In Depth

RESTORATIVE JUSTICE: KEADILAN HUKUM BAGI SI PENCURI AYAM

Pernah gak loe mikir kenapa pencuri ayam hukumannya sama dengan koruptor padahal kerugiannya gak seberapa? Kira-kira ada gak alternatif hukuman lain yang mencerminkan rasa keadilan bagi pencurian ringan? Dalam artikel kali ini, gue akan membahas itu. Jadi, simak sampai habis ya.

title

FROYONION.COM - Berbicara tentang hukum, tentu tidak bisa lepas dari keadilan. Hukum dan keadilan seakan menjadi hal yang tidak bisa dipisahkan. Hukum sendiri bertujuan untuk menciptakan keadilan di masyarakat.

Akan tetapi, keadilan tersebut jauh berbeda dengan apa yang terjadi di lapangan dan membuat kita bertanya-tanya. Misalnya, seorang koruptor yang mencuri uang negara hukumannya sama dengan seorang pencuri ayam. 

Padahal, kerugian yang ditimbulkan dalam pencurian ayam tidak sampai merugikan negara. Tapi, mengapa hukumannya bisa sama dengan koruptor? Nah, tentu pertanyaan ini masih menghantui loe semua. 

Meskipun si pencuri ayam itu salah, yang namanya mencuri ya tetap salah, akan tetapi hukuman yang diberikan tidak mencerminkan rasa keadilan. Apalagi, jika beratnya hukuman harus dikaitkan dengan besarnya kerugian ekonominya. 

Tentu gak adil banget dong. Nah kira-kira kenapa sih bisa begitu? Dari gambaran itu, maka istilah hukum tajam ke bawah tumpul ke atas terus mencuat. Apalagi, jika loe perhatikan, alasan pencurian biasa rata-rata karena desakan ekonomi. 

Mereka terpaksa harus melakukan hal itu karena kebutuhan hidup yang mendesak, bahkan ada yang mencuri demi anaknya bisa sekolah daring, untuk membeli susu bayi dan sebagainya. 

Melihat alasan mereka mencuri dan ancaman penjara 5 tahun yang mengintai mereka, rasanya keadilan jauh dari mereka daripada pencuri kas negara. Jika kondisi ekonomi mereka jauh lebih baik tentu tidak akan melakukan hal itu. 

Berbeda dengan koruptor, secara ekonomi kehidupan mereka sudah layak tapi karena rakus dan ada peluang makanya mereka melakukan hal itu. 

AKAR MASALAH

Jika kita telusuri lebih jauh lagi, sebenarnya yang menjadi masalah ada di aturannya sendiri. Khususnya di Pasal 362 dan 364 KUHP. Pasal 362 KUHP berbunyi:

Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.

Jika loe perhatikan lebih detail, hal yang mengganjal gue selama ini adalah frasa sebagian atau seluruhnya. Kata sebagian atau seluruhnya memiliki nilai kerugian ekonomis yang tidak pasti. 

Contohnya gini, seseorang mencuri sepatu loe yang kanan doang, tentu saja hal itu udah masuk ke frasa sebagian barang tadi. Begitu juga jika sepatu loe yang kiri dan kanan diambil dua-duanya, itu sudah masuk ke dalam frasa seluruhnya

Tidak peduli merek sepatu loe apa, semahal apa, tetap saja ancaman hukumannya 5 tahun penjara. Terus, ada gak sih di KUHP batas minimumnya yang dikategorikan sebagai pencurian ringan? 

Jawabannya ada yaitu di Pasal 364 KUHP. Hanya saja, nilai kerugian yang diatur dalam Pasal 364 adalah 250 rupiah. Kalo ada seseorang yang mencuri barang yang nilai maksimumnya 250 rupiah, itu masuk ke dalam pencurian ringan. Ancamannya tiga bulan kurungan. 

Hanya saja yang menjadi masalah, ada gak harga barang segitu untuk saat ini? Jelas gak ada dong. Itu sebabnya mereka yang mencuri ayam, mencuri ponsel buat sekolah daring, tetap dijerat Pasal 362 yang ancaman penjaranya 5 tahun. 

Selain itu, seharusnya harga 250 rupiah itu dikonversi ke harga sekarang. Perlu loe ketahui, KUHP itu disahkan di Indonesia oleh Belanda kurang lebih tahun 1800-an, mungkin aja harga 250 rupiah saat itu setara dengan 2.5 juta rupiah. 

Sebagai antisipasinya, sebenarnya pemerintah sudah mengupayakan hal ini agar nasib pencurian ringan bisa mendapatkan rasa keadilan dari sisi hukuman yang diterima. 

Pada tahun 2012, Mahkamah Agung mengeluarkan Perma Nomor 2 Tahun 2012. Di dalam peraturan itu, nilai 250 rupiah dalam Pasal 364 KUHP dikali Rp. 1.000 sehingga nilainya menjadi Rp. 2.500.000.

Meskipun begitu, tetap saja jika ditinjau dalam hierarki peraturan perundang-undangan, kedudukan Perma ada di bawah KUHP, sehingga hal itu tidak menyelesaikan sama sekali. Satu-satunya cara ya merevisi KUHP itu sendiri. 

Hanya saja, jalan untuk merevisi aturan peninggalan Belanda ini tidak berjalan mulus, padahal isu revisi KUHP udah lama banget dan tidak beres-beres. Terakhir, KUHP yang baru akan disahkan, malah didemo. Jadi harus ditunda kembali entah sampai kapan. 

ALTERNATIF

Pada dasarnya jika seseorang melakukan tindak pidana haruslah diproses ke persidangan termasuk pencurian, tidak ada yang salah akan hal itu. Akan tetapi, keberhasilan dalam menegakkan hukum bukan dilihat dari banyaknya pihak berwajib memenjarakan seseorang. 

Justru dengan hal itu akan menimbulkan masalah baru, yaitu kapasitas lapas yang membludak. Intinya, prinsip konvensional seperti itu tidak bisa diterapkan untuk semua tindak pidana. 

Begitu juga dengan para pelaku pencurian ringan, memenjarakan mereka tidak menyelesaikan masalah sama sekali. Alasan mereka melakukan itu karena desakan ekonomi, dengan kata lain penjara tidak menjamin akan membuat seseorang berhenti mencuri. 

Sebagai alternatif untuk menyelesaikan masalah di atas, maka saat ini penegak hukum kerap menerapkan restorative justice. Sebenarnya apa sih restorative justice itu? 

Konsep pendekatan restorative justice merupakan suatu pendekatan yang lebih menitikberatkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya sendiri.

Metode pemidanaan diubah dengan metode mediasi antara pihak berwajib, korban, dan pelaku untuk mendapatkan keadilan yang seimbang antara kedua pihak. 

Keadilan restorasi meliputi pemulihan hubungan antara korban dan pelaku. Pemulihan hubungan didasarkan atas kesepakatan bersama antara korban dan pelaku.

Pihak korban dapat menyampaikan mengenai kerugian yang dideritanya dan pelaku diberi kesempatan untuk menebusnya, melalui mekanisme ganti rugi, perdamaian, kerja sosial, maupun kesepakatan-kesepakatan lainnya

Pendekatan ini sangat penting khususnya dalam kasus tindak pidana ringan, mengapa demikian? Sekali lagi, seperti yang gue bilang pemidanaan tidak efektif untuk semua tindak pidana dan hanya akan membuat lapas menjadi over capacity

Jadi, untuk kasus-kasus yang sifatnya ringan dan tidak menimbulkan ancaman pada masyarakat, metode restorative justice sebaiknya diterapkan. Perlu diingat juga, metode ini hanya dilakukan bagi tindak pidana yang tidak membahayakan umum. 

Selain pencurian ringan, pencemaran nama baik melalui media sosial juga harus diselesaikan dengan metode ini. Hal itu ditegaskan dalam Surat Edaran (SE) Nomor SE/2/II/2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika Untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, sehat, dan Produktif.

Jadi, restorative justice adalah upaya penyelesaian pidana yang menguntungkan kedua pihak. Cara tersebut bisa dengan ditempuh jalan perdamaian atau ganti kerugian, sehingga kasus selesai di kepolisian dan tidak diajukan ke persidangan. 

Ke depannya, kasus ringan seperti mencuri ayam, ponsel untuk sekolah daring, diselesaikan dengan jalan restorative justice. Sehingga keadilan itu menjadi lebih seimbang antara korban dan pelaku.

Tapi ingat, restorative justice hanya berlaku untuk tindak pidana yang sifatnya ringan dan tidak membahayakan masyarakat. Jika kasus perkosaan memakai metode ini, kacau jadinya. (*/)

BACA JUGA: MANUSIAWIKAH HUKUMAN MATI BAGI PEMERKOSA 12 SANTRIWATI?

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Dani Ramdani

Pegiat rebahan yang suka menuangkan pikiran dalam tulisan