Creative

KOMUNITAS TARING BABI MELAWAN KERAKUSAN DENGAN KREATIVITAS

Bermusik, berkumpul dan berserikat adalah salah satu langkah awal bentuk perlawanan.

title

FROYONION.COM – Berangkat dari keresahan bersama atas pemerintahan Orde Baru, Mike dan Boby beserta kawan-kawannya turut serta ikut melakukan aksi perlawanan, hingga pada akhirnya tercetus membentuk suatu wadah untuk menyampaikan ide-ide kreatif. 

Sekitar tahun 1998 terbentuklah suatu komunitas bernama Taring Babi. Nama awal komunitas ini bukanlah Taring Babi melainkan Afra (Anti Fasis Anti Rasis), berubah lagi menjadi Tempe Quality hingga akhirnya Taring Babi dipilih dan bertahan sampai sekarang, tutur Boby. 

Lanjutnya saat ditemui di markas Taring Babi pada 13 November 2018, secara harfiah Taring Babi digunakan sebagai simbol oleh masyarakat Indonesia. Secara filosofi penggunaan nama tersebut sebagai pengingat. 

Seperti yang kita tahu, hewan babi dikenal rakus dengan memakan apa saja yang ada di hadapannya meskipun itu bukan haknya. Hal tersebut menjadikan nama Taring Babi digunakan, agar mereka tidak menjadi makhluk yang rakus. 

Awalnya, komunitas Taring Babi berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain hingga masuk tahun 2002 komunitas ini bermarkas di Jalan Moch. Kahfi II, Gang Setiabudi, Srengseng Sawah, Jakarta Selatan. 

Kepindahan mereka ke sana tidak diterima secara utuh oleh masyarakat sekitar. Masyarakat menilai negatif karena penampilannya. Menurut penuturan Boby, warga, ketua RT hingga tokoh masyarakat setempat mengadakan rapat yang menghasilkan izin tinggal dengan syarat percobaan selama tiga bulan. 

“Tidak ada treatment khusus dalam hal ini, kami tetap menjadi diri sendiri, menjalankan kehidupan sehari-hari dengan biasa. Berbaur dengan masyarakat, berkomunikasi, ikut andil dan membantu setiap ada kegiatan di lingkungan tersebut.” 

“Kalaupun tidak ada kegiatan, kami berinisiatif mengadakan kegiatan seperti kerja bakti, masak-masak, diskusi dan lainnya. Selain itu, kami juga mengadakan pelatihan untuk masyarakat sekitar mengenai seni, desain dan bermusik,” pungkas Boby selaku penggagas komunitas Taring Babi. Seiring berjalannya waktu, mereka mulai diterima oleh masyarakat. 

Komunitas yang bersifat kolektif serta berlandaskan semangat punk DIY (Do it Yourself), menuangkan ide-ide kreatif ke beragam bentuk seperti kaos, lukisan, cukil kayu, bermusik, CD album, studio tatto, lalu hasil karya tersebut dipasarkan secara mandiri dari mulut ke mulut, ke toko-toko, hingga menggelar lapak saat sedang konser-konser underground maupun festival-festival besar. 

Komunitas Taring Babi terbuka untuk siapa pun. Orang-orang hilir-mudik ke sana, mulai dari masyarakat sekitar, mahasiswa, jurnalis, orang-orang daerah maupun mancanegara dengan kepentingannya masing-masing. 

”Boleh main, boleh menjadi bagian dan boleh meninggalkan juga. Jelangkung semua di sini haha,” tutur ayah Baron sapaan akrabnya sembari duduk santai menghembuskan kepulan asap ke udara.

komunitas Taring Babi, Boby
Penulis (kiri) bersama penggagas komunitas Taring Babi, Boby. (Foto: Dok. pribadi penulis)

Semangat dalam memerangi segala bentuk diskriminasi dituangkan ke dalam bentuk media musik. Sejalan dengan terbentuknya komunitas Taring Babi, Mike dan Boby membentuk group band Marjinal. Nama Marjinal sendiri terinspirasi dari sosok aktivis wanita yang sudah gugur ialah Marsinah. Band yang memainkan aliran musik punk, tidak lelah menyuarakan keresahan-keresahan serta kritik sosial yang terjadi di masyarakat melalui lirik-lirik yang mereka lantunkan. 

Dalam proses produksi karya-karyanya, Marjinal merekam dan memasarkan melalui label rekaman yang digagas secara mandiri. Proses rekamannya pun mereka lakukan di komunitas Taring Babi

Keteguhan hati yang diiringi dengan konsistensi dalam menyuarakan ketidakadilan serta diskriminasi sosial melalui musik membawa mereka manggung di beragam tempat. Mulai dari panggung kecil, lapas, pesantren, hingga festival besar. Bahkan, acapkali manggung di luar negeri mulai dari negara-negara Asia hingga ke Eropa. Karya-karya Marjinal berhasil menarik hati orang-orang di sana. Pendistribusian albumnya pun sudah mempunyai pasarnya sendiri.

Dengan semangat DIY, di era digital seperti saat ini mereka tidak mengalami kesulitan untuk beradaptasi. Terbukti dengan lawatan mereka ke kanal-kanal youtube dengan membawa pesan perangi segala bentuk diskriminasi ke gen Z. Tak hanya berhenti di situ, Marjinal masih aktif ikut aksi turun ke jalan. KamisanBali Tolak ReklamasiDemo Buruh ialah aksi yang turut mereka suara kan dengan lantang sampai tegaknya keadilan. 

Semakin cepat arus globalisasi diiringi dengan perkembangan teknologi akan memunculkan kelompok-kelompok baru dengan visi-misi beragam dan tentunya memiliki ciri khas dari segi fashion, musik dan kultur. Besar harapan, kita sebagai manusia harus cepat beradaptasi dengan segala bentuk pembaharuan. Sehingga, kelak tidak lahir stigma-stigma baru yang merugikan terhadap suatu kelompok. Sejatinya, manusia memiliki sisi baik dan buruknya masing-masing! (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Aldila Cahya Alam

Membaca dan menulis seperti anak Punk