-isu sosial politik dan kemanusiaan seperti, ketidakadilan, diskriminasi, marginalisasi, dan konservatisme agama. Beberapa novel Okky lainnya seperti Entrok, 86, dan Pasung Jiwa tegas menyuarakan mereka yang terpinggirkan oleh sistem dominasi masyarakat yang tidak memiliki keberpihakan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.

Meruncingnya konflik beragama, kesewenang-wenangan aparat negara, dan pengabaian tanggung jawab pemerintah dalam menjamin hak hidup atas warganya menjadi kegelisahan Okky pula ketika menuliskan novel ini. Ia melakukan riset mendalam terhadap kelompok Ahmadiyah di Lombok yang sampai saat ini masih terus menyuarakan keadilan dan menuntut hak mereka agar bisa kembali ke rumah. 

Pada bagian akhir novel, Maryam menuliskan surat untuk ketiga kalinya kepada pejabat publik yang meminta agar mereka selaku pemegang kekuasaan negara untuk bertindak. Maryam bersama orang-orang yang terpinggirkan lainnya hanya ingin pulang kembali ke rumah masing-masing. Mereka hanya ingin hidup normal dan tenang tanpa ada kekerasan lagi. Mereka tidak ingin masa depan anak-anak yang lahir dan tumbuh di pengungsian bernasib sama seperti orang tua mereka. Sudah lebih dari enam tahun mereka bertahan hidup tidak layak di barak pengungsian akibat dari pengusiran dan dibakarnya rumah-rumah mereka. Lebih dari dua ratus orang senantiasa menanti keadilan dan harapan yang hari demi hari terasa kian suram. (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Sekar Jatiningrum

Penulis lepas sekali yang suka mendengarkan musik sampai ketiduran.