War takjil jadi bentuk dari hubungan antarumat beragama yang sehat. Hal tersebut menjadi hiburan di media sosial sekaligus refleksi atas hubungan antarumat beragama yang harmonis.
FROYONION.COM - Ada hal unik yang terjadi mewarnai momen Bulan Suci Ramadhan 2024 ini. Di berbagai platform media sosial seperti Instagram ataupun TikTok, kita akan bisa melihat tren baru yang menggambarkan kerukunan umat beragama di Tanah Air dibalut komedi yang ternyata relate dengan banyak orang.
Ya, kalian pasti paling tidak melihat satu hingga dua unggahan yang berkaitan dengan topik perburuan takjil Ramadhan oleh masyarakat nonis (baca: non muslim). Tren ini berawal dari sebuah unggahan video yang menceritakan tentang semangat masyarakat nonis berburu takjil sejak mulai pukul 15.00. Lucunya cerita-cerita ini mengambil perspektif dari umat Islam yang seringkali mungkin kehabisan takjil mereka karena kalah dalam perburuan itu.
Gimana nggak, mereka yang nonis mulai mencari takjil sejak pukul 15.00, di mana jam tersebut merupakan waktu kritis buat umat Islam yang sedang berpuasa. Kala menahan lapar, nonis sudah mendapat takjil favorit mereka.
Pengalaman unik ini kemudian dibagikan ke media sosial dan menjadi tren komedi baru. Banyak video berseliweran bahkan memperlihatkan perspektif lain yang menggambarkan hal tersebut. Mulai dari guyonan netizen soal penjual takjil harus memberi soal terlebih dahulu soal Rukun Islam sebelum menjual makanannya, hingga 'war' yang akan terus berlanjut di hari-hari besar keagamaan mereka yang non Islam. Seperti saat Paskah, umat Muslim berencana untuk memborong habis telur sehingga umat Kristen akan kehabisan telur-telur untuk merayakan paskah.
Berbagai komedi yang berseliweran di medsos ini pun diriuhkan dengan sangat sejuk. Netizen yang saling bercanda di kolom komentar setiap postingan teduh dan tidak membawanya terlalu serius. Banyak tokoh-tokoh agama yang juga melihat tren ini sebagai sesuatu hal yang unik dan tidak perlu diperdebatkan.
Lantas, sebenarnya kenapa relasi antar umat beragama ini bisa tumbuh subur berkat humor dan guyon yang relevan?
Jauh sebelum agama dianut oleh banyak orang saat ini, ritual spiritual yang berkembang di tengah manusia pada zaman sebelum masehi dianggap sangat sakral. Perspektif ini yang kemudian menjadikan kehidupan spiritual itu sangat eksklusif.
Mengutip encyclopedia.com, para filsuf dan pemikir keagamaan awal seperti Plato, Aristoteles, hingga Cicero menyebutkan jika pada masa-masa itu sangat mengaitkan humor sebagai suatu ejekan dan olok-olok terhadap sesuatu atau orang lain. Makanya, kala itu kehidupan spiritual manusia tidak dapat menggabungkan aspek tawa dan humor ke dalamnya begitu saja.
Bahkan, beberapa bentuk humor dianggap tak pantas hingga menyesatkan. Mereka melihat hal tersebut sebagai sesuatu yang tidak bermoral, mengganggu ketertiban sosial dan tidak sesuai. Nah, situasi saat itu tentu sangat berbeda 180 derajat dengan sekarang yang melihat humor tersebut sebagai medium dan cara baru untuk menjadi relevan.
Nggak jarang dalam perkembangannya, humor dianggap sebagai alat pengajaran yang efektif untuk membangkitkan kesadaran religius. Kenapa demikian? humor secara garis besar dianggap memiliki peran penting untuk mencairkan suasana. Seringkali situasi ini memang yang ditemukan dalam situasi pengajaran hari-hari yang dihadapi manusia.
Kita pasti tahu dalam beberapa ajaran, khususnya di Asia, humor menjadi sesuatu yang wajar dan selalu dijadikan alat ampuh pengajaran Agama.
Salah satu sosok fenomenal yang terkenal kerap berhumor dalam setiap ceramahnya ialah Abdurrahman Wahid a.k.a Gus Dur. Ya, dia adalah Presiden ke-4 RI yang juga dikenal sebagai seorang pengajar agama dan merupakan anak dari pendiri salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU).
Sikapnya yang luwes dan kerap menyelipkan candaan membuatnya begitu dicintai masyarakat dan umat. Salah satu anekdot humor yang terkenal tentang agama ialah soal siapa yang paling dekat dengan Tuhan. Dalam kutipan ini, Gus Dur mengajarkan umatnya tentang nilai moral yang kala itu kerap sering diperdebatkan.
Pesannya simpel, di antara tokoh agama Islam, Kristen, dan Buddha, Gus Dur melontarkan pertanyaan. Siapakah di antara mereka yang paling dekat dengan Tuhan?
Lantas masing-masing pemuka agama mengemukakan pendapatnya.
Biksu menyebutkan jika agama Buddha yang paling dekat dengan Tuhan karena setiap beribadah dia memanggil Tuhan dengan ucapan 'Om'. Di sini, Gus Dur melontarkan candaan yang bukan dari Agamanya namun bisa diterima dengan mudah. Karena dia merujuk pada kedekatan antara paman dan keponakan untuk menjelaskan premis awalnya tersebut.
Setelah itu, Gus Dur menyebutkan jika pendeta dari agama Kristen menolak ucapan sang Biksu.
Katanya, di Agama Kristen menyebut Tuhan itu sebagai 'Bapa'. Artinya hubungan kedekatannya lebih dibandingkan keponakan dan paman. Atas argumen tersebut, Gus Dur hanya bisa tertawa terbahak-bahak. Sontak menimbulkan pertanyaan di antara para pemuka agama dan menanyakan kenapa Gus Dur tertawa.
Mereka menilai jika Gus Dur menganggap agamanya yang paling dekat dengan Tuhan. Ekspektasi itu kemudian dipatahkan Gus Dur dan menyebutkan jika dia yang paling jauh dengan Tuhan. Alasannya? Setiap ibadah memanggil Tuhan harus memakai Toa.
Bak bit punchline, statement Gus Dur itu kemudian menjadi fenomenal sebagai bentuk humor di kalangan agama. Hal tersebut tentu menjadi sebuah refleksi tersendiri dalam relasi beragama kita hingga saat ini.
Masih banyak tokoh-tokoh lain yang sebenarnya menjadikan humor sebagai bagian dari metode pengajarannya yang efektif. Sama seperti tren yang berkembang sekarang ini, Agama dan Humor menjadi sesuatu yang sulit terpisahkan dan seringkali berjalan beriringan.
Untuk mendapat hasil yang efektif, tentu penyajian humor itu tetap harus terkontrol dan ada batasnya. Tidak ada candaan yang menyinggung pihak lain serta berlebihan menyentuh ranah-ranah private yang seharusnya tak dilontarkan. Selama bisa menjadi senjata ampuh untuk berkontribusi pada kerukunan antarumat beragama, kenapa humor ini tidak terus dipelihara dan menjadikan kita sebagai umat yang tidak terlalu fanatik menanggapi sesuatu. (*/)