In Depth

LO HARUS TAU PANDANGAN KELIRU SOAL BUDAYA KERJA

Sering melihat teman-teman kita yang masih kerja hingga larut malam atau bahkan saat weekend? Coba ingatkan mereka, bisa jadi mereka keliru soal budaya kerja.

title

FROYONION.COM — Kerja, kerja, dan kerja. Fenomena yang sering terjadi di kalangan anak muda. Biasanya lulusan baru yang masih sangat bersemangat dan mengorbankan waktu 24 jam memikirkan pekerjaan.

Keliru soal budaya kerja lama-lama menjadi hal biasa dan dimaklumi di masyarakat. Tanpa disadari ternyata kita juga menerapkan budaya negatif ini di kehidupan sehari-hari loh Civs.

Kita mungkin sedang terjebak situasi toxic dalam dunia kerja. Semacam gaya hidup dimana seseorang merasa dirinya harus terus bekerja keras dan mengorbankan waktu istirahat. Dengan begitu, ia beranggapan dirinya sukses. Tau kan kalo ini disebut hustle culture?

Dikutip dari laman Kementerian Ketenagakerjaan, hustle culture adalah standar di masyarakat yang menganggap bahwa hanya bisa mencapai sukses kalau benar-benar mendedikasikan hidup untuk pekerjaan dan bekerja sekeras-kerasnya. Dan mereka sadar menempatkan pekerjaan di atas segalanya.

Hustle culture sangat mungkin mendorong seseorang menjadi pekerja palugada alias apa lo mau gua ada. Mereka akan rela mengambil pekerjaan lebih banyak hingga lebih sering lembur. Dalam pemikirannya, hal ini perlu dilakukan untuk meraih kesuksesan atau financial freedom.

KERJA BERLEBIHAN NGGAK SELALU MEMBUAHKAN HASIL BAIK

Sebuah riset dilakukan Sarah Carmichael, artikelnya pun dimuat di Harvard Business Review. Dia bilang kerja lembur tidak selalu membuahkan hasil lebih baik dan banyak. Bisa saja seorang karyawan menghabiskan lebih banyak waktu di kantor tetapi hasil kerjanya sama saja atau bahkan lebih buruk dibanding karyawan lain yang kelihatan bekerja dengan durasi pendek.

Keliru soal budaya kerja ditandai dengan durasi panjang yang menjadi standar pekerja saat ini. Belum lagi era digital yang membuat mereka terfasilitasi dengan baik. Kondisi ini makin parah ketika pandemi berjalan beriringan dengan kehidupan. Maka sistem work from home (WFH) mulai diterapkan.

Memang betul, karyawan jadi punya lebih banyak waktu di rumah. Tetapi efek buruknya, jumlah jam kerja mereka kian panjang seiring notifikasi e-mail dan chat dari klien atau orang kantor yang tidak kenal waktu.

ENGGAK BERARTI KERJA DENGAN DURASI PENDEK ITU MALAS

Di samping itu, kebiasaan bekerja dengan jam kerja panjang, baik WFH atau di kantor, tidak lepas dari paparan pandangan keliru yang diterima mayoritas masyarakat soal kerja keras. Banyak orang yang masih berpikir bahwa sumber dari kemiskinan adalah malas bekerja.

Kondisi ini pada akhirnya mendorong orang untuk lebih banyak mengambil pekerjaan atau menambah waktu kerja. Padahal masalah kemiskinan tidak semata karena kurang upaya.

Contohnya ada di kehidupan kita, banyak pertanyaan dilontarkan teman atau bahkan tetangga dekat rumah “Kok lo ngga kerja?” kata mereka yang menyaksikan kita berleha-leha atau sedang melakukan aktivitas selain berangkat ke kantor atau buka laptop.

Banyak orang percaya jika orang terlihat mondar-mandir dengan kesibukan artinya ia bekerja keras. Padangan itu yang kini dipercaya orang-orang sehingga membuat kita bekerja dengan durasi panjang.

Padahal penting jika bisa menerapkan “Work smart, not work hard

Tetapi sistem kerja pendek juga tidak bisa diterapkan di berbagai jenis pekerjaan. Malah jadi semacam utopia. Seperti mereka yang bertugas sebagai tenaga kesehatan. Mereka yang bekerja di unit gawat darurat tidak bisa menawar untuk punya jam kerja pendek.

KEUNTUNGAN KERJA DENGAN DURASI PENDEK

1.    Meningkatkan produktivitas

Meskipun tidak semua orang setuju bahwa ada manfaat dari bekerja dengan durasi pendek, Ohio University merilis infografik yang menyatakan bekerja 6 jam sehari, bisa meningkatkan produktivitas karyawan dan mengurangi potensi absensi mereka. Infografik itu mencatat, bahwa karyawan cenderung lebih sehat dan produktif.

Penelitian ini dilakukan di Swedia, dan berlangsung kurang lebih satu tahun. Penelitian ini melibatkan sekelompok perawat yang bekerja selama 6 jam dengan gaji 8 jam. Hasilnya terbukti benar, jumlah jam meningkatkan produktivitas.

2.    Menurunnya tingkat stres

Penelitian itu juga menyatakan bahwa kesejahteraan pekerja menjadi lebih baik. Mereka merasa lingkungan kerja menjadi lebih sehat. Termasuk menurunnya tingkat stres yang kerap mereka alami. Kondisi tersebut menujukkan adanya perbaikan seorang perawat dalam menangani sejumlah pasien.

Hal ini tentu bisa diterapkan di pekerjaan kita bukan? Tapi memang ini bukan hal yang mudah.

3.    Lebih banyak waktu untuk upgrade diri

Nah ini yang paling penting Civs. Ada banyak persaingan di tempat kerja hari ini. Bekerja dengan jam kerja sedikit memungkinkan pekerja bisa upgrade diri menjadi lebih terlatih.

Manfaatnya juga tidak hanya untuk pribadi, tetapi juga untuk perusahaan. Perusahaan mendapat manfaat dan juga pengetahuan dari pekerja yang semakin hari makin telatih.

Bekerja secukupnya aja ya Civs! Jangan sampai lo keliru soal budaya kerja. Selain bahaya bagi kesehatan fisik, bahaya juga buat kesehatan mental lo. (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Abdurrahman Rabbani

Cuma buruh tinta yang banyak cita-cita.