Esensi

‘TOXIC PARENTS’: GAK PERLU BURU-BURU MELABELI 'RACUN' KEPADA ORANG TUA!

Selama orang tua lu masih menjadi support system bagi kehidupan lu, masih bertanya seputar apakah akhir bulan lu menyenangkan. Sesungguhnya lu gak perlu terburu-buru melabeli mereka sebagai toxic parents ketika adanya suatu perbedaan.

title

FROYONION.COM - Bisa dibilang, gue termasuk anak yang cukup sering berdebat dengan orang tua sendiri, apalagi Ibu. Mulai dari persoalan ideologis, religius, hingga hal-hal yang receh sekalipun. Meskipun begitu, peredebatan kami berhenti seiring dengan habisnya topik. Mungkin itu salah satu cara kami menghabiskan waktu bersama dan mendekatkan diri, jiaelah.

Hal yang serupa tentu juga dialami oleh banyak orang, termasuk kalian Civs. Hubungan antara anak dan orang tua pasti selalu dibumbui dengan konflik dan drama, kadang berakhir kedalam suasana marah, ngambekan, atau nangis di pojokan, dan itu sudah merupakan hal yang lumrah.

Dan sebagai konselor abal-abal plus dadakan, gue sering banget denger curhatan temen-temen tentang orang tuanya masing-masing. Ada yang ngerasa kurang beruntung gak punya ortu yang peka, kurang peduli karena sibuk kerja dan bahkan ada yang melabeli ortunya sebagai toxic.

Namun gua menilai fenomena-fenomena itu sebetulnya wajar, Civs. Bukan berarti lu harus terburu-buru menganggapnya sebagai suatu kegagalan pola asuh dalam keluarga. Karena gimanapun juga, seharmonis apapun dalam sebuah keluarga, pasti ada aja orang mengalami hal-hal yang serupa.

Bahkan temen gue, yang memang sering curhat perihal keluarga. Sering banget cekcok dengan orang tuanya. Doi menilai ortunya sebagai dua sosok yang anti banget ama politik, padahal temen gue sendiri ngambil jurusan politik. Ketika doi nge-share artikel tentang politik di grup keluarga ataupun mengomentari masalah politik dalam sebuah berita, doi harus siap-siap mental berdebat keras dengan rasa yang gak nyaman.

Ada pula temen gue yang segala situasi dan kondisinya selalu berseberangan dengan ibunya. Sang ibu penganut paham khilafah, apa-apa harus dilakukan dengan hukum Islam. Sementara temen gue tetep enjoy dengan demokrasi. Bisa lu bayangin sendiri, bagaimana perdebatan yang bakal terjadi.

Agaknya perbedaan pemahaman dan topik perdebatan diantara mereka mirip banjir di Jakarta: nggak ada habisnya. Dan saat temen gue mulai memberanikan diri menyampaikan pendapat, namun di sela waktu yang tidak tepat, bisa-bisa jatah uang saku bulanan doi menjadi korban. Terbukti, doi suka ngutang ke gue, hehe.

HARUS INTROSPEKSI DIRI SEBELUM MENILAI ORANG TUA TOXIC

Sekali lagi gua tekankan, civs. Berbagai perbedaan pendapat maupun pola pikir yang bersebrangan gak bisa lu jadiin sebagai alasan atas gagalnya pola asuh dalam sebuah keluarga. Hal-hal yang demikian sudah menjadi fenomena yang sangat umum, akan selalu ada fase dimana orang tua juga bakal kelelahan dengan sikap dan tabiat anaknya. 

Lalu orang tua merasa "gak beruntung" karena sikap si anak jauh dari harapannya. Dan ketika hal tersebut terjadi, lu harusnya mengintropeksi diri sendiri terlebih dahulu, sebelum memberikan emblem-emblem toxic yang hanya memperkeruh keadaan.

Tanyain ke diri lu sendiri, udah berapa kali rasanya pernah mengecewakan mereka, apa aja yang udah lu perbuat untuk mereka, seberapa banyak keselahan yang pernah lu lakuin, hingga apa aja beban yang lu bawa untuk mereka, semua itu harus lu tanyakan ke diri sendiri. Karena semakin dewasa, lu harus dituntut untuk semakin tidak mengecewakan.

Kadang secinta-cintanya orang tua, mereka bakal akan tetap berpotensi memberikan dampak negatif pada anaknya. Mungkin kasih sayang mereka terbungkus dalam bentuk rasa marah, suka ngomel, atau terkesan cuek. Apapun itu, mereka juga memiiki cara untuk memberikan kasih sayang, hanya saja cara yang mereka gunakan berbeda dengan cara yang lu harapkan.

SEBAGAI SEORANG ANAK, PERLU MEMIKIRKAN POSISI ORANG TUA

Kalau menurut artikel yang pernah diterbitkan oleh Psychology Today, orang tua dengan label "toxic" sebenarnya bisa dikenali dari bagaimana mereka tiba-tiba merasa terancam karena kemandirian anak-anaknya ketika dewasa. 

Seperti rasa ingin mengontrol si anak, ingin membuatnya tetap berada di jalur yang benar dan sesuai harapan. Dan tentu, itu bukan menjadi masalah yang besar, jika kita memikirkan posisi selayaknya orang tua juga.

Selama orang tua lu tidak pernah berniat menyakiti, menyingkirkan, atau bahkan membuang lu. Meski sebesar apapun perbedaannya, jangan terlalu buru-buru menyebut mereka sebagai toxic parents.

Dan sebagai anak pun, juga kudu memikirkan bagaimana posisi orang tua ketika pikiran dan pemahaman mereka tidak semutakhir dan seterbuka pemikiran kita. Coba amati dulu, apakah orang tua lu udah memiliki akses pengetahuan yang sama dengan lu? 

Kalo lu merasa orang tua memiliki paham misoginis (rasa tidak suka terhadap wanita secara ekstrem) misalnya. Bisa jadi mereka cuman salah pemahaman karena terjebak di lingkungan yang gak tepat atau mereka punya pengalaman sendiri sehingga gak punya pilihan lain selain meyakini hal itu. 

Toh, lu juga gak bisa memaksa mereka untuk sealiran dan sepemikiran, disaat mereka juga gak punya kuasa untuk menjadikan lu sebagai harapan mereka. Emang, problem antara anak dan orang tua itu kompleks banget dibanding problem manapun. Relasi keluarga bakal berpotensi ngebikin lu down, jika terus menerus berekspektasi tinggi.

Gapapa sedikit nurunin standar ekspektasi lu dan mencoba berdamai dengan perbedaan-perbedaan yang dimiliki orang tua lu. Ini bukan perihal lu harus mengalah dan menunjukkan balas budi sebagai anak. Melainkan perihal menjaga keluarga agar tetap menjadi harmonis dan hangat. 

So, selagi mereka masih menanyakan keadaan lu, apakah hari-hari lu menyenangkan. Sungguh, lu gak pantes memberikan emblem toxic kepada mereka. (*/)

BACA JUGA: TOXIC RELATIONSHIP: HANTU YANG BISA MENGHANTUI SIAPAPUN DAN TAK KENAL USIA

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Bayu Dewantara

Mahasiswa UI(n) Jakarta, Content Writer, Civillion, Penulis buku antologi "Jangan Bandingkan Diriku" dan "Kumpulan Esai Tafsir Progresif"