Tech

DISRUPSI ARTIFICIAL INTELLIGENCE DI INDUSTRI MUSIK, APA MANFAATNYA BAGI MUSISI?

Setelah kemunculan AI ChatGPT yang sempat bikin heboh beberapa waktu lalu, sekarang, disrupsi AI pun mulai merambah industri musik. Bagaimana masyarakat harus menyikapinya?

title

FROYONION.COM - Pemanfaatan Artificial Intelligence (AI) untuk kebaikan manusia tampaknya udah memasuki fase yang bukan lagi ‘tabu’ nih, Civs. 

Setelah kehebohan yang sempat terjadi akibat kemunculan ChatGPT–chatbot dengan basis bahasa yang luas–yang diklaim bisa menghancurkan profesi penulis, sekarang kita juga dihadapkan dengan AI yang mampu menciptakan music sheet sendiri, bahkan memproduksi sheet itu menjadi nada dan musik yang bisa lo dengarkan dan nikmati.

Sebenarnya, dalam beberapa tahun ke belakang, penggunaan AI di industri musik memang bukanlah hal yang baru dan dirasa ‘mengganggu’, tapi malah sebaliknya.

Beberapa aplikasi atau AI bisa membantu musisi untuk memproduksi dan mastering lagunya mereka sendiri. Terus, plugin bernama Magenta yang diciptakan Google Labs yang tersedia dalam aplikasi Ableton Live (aplikasi audio workstation) pun bisa terbilang sebagai AI, karena plugin ini bisa membantu musisi untuk men-generate melodi, ritme, dan bahkan bassline (nggak ada lagi alasan buntu ide).

AI semacam Magenta ini yang memang dirasa masih berada di grey area dalam beberapa aspek, Civs. Teknologinya bisa menganalisa pola nada dan tren yang mungkin aja sulit untuk dimengerti musisi apalagi masyarakat awam, lalu menggunakan informasi yang diperolehnya untuk membuat musik yang baru. Kemudian musik / nada yang diciptakan bisa dipakai dalam musik yang ingin lo ciptakan.

Permasalahan yang paling kentara dari AI ini pastilah perihal copyright dan ownership, Civs.

Isu ini memang jadi hal yang paling pelik untuk diurai dalam kasus AI yang bisa menciptakan karya seni tertentu. Apakah kepemilikan musik ciptaan AI secara nggak langsung berada di tangan programmer-nya? Atau malah musisi / user yang menggunakan bantuan AI itu sendiri yang berhak mendapatkan ownership-nya?

Dilansir dari Forbes, pada Oktober 2022 kemarin, dua senat di Amerika Serikat meminta pemerintah untuk segera merancang peraturan perundang-undangan terkait AI Commision

Mereka meminta pemerintah untuk memikirkan ulang peraturan intellectual property yang lebih sesuai semenjak maraknya karya-karya ciptaan AI di pasaran. Artinya, negara seperti Amerika Serikat pun udah mulai mengambil ancang-ancang atas potensi masalah yang bisa terjadi akibat AI ini sendiri.

Masalah royalti dan atribusi musik ciptaan AI ini memang belum ada titik terangnya, Civs. Tapi, beberapa platform AI yang menciptakan musik kayak Soundraw udah menjelaskan perihal copyright ownership dalam situs mereka.

Di Soundraw, musik yang diciptakan berkat permintaan user ini copyright-nya sepenuhnya dimiliki oleh Soundraw, dan bukan si pengguna / musisi yang memakai jasa mereka. Pengguna / musisi ini cuma memiliki copyright terhadap part-part yang mereka modifikasi aja, misalnya di bagian tambahan vokal atau instrumen musik lain yang memang diproduksi manual oleh si musisi ini tadi.

Tetapi, user tetap bisa memonetisasi video / karya yang diciptakan Soundraw. Pihak platform nggak akan meminta share revenue atau mempermasalahkan copyright atas video / karya yang udah dimodifikasi dan dibuat si user.

Case-nya kurang lebih mirip-mirip sama yang marak terjadi di dunia NFT, di mana hak cipta dari sebuah karya masih dimiliki oleh sang seniman, terlepas dari karyanya yang udah dipindahtangankan berapa kali pun oleh pembeli pertama.

Lalu, di luar beragam masalah copyright, sebenarnya, sebagai musisi / masyarakat umum, manfaat seperti apa sih yang bisa kita dapat dari AI ini sendiri?

Seperti ChatGPT yang bisa lo manfaatkan untuk membantu seputar penulisan, AI yang ada di dunia musik ini pun bisa diperlakukan sebagai sumber ide yang kaya akan referensi-referensi yang mungkin belum pernah lo dapatkan dan pikirkan sebelumnya.

Misalnya seperti Soundraw yang telah dijelaskan di atas. Musisi / masyarakat awam pun bisa mendapatkan melodi, ritme, atau kesatuan musik yang baru, yang sebelumnya nggak pernah ada di pasaran.

Bagi YouTuber / content creator misalnya. Rasa sulit dalam mencari background music (BGM) yang cocok bagi video seakan jadi masalah yang hampir selalu terjadi.

Meskipun nggak gratis, tapi dengan bantuan AI ini, YouTuber dan para content creator bisa mendapatkan background music yang lebih fresh dan nggak monoton. Karena terkadang, non-copyright music yang lo dapatkan dari YouTube terasa udah pasaran dan sering dipakai oleh banyak kreator lainnya, membuat audience jadi merasa bosan kalo mendengar BGM yang sama melulu.

Untuk musisi professional pun sama, Civs, mereka bisa memanfaatkan AI untuk membantu menciptakan melodi-melodi ataupun ritme musik yang nggak terdengar monoton dan mainstream.

Selain membantu memberikan segudang referensi tambahan, musik ciptaan AI pun bisa membantu lo menghemat waktu berjam-jam di depan komputer ketika memproduksi musik secara digital.

Intinya, potensi dan manfaat yang tercipta akibat bantuan AI ini nyaris limitless. Sisanya adalah perihal benturan moral sebagai seniman ‘asli’ serta permasalahan ownership dan copyright tadi, Civs.

Di era seperti sekarang, musisi dituntut untuk jadi semakin dinamis dan bergerak mengikuti tren, dan AI dirasa dapat jadi jembatan menuju tren seni di masa depan.

Dan untuk musisi yang malah merasa takut tersaingi akibat AI, kalian tenang aja.

Oleg Stavitsky, CEO dari Endelplatform yang mirip dengan Soundraw pernah bilang, bahwa perjalanan AI untuk menciptakan musik hits yang bisa mengalahkan musik karya manusia itu masih panjang.

Dikutip dari TIME, contoh musik ciptaan AI bisa lo dengarkan lewat lagu bertajuk “Daddy’s Car” dengan gaya bermusik ala The Beatles dan sedikit ‘bumbu-bumbu’ ala Tame Impala.

Lagu ini diciptakan oleh komposer bernama Benoit Carre dan Francois Pachet yang berkolaborasi dengan Flow Machine, sebuah sistem AI yang bisa mempelajari beragam gaya musik dan mengkombinasikannya jadi satu kesatuan yang unik.

Meskipun terdengar cukup keren dan enjoyable, tapi lagu itu dirasa belum cukup kredibel untuk menjadi sebuah hits dan dinikmati banyak orang. Beberapa aspek dalam lagu itu masih terasa janggal dan kurang pas di telinga. Mungkin, lagu ini diciptakan just for the sake of experiment dan membuktikan fungsionalitas AI dalam memproduksi lagu itu sendiri, belum sampai di level karya yang pantas disebut masterpiece.

Dan kembali lagi, dengan semakin banyaknya karya yang diciptakan AI ke depannya, urusan legalitas dan copyright bakal jadi isu yang jadi panas, dan ini nggak dapat terelakkan.

Tapi, selagi pemerintah belum mengalihkan pandangan ke AI, dan merumuskan peraturan hukum yang lebih tepat dalam mengatur karya ciptaan AI, rasanya para musisi berhak untuk menggali kreativitas sedalam-dalamnya, dan memanfaatkan AI itu demi kemajuan musik mereka sebaik-baiknya. (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Garry

Content writer Froyonion, suka belajar hal-hal baru, gaming, dunia kreatif lah pokoknya.