Lifestyle

EMPATI DI ANTARA ANAK MUDA INDONESIA: MASIH ADA?

Dari insiden seorang menteri memaksa penyandang tuna rungu berbicara, kita sebagai anak muda jangan cuma mengkritik aja. Ini kesempatan kita berefleksi juga: sudahkah kita punya empati bagi mereka yang berbeda dari kita?

title

FROYONION.COM - Pada hari Rabu (1/12) lalu, Menteri Sosial Tri Rismaharini, menuai banyak kontroversi melalui sikapnya pada acara peringatan Hari Disabilitas Internasional di Kantor Kementerian Sosial. 

Lo pasti udah nggak asing lagi sama beritanya. Yang mana menunjukkan cuplikan video Bu Risma yang ‘memaksa’ seorang tuli untuk berbicara. 

Awalnya Bu Risma menanyakan nama dan memintanya untuk langsung menyebutkan nama tanpa alat bantu pendengaran dan tidak menggunakan bahasa isyarat.

Adit sebagai seorang tuli yang diminta untuk berbicara tersebut tetap mencoba untuk melakukan permintaan Bu Risma. Ia juga sempat diminta untuk ngomong, “Adit mau melestarikan alam,” sambil didikte oleh Bu Risma. 

Emang sih pada akhirnya kita bisa lihat kalau Adit berhasil untuk berbicara. Tapi, sikap Bu Risma yang ‘memaksa’ Adit untuk berkomunikasi secara verbal juga menuai kritik. Setelah momen itu berlangsung, Stefanus sebagai perwakilan dari Gerakan untuk Kesejahteraan Tuna Rungu Indonesia (Gerkatin) bilang bahwa anak yang tuli nggak seharusnya dipaksa untuk berbicara. Makanya pakai bahasa isyarat terasa lebih nyaman untuk berkomunikasi. 

Kemudian Bu Risma menanggapi pendapat Stefanus dengan niat untuk meluruskan. Bahwa sebenernya, Bu Risma nggak bermaksud untuk melarang penggunaan bahasa isyarat. Tapi alangkah baiknya kalau anak tuli juga dilatih kemampuan bicaranya karena Tuhan udah memberikan mata, mulut, dan telinga.

Pernyataan Bu Risma ini kemudian ditanggapi lagi oleh Stefanus. Ia menjelaskan bahwa kemampuan masing-masing anak tuli itu berbeda-beda. Ada yang tuli sejak lahir dan lebih nyaman menggunakan bahasa isyarat. Ada juga orang tuli yang nggak mengerti bahasa isyarat. Jadi ia berharap Bu Risma bisa menghargai perbedaan tersebut.

Yang kemudian kembali dijawab oleh Bu Risma kalau ia setuju dengan pernyataan Stefanus. Tapi masih keukeuh bilang kalau bisa dilatih berbicara maka sebaiknya dilatih. 

Jangankan Stefanus, para netizen juga ikutan geram sama aksi Bu Risma kali ini. Banyak yang heran sama sikap Bu Risma yang terlihat nggak menghargai orang tuli dengan memaksa untuk berbicara. Ada juga yang nggak habis pikir dan mencoba menelaah alasan kenapa Bu Risma kayak gitu.

Tapi gue jadi bertanya, di mana empati Bu Risma saat minta orang tuli berbicara tanpa alat bantu dengar dan tidak menggunakan bahasa isyarat?

Dan kemudian merambat kepada pertanyaan yang lebih general. Apakah empati masih ada di hati kita, masyarakat Indonesia? Karena pejabat-pejabat itu kan juga cerminan rakyat yang memilih.

EMPATI

Sebagai anak muda, kita juga patut berkaca dari insiden ini. Apakah kita juga udah nunjukin empati pada mereka yang ada di sekitar kita?

Sebuah penelitian dari University of Michigan yang hasilnya dipublikasikan tahun 2010 menyimpulkan bahwa para mahasiswa zaman sekarang itu makin turun tingkat empatinya.

Sebagai pembanding, tingkat empati mahasiswa setelah tahun 2000 dibandingkan dengan era 1980-an dan 1990-an. 

Penurunan tingkat empati mahasiswa ini tercatat yang paling tajam pasca tahun 2000. 

Peneliti memperkirakan tingkat empati mahasiswa saat itu sudah lebih rendah 40% dari mahasiswa 20 atau 30 tahun lalu.Hal ini diketahui dari tes standar untuk meneliti kepribadian para mahasiswa.

Anak-anak mahasiswa zaman now ini makin sedikit yang sepakat dengan pernyataan “Saya kadang berusaha memahami teman-teman saya lebih baik dengan membayangkan bagaimana keadaan terasa dari dari sudut pandang mereka”.

Para mahasiswa sekarang juga merasa lebih jarang jatuh iba dan cemas jika melihat ada orang yang kurang beruntung.

GENERASI AKU

Di sini kita bisa melihat sebuah fenomena sosial muncul. Sara Konrath, peneliti dari U-M Institute for Social Research menamainya “Generasi Aku”. Artinya inilah era saat generasi muda merasa dirinya patut menjadi pusat perhatian, narsisistik, kompetitif, percaya diri dan individualistik.

Dan sayangnya saat kebutuhan untuk diperhatikan itu naik, turun juga penghargaan atas eksistensi orang lain. Ini yang jadi masalah kita bersama.

Kenapa ya ini bisa terjadi? Mungkin lu penasaran.

Ini ada kaitannya sama paparan yang dialami anak muda terhadap media modern. Dibanding 30 tahun lalu, anak-anak muda 3 kali lipat lebih banyak terpapar pada informasi yang tak berkaitan dengan pekerjaan mereka. 

Konten media yang mereka konsumsi berupa artikel berita, video games, dan sekarang video-video pendek di Instagram dan TikTok berkontribusi pada semua ini.

Paparan pada media sosial dan media daring ternyata mengikis rasa empati anak muda pada penderitaan orang lain.

Ini memang penelitian yang dilakukan di AS tapi kalau dilihat kondisi anak muda di Indonesia rasanya juga kondisinya sebelas dua belas lah ya.

Anak-anak muda sekarang juga dihadapkan pada dunia yang hiperkompetitif (tingkat kompetisinya semakin gila) dan mereka juga dibebani dengan lebih banyak ekspektasi kesuksesan. Mereka dibesarkan dengan menonton reality shows yang memamerkan kekayaan dan gaya hidup mewah. Dan yang menyedihkan mereka tak mendapat lingkungan sosial yang suportif saat mereka ingin berkeluh kesah. Ini makin membuat mereka tak paham pentingnya kemampuan mendengar dan berempati.

Tak heran anak-anak muda cenderung menghabiskan energi mereka cuma untuk memikirkan kepentingan mereka sendiri dan masalah mereka saja hingga tak ada waktu dan energi lagi untuk sekadar berempati dengan penderitaan manusia lain di sekeliling mereka. 

Nah dari sini, kita bisa lihat diri kita sendiri nih, Civs. Apakah bener kita kalo dihadapin pada situasi kayak bu Risma bakal ngelakuin hal yang lebih pada pada si penyandang tunarungu itu atau kita juga sama nggak pekanya? (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Akhlis

Editor in-chief website yang lagi lo baca