Books

KETIKA MEMBACA BUKU ADALAH SUATU KEJAHATAN

"Di manapun mereka membakar buku, pada akhirnya mereka akan membakar manusia" -Heinrich Heine dalam Almansor (1821).

title

FROYONION.COM - Pernahkah kamu membayangkan hidup di masyarakat yang melarang keras memiliki atau membaca buku? Sekali pun kamu membaca di rumah secara sembunyi-sembunyi, petugas pemadam kebakaran akan datang, membakar semua bukumu, dan mencidukmu untuk diinterogasi lebih lanjut. Lebih jauh lagi, kamu bisa dihilangkan secara paksa dan segala jejak kehidupanmu akan dihapuskan. Betapa menyeramkannya! 

Mengapa buku bisa menjadi suatu ancaman dan manusia merasa perlu untuk memusnahkannya? Menilik konteks sosial historis masa lalu, hal ini tidak dapat lepas dari awal mula manusia mulai mendokumentasikan ilmu pengetahuan menggunakan media tertentu. 

Dalam bukunya, Penghancuran Buku dari Masa ke Masa, Fernando Báez memaparkan bahwa pemusnahan buku sudah ada sejak zaman Sumeria Kuno, sekitar 4000 tahun sebelum masehi. Dan dalam konteks sejarah Indonesia, pemberangusan buku terjadi sejak masa kolonialisme sampai saat ini. 

Hal ini tentu menimbulkan keprihatinan melihat bagaimana aparat penegak hukum kita masih begitu tajam memusuhi buku-buku yang dikategorikan berbahaya sehingga dapat mengguncang stabilitas negara. Terutama buku-buku yang dianggap mengandung ideologi tertentu dan bisa membangkitkan sejarah kelam Indonesia di masa lalu. 

BACA JUGA: 'GAGAL MENJADI MANUSIA' : MISTERI DI BALIK TULISAN DAZAI OSAMU

(Sumber gambar: gramedia.com)
(Sumber gambar: gramedia.com)

Bahkan bertahun-tahun setelah kita bebas dari penjajahan dan tidak perlu lagi mengangkat bambu runcing, upaya-upaya pengerdilan dan penyempitan nalar pikir manusia justru semakin dilegitimasi oleh pihak berwenang dan institusi negara. 

Kita masih ingat di tahun 2014 lalu, sejumlah anggota organisasi masyarakat (ormas) membubarkan diskusi buku tentang Tan Malaka yang diselenggarakan di Perpustakaan C-20 di Jalan Cipto Nomor 20 Surabaya. Mereka mengatakan bahwa diskusi tersebut meresahkan dan patut dibubarkan karena mengandung ideologi marxisme dan komunisme yang bertentangan dengan ajaran agama. Sangat disayangkan sekali. 

Tan Malaka merupakan salah satu tokoh jajaran penting seperti halnya Soekarno, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Mohammad Natsir, dan tokoh lainnya yang ikut berperan aktif menyumbangkan pemikiran mereka untuk kemerdekaan Indonesia melalui keterlibatannya di organisasi dan partai. 

Melihat contoh di atas, saya membaca kembali buku Ray Bradbury, Fahrenheit 451, yang menggambarkan situasi serupa seperti yang kerap terjadi di Indonesia beberapa tahun belakangan ini. 

Buku klasik setebal 200 halaman ini menceritakan seorang pria bernama Guy Montag yang sewaktu-waktu mengalami gejolak batin pada dirinya. Ia sudah bertugas selama 12 tahun sebagai anggota pemadam kebakaran yang sehari-hari menggedor pintu ke pintu rumah warga untuk mengecek apakah ada salah seorang yang membaca atau memiliki buku. 

Jika ketahuan, tim pemadam kebakaran akan segera mengeluarkan buku-buku tersebut dan membakarnya di depan pemilik rumah sampai tidak ada yang tersisa. Mereka memiliki slogan yang selalu diamini yaitu: Bakar sampai menjadi abu, lalu bakar abunya. 

Jangankan membaca, memiliki buku saja sudah dianggap sebagai pelanggaran hukum dan kejahatan yang harus ditindak. Salah satu peristiwa yang membekas di benak Montag adalah ketika ia bertugas mendatangi rumah seorang perempuan yang ditengarai memiliki buku. Ia secara tidak sengaja ketahuan oleh petugas. Maka dengan segera petugas pemadam kebakaran langsung mendatangi rumahnya dan membakar habis seisi rumah. 

Namun, ada kejadian yang membuat Montag tidak bisa berkata-kata. Perempuan tersebut ikut serta membakar dirinya sendiri di tengah kobaran api yang menjilat buku-bukunya. Montag sempat memintanya untuk keluar rumah, namun ia menolak. Kejadian ini mengusik benak Montag. Apa yang ada di pikiran perempuan tersebut sampai ia berani membakar dirinya sendiri? Apa yang membuatnya bersedia mengorbankan diri bersama dengan buku-bukunya?

Mulai sejak itu Montag bertanya-tanya apa yang membuat benda bernama “buku” tersebut dapat memiliki pengaruh yang begitu kuat terhadap perilaku manusia. Cerita juga semakin menarik dengan kehadiran seorang gadis belia bernama Clarisse. Ia  gemar mengajukan pertanyaan-pertanyaan remeh temeh namun terdengar aneh di telinga Montag. Seperti, Apa kau pernah membaca salah satu dari buku yang kau bakar?” 

BACA JUGA: REVIEW NOVEL ‘AROMA KARSA’: TENTANG OBSESI, AROMA, DAN MITOS

Jelas bagi Montag itu hal yang mustahil. Jika ia seorang petugas pemadam kebakaran yang bertugas membakar buku bukan memadamkan api yang menjalar, adalah tugasnya untuk memusnahkan benda tersebut. 

Pertanyaan itu terasa begitu konyol, ketika kamu hidup di sistem negara yang menghalalkan segala cara untuk mematikan pikiran dan perasaanmu, seraya menanamkan rasa benci terhadap bahan bacaan. Namun, pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantui Montag secara bertubi-tubi. Terutama ketika Clarisse bertanya, “Apa kau bahagia?”

Kehadiran Clarisse saya anggap sebagai perlawanan kecil yang tidak ingin patuh terhadap kungkungan rezim yang represif. Rezim yang mencemooh segala kenangan akan kehidupan sehari-hari yang tampaknya sederhana namun, memiliki kedalaman makna yang hanya bisa dirasakan nurani manusia bersama manusia lainnya. Ia membangkitkan alam bawah sadar Montag bahwa kehidupan yang selama ini ia jalani tidak lain adalah suatu kehampaan yang mulai menggerogotinya dari dalam. 

Pekerjaannya sebagai pemadam kebakaran melarang keras membaca buku yang berisi cerita, prosa, dan puisi yang bisa menyentuh sanubari manusia. Rezim yang otoriter memaksa kita untuk terus menerus menjadi robot berhati dingin dengan nalar yang mati. 

Tidak ada lagi cerita keseharian yang berarti, kesedihan yang sewajarnya kita rasakan sebagai manusia, perasaan duka akan kehilangan orang terkasih, rasa saling tolong menolong, dan keinginan untuk berbagai cerita, pengalaman, dan perasaan pada sesama. 

Sejak saat itu Montag memberontak. Ada harga yang harus ia bayar untuk itu semua. Harga yang menggerakkan hatinya untuk mencari jawaban mengapa ada manusia-manusia seperti perempuan terbakar itu, dan Clarisse yang tidak hentinya membicarakan sesuatu yang tidak biasa? Dan mengapa barang terlarang (baca: buku) itu mampu membuat batin kita terusik seraya berusaha menyelami relung hati manusia yang terdalam di tengah sistem negara yang begitu menindas? 

Kebencian terhadap buku dan paranoia yang dipelihara aparat pada masyarakat diekspresikan melalui berbagai cara. Mulai dari pelarangan, penyitaan, dan sensor buku, hingga cara langsung yang tidak bermartabat seperti, membakar buku, menghancurkan perpustakaan, menggerebek komunitas baca alternatif, hingga menghilangkan nyawa penulis beserta karyanya. 

Saya kira akan baik jika saya menuliskan salah satu kutipan favorit dari buku, “Penulis yang bagus sering menyentuh kehidupan. Penulis yang biasa-biasa saja hanya mengusapnya sekilas. Penulis yang buruk memerkosa kehidupan dan membiarkannya menjadi makanan lalat.” 

Apa yang kita rasakan, baca, dan alami seringkali memang sulit untuk didefinisikan dengan kata-kata. Namun, kita tahu bahwa dalam setiap kata demi kata, lembar demi lembar bacaan yang kita selami perlahan, perasaan kita hanyut akan sebuah cerita yang jauh dari tempat kita berada namun memiliki kedekatan humanis yang tidak bisa diungkapkan.  Apakah kamu juga pernah mendengar cerita tentang penghentian diskusi buku, aksi penyitaan, atau aktivitas membaca buku yang dianggap berbahaya oleh negara? (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Sekar Jatiningrum

Penulis lepas sekali yang suka mendengarkan musik sampai ketiduran.