
Dengarkan kisah memilukan namun penuh harapan dari mereka yang ada di Suriah melalui novel ini.
FROYONION.COM - As Long as the Lemon Trees Grow adalah novel debut Zoulfa Katouh, penulis berkebangsaan Kanada yang berdarah Suriah. Novel bergenre young adult ini dirilis pada 13 September 2022.
Inspirasi Zoulfa Katouh untuk menulis novel ini muncul ketika ia menyadari bahwa banyak yang tidak tahu tentang Revolusi Suriah dan betapa mengerikannya situasi di Suriah.
Sejujurnya, aku juga tidak begitu memerhatikan apa yang terjadi di Suriah sebelum baca novel ini, mungkin di antara kalian juga ada yang sama. Setelah baca dan tahu lebih banyak, hati rasanya sedih dan sakit membayangkan kehidupan di sana. Bagaimana kalau aku sendiri yang hidup dan mengalami apa yang orang-orang di sana alami? Kok bisa aku hidup tenang sementara hari-hari mereka dihantui dengan serangan tembakan dan bom?
Jadi, novel ini bercerita tentang hidup Salama Kassab, gadis Suriah 18 tahun yang merupakan mahasiswi farmasi, di tengah terjadinya Revolusi Suriah. Dia menjadi sukarelawan di sebuah rumah sakit di Kota Homs dan terpaksa berperan menjadi seorang apoteker, dokter, dan bahkan ahli bedah sebelum masa studinya berakhir.
Revolusi Suriah merupakan bentuk dari ketidakpuasan rakyat terhadap pemerintahan Bashar al-Assad, presiden Suriah yang merupakan penerus rezim Assad. Revolusi ini sudah berlangsung sejak 2011.
Revolusi Suriah tak lepas dari fenomena Arab Spring yang muncul pertama kali pada 2010 hingga menyebar ke Suriah pada 2011.
Apa itu fenomena Arab Spring? Jadi, Arab Spring adalah serangkaian aksi demonstrasi yang terjadi di negara-negara Timur Tengah dan Afrika Utara akibat rezim otoriter.
Ya, Salama dan tokoh-tokoh lainnya yang muncul di dalam novel ini adalah muslim. Mereka melaksanakan salat, membaca Al-Qur’an, mengenakan hijab, dan bahkan hubungan percintaan yang dijalin antara Salama dan Kenan dilakukan secara halal.
Tunggu, siapa itu Kenan? Kenan adalah seorang anak laki-laki bermata hijau berusia 19 tahun yang cinta mati dengan tanah airnya sehingga rela mengorbankan apa pun. Dan Kenan ternyata memiliki kesukaan yang sama dengan Salama, yaitu film Studio Ghibli.
Ini adalah hal baru bagiku, menemukan representasi muslim di sebuah novel yang karakternya benar-benar mempratikkan keyakinannya. Lewat novel ini, aku juga diingatkan lagi bahwa agama adalah sumber ketenangan di tengah semua rasa sakit.
Mimpi-mimpi Salama mungkin hancur karena situasi yang tak mendukung, tapi hatinya tetap menyimpan harapan. Sangat rapuh memang harapan itu sehingga terkadang ia dikuasai oleh rasa putus asa.
Setiap hari ia berangkat ke rumah sakit dan menangani pasien-pasien di sana. Dia hidup hanya untuk bertahan, lupa untuk berjuang menemukan kebahagiaan.
Salama juga punya seorang “teman” yang tiap hari hadir menemani ketika ia sendiri. Namanya Khawf. Khawf adalah sosok yang terbentuk dari imajinasi Salama akibat trauma dan PTSD yang diidapnya.
Khawf sendiri berasal dari kata dalam bahasa Arab yang artinya “ketakutan”. Jadi, tidak ada yang bisa melihat “ketakutan” ini selain Salama sendiri.
Salama susah payah mempertahankan api kecil harapannya agar tidak mati hingga akhirnya berbuah manis. Ia bersama Kenan berhasil melalui kegelapan itu semua.
Oh iya, berbicara soal lemon, apa hubungannya novel ini dengan lemon? Ternyata, buah ini ada maknanya tersendiri.
Dilansir dari Middle East Eye, Katouh menjelaskan bahwa lemon di novel ini adalah bentuk penghormatan untuk sebuah syair Nizar Qabbani—penyair asal Suriah—dalam puisinya tentang Suriah. Every lemon will bring forth a child, and the lemons will never die out, itu bunyi syairnya. Ia juga menambahkan bahwa tiap rumah di Homs menanam sebuah pohon lemon. Pohon lemon ini telah ada selama berabad-abad lamanya dan terus tumbuh melalui sejarah, melambangkan harapan dan perlawanan.
Di dalam novel, Salama berjanji kepada kakaknya, Hamza. Hamza berpesan agar ia menjaga ibu mereka dan Layla—istri dari kakaknya sekaligus sahabatnya—apabila kemungkinan buruk terjadi kepada Hamza dan ayah mereka yang ikut dalam sebuah unjuk rasa. Nahas, Hamza dan ayah mereka ditangkap oleh pemerintah; ibu mereka pun akhirnya meninggal karena serangan bom. Pilihan terakhir Salama adalah membawa pergi Layla ke Jerman demi kehidupan yang lebih baik.
Hati Salama terus bergejolak. Ia merasah bersalah atas pilihannya untuk meninggalkan Suriah, tapi ia juga tidak bisa mempertaruhkan keselamatan Layla dan calon keponakannya dengan tetap tinggal di tanah airnya.
Dari pergolakan hati Salama tersebut, pembaca novel ini diajarkan untuk selalu mengedepankan empati dan tidak menghakimi pilihan hidup orang lain. Kita tidak benar-benar tahu apa yang mereka hadapi dengan hanya melihat dari luar saja.
As Long as the Lemon Trees Grow ini benar-benar novel eye-opening dan kalian wajib baca! Walaupun ada beberapa adegan Salama dan Kenan yang agak menye-menye remaja, hal tersebut masih bisa aku terima dan tidak terlalu mengganggu. Wajar juga, sih, karena ini novel young adult.
Namun, novel ini bukan bacaan yang ringan. Jadi, aku tidak akan merekomendasikan kalian buat baca kalau situasi hati sedang tidak pas.
Secara keseluruhan, great job kepada penulis karena telah menceritakan kisah dari Suriah kepada dunia. Seperti yang dituliskannya dalam review Katouh di Goodreads: Salama, Layla, Kenan, dan karakter lainnya memang fiktif, tapi mereka hidup di dalam setiap orang Suriah di luar sana. Cerita mereka benar-benar terjadi, dan masih terjadi sekarang.
Oh iya, versi terjemahan bahasa Indonesia As Long as the Lemon Trees Grow juga telah diterbitkan oleh Penerbit Mizan Pustaka. (*/)