In Depth

KENAPA BANYAK ORANG YANG SUKA FLEXING?

Flexing seakan menjadi fenomena yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan dunia digital, lalu apa  yang mendasarinya? Dan apakah ada sisi gelap yang tidak kita ketahui?

title

FROYONION.COM - Hey, apa kabar semua? Pasti kalian sudah tidak asing lagi ya dengan istilah flexing? Jangan-jangan kalian sendiri pernah melakukannya tanpa sadar! Flexing, dalam konteks sosial media, merupakan perilaku memamerkan atau memperlihatkan dengan bangga segala jenis prestasi, kekayaan, atau kehidupan glamor kita kepada orang lain. 

Tapi, kenapa sih banyak orang suka melakukan hal ini? Dan apa yang mendorong mereka untuk seakan membagikan setiap aspek hidup mereka di dunia maya?

FLEXING: ANTARA INSPIRASI DAN IRASIONALITAS

Kamu pasti pernah melihat postingan di media sosial yang memamerkan kehidupan mewah, perjalanan liburan yang eksotis, atau koleksi barang mahal milik seseorang. Itulah yang disebut dengan flexing, perilaku memamerkan keberhasilan dan kemewahan dalam hidup. Meskipun terkadang bisa menjadi sumber inspirasi, flexing juga memiliki sisi irasional yang perlu kita perhatikan.

Bayangkan saja, melihat orang lain merayakan pencapaian mereka bisa memberikan semangat dan motivasi bagi kita. Postingan influencer tentang perjalanan mereka ke destinasi wisata impian atau kesuksesan mereka dalam karier bisa menjadi dorongan untuk mengejar impian kita sendiri. Dalam konteks ini, flexing dapat memberikan inspirasi dan menjadi pendorong untuk meningkatkan diri.

Namun, di balik inspirasi tersebut, ada sisi irasionalitas yang perlu diwaspadai. Kadang-kadang, ketika kita terjebak dalam kebiasaan melihat postingan flexing orang lain, tanpa sadar kita dapat merasa rendah diri atau tidak cukup sukses. 

Kita mungkin mulai membandingkan diri kita dengan mereka dan merasa tidak memadai. Ironisnya, kita seringkali hanya melihat sisi terbaik dari kehidupan orang lain yang mereka pilih untuk dipublikasikan, tanpa menyadari bahwa itu hanyalah sekelumit dari kehidupan mereka.

Fenomena ini terutama terkait dengan media sosial, di mana penampilan menjadi segalanya. Dalam upaya untuk mendapatkan perhatian dan pengakuan, orang sering memilih untuk memamerkan hanya momen-momen terbaik dan prestasi terbesar mereka. Namun, kita perlu menyadari bahwa keberhasilan seseorang tidak dapat diukur dari jumlah like, komentar, atau materi yang mereka tampilkan di media sosial.

Selain itu, flexing juga dapat memicu perilaku konsumtif yang tidak rasional. Ketika kita terus-menerus melihat orang lain memamerkan barang-barang mewah atau gaya hidup yang glamor, kita mungkin merasa tekanan untuk mengikuti tren dan membeli barang-barang serupa. Padahal, keberhasilan dan kebahagiaan sejati tidak hanya bergantung pada kepemilikan materi.

ASPEK PSIKOLOGI DI BALIKNYA

Kenapa sih kita suka flexing? Apa yang ada di balik dorongan manusia untuk memamerkan prestasi dan harta mereka? Ternyata, ada penjelasan ilmiah yang dapat membantu kita memahami fenomena ini.

Di balik perilaku flexing terdapat motif psikologis yang kuat. Sebagai makhluk sosial, kita cenderung mencari pengakuan dari orang lain. Postingan flexing di media sosial dapat memberikan kesempatan untuk mendapatkan apresiasi dan pujian dari teman-teman atau pengikut kita. 

Itu sebabnya ketika kita memamerkan pencapaian kita, seperti ketika sedang mendapatkan kenaikan jabatan di kantor atau ketika kita membeli barang mewah, kita mungkin merasa lebih dihargai dan diterima oleh orang lain.

Selain itu, perilaku flexing juga terkait dengan konsep identitas dan kebutuhan akan pengakuan. Ketika kita memamerkan keberhasilan dan kemewahan kita, kita secara tidak langsung menciptakan citra diri yang ingin kita proyeksikan kepada dunia. 

Kita ingin orang lain melihat kita sebagai sosok yang sukses, berpengaruh, atau paling tidak memiliki gaya hidup yang mengagumkan. Itu karena pengakuan dari orang lain dapat memperkuat dan menguatkan identitas kita.

Tidak hanya itu, ada pula faktor psikologis lain yang memengaruhi perilaku flexing, seperti perbandingan sosial dan persepsi diri. Ketika kita melihat postingan flexing orang lain, kita cenderung membandingkan diri kita dengan mereka. 

Jika kita merasa kalah atau tidak sebanding, hal itu bisa memicu perasaan rendah diri dan dorongan untuk memamerkan sesuatu yang lebih menonjol. Sebaliknya, jika kita merasa lebih unggul, kita mungkin merasa perlu menunjukkan keunggulan kita untuk mempertahankan status sosial.

Tapi, kita juga perlu menyadari bahwa ada sisi gelap dalam flexing. Penelitian menunjukkan bahwa terlalu terfokus pada perbandingan sosial dan penilaian orang lain dapat menyebabkan stres, kecemasan, bahkan depresi. Terjebak dalam siklus mencari pengakuan eksternal dapat mengaburkan pemahaman tentang nilai sejati kita sebagai individu yang unik.

FROM STATUS SYMBOL TO SELF-WORTH

Dulu, flexing seringkali hanya sebatas memamerkan status sosial dan kekayaan materi. Orang berlomba-lomba untuk menunjukkan mobil mewah, tas desainer, atau liburan mewah sebagai simbol keberhasilan dan prestise. Namun, seiring berjalannya waktu, flexing telah mengalami evolusi yang menarik, mengubah konsepnya dari hanya sekadar sebagai bentuk simbol status menjadi pencarian nilai diri  yang lebih dalam.

Pada era media sosial, kita melihat pergeseran yang signifikan dalam makna dan tujuan dari flexing. Orang semakin menyadari bahwa keberhasilan dan kebahagiaan sejati tidak dapat diukur hanya oleh harta benda yang dimiliki. Mereka mulai mencari makna yang lebih dalam dan autentik dalam hidup mereka. Flexing tidak lagi hanya tentang memamerkan barang-barang mewah, tetapi tentang memamerkan diri mereka yang sebenarnya.

Flexing yang baru ini mencakup pencapaian pribadi, perkembangan pribadi, dan keberhasilan yang diukur dari sudut pandang yang lebih holistik. Orang membagikan perjalanan mereka dalam mencapai impian, pengalaman belajar yang berharga, atau kontribusi mereka terhadap masyarakat. Mereka memamerkan perjalanan menuju kesuksesan, termasuk kegagalan dan kesulitan yang mereka hadapi di sepanjang jalan.

Perubahan ini juga mencerminkan kebutuhan manusia untuk memiliki makna dan tujuan dalam hidup mereka. Kekayaan materi mungkin memberikan kenyamanan, tetapi tidak mampu memberikan kepuasan yang mendalam. 

Oleh karena itu, banyak orang kini beralih fokus dari flexing yang berorientasi pada materi menjadi flexing yang berpusat pada pencapaian pribadi, hubungan yang berarti, kesehatan dan kesejahteraan, serta kontribusi sosial.

Flexing yang berbasis pada nilai diri ini juga mendorong orang untuk mencari pengakuan dari diri sendiri, bukan hanya dari orang lain. Mereka memperkuat rasa harga diri mereka dengan memahami dan menghargai pencapaian mereka sendiri, sekecil apapun itu. Mereka merayakan keunikan dan potensi diri mereka.

Dalam era ini, flexing dapat menjadi alat yang kuat untuk memotivasi dan menginspirasi orang lain. Ketika kita membagikan perjalanan dan pencapaian kita yang berarti, kita dapat memberikan dorongan positif kepada orang lain untuk menghadapi tantangan mereka sendiri dan meraih impian mereka. 

Flexing menjadi lebih inklusif dan mempromosikan sikap saling menghargai dan mendukung dalam mencapai kesuksesan masing-masing

TAK HANYA MATERI

Selama ini, flexing identik dengan memamerkan harta benda dan pencapaian material. Tapi apa yang terjadi jika kita menggali lebih dalam dan menjelajahi bentuk-bentuk flexing alternatif yang tidak hanya berfokus pada barang-barang mewah?

Pertama-tama, mari kita kenali bahwa flexing bisa menjadi sarana untuk mengungkapkan minat, bakat, dan kreativitas kita. Sebagai contoh, ada banyak orang yang menggunakan media sosial untuk memamerkan karya seni mereka, seperti lukisan, fotografi, atau keterampilan kerajinan tangan. 

Dengan membagikan karya-karya ini, mereka bukan hanya memperlihatkan kemampuan mereka, tetapi juga menginspirasi dan mengajak orang lain untuk menghargai seni dalam berbagai bentuknya.

Selain itu, pengalaman dan petualangan juga bisa menjadi sumber flexing yang menarik. Banyak orang yang membagikan foto-foto perjalanan mereka, menjelajahi tempat-tempat eksotis, atau terlibat dalam kegiatan luar ruangan yang sifatnya menantang demi menunjukkan sisi maskulinitas mereka. 

Flexing semacam ini menunjukkan keberanian, keaktifan, dan semangat hidup yang tak terbatas. Mereka mengajak kita untuk melihat dunia dengan mata yang lebih luas lagi.

Tidak hanya itu, flexing juga bisa melibatkan pencapaian dalam bidang pendidikan, karir, atau kontribusi sosial. Misalnya, seseorang bisa membagikan sertifikat pelatihan yang telah mereka peroleh, promosi di tempat kerja, atau proyek amal yang mereka ikuti. 

Melalui flexing semacam ini, mereka mengajarkan kita tentang pentingnya belajar dan berkembang, mencapai kesuksesan di jalur karir, dan memberikan dampak positif pada masyarakat.

Selanjutnya, ada juga bentuk flexing yang berkaitan dengan gaya hidup sehat dan pilihan makanan. Banyak orang yang membagikan menu makanan sehat, resep lezat, atau hasil olahraga mereka sebagai inspirasi bagi orang lain untuk menjaga kesehatan dan kebugaran. Mereka menunjukkan bahwa gaya hidup sehat dapat menjadi bentuk flexing yang positif dan menginspirasi.

Melalui eksplorasi bentuk-bentuk flexing alternatif ini, kita dapat melihat bahwa flexing tidak hanya terbatas pada materi. Kita dapat menggunakan media sosial sebagai platform untuk membangun komunitas yang berbagi minat, menginspirasi orang lain, dan memberikan nilai positif pada dunia di sekitar kita.

THE DARK SIDE OF FLEXING: KONSEKUENSI TERSEMBUNYI DI BALIKNYA

Saat kita membahas fenomena flexing, tidak bisa diabaikan bahwa ada sisi gelap yang sering tersembunyi di baliknya. Ketika orang terlalu terpaku pada flexing, ada konsekuensi yang mungkin tidak terlihat dengan jelas pada awalnya.

Salah satu konsekuensi negatif yang sering terjadi adalah perasaan rendah diri dan kecemasan yang timbul ketika kita membandingkan diri dengan orang lain yang tampak lebih sukses atau lebih berprestasi. 

Kita seakan akan terjebak dalam siklus ini, dan pada akhirnya dapat merusak kesehatan mental kita dan mengurangi kepuasan hidup. Kita cenderung merasa tidak cukup atau kurang berharga karena terus-menerus membandingkan pencapaian kita dengan pencapaian orang lain.

Selain itu, flexing juga bisa menjadi pemicu untuk gaya hidup konsumtif yang berlebihan. Ketika kita terpapar terus-menerus dengan gambaran kekayaan dan kemewahan di media sosial, seringkali kita merasa tergoda untuk membeli barang-barang yang sebenarnya tidak kita butuhkan. Akibatnya, kita terjebak dalam lingkaran belanja berlebihan yang dapat menguras keuangan kita dan meningkatkan tingkat hutang yang harus kita tanggung.

Aspek lain dari dark side of flexing adalah ketidakautentikan. Dalam upaya untuk terlihat sukses atau menarik di media sosial, banyak orang cenderung memperlihatkan gambaran yang tidak sepenuhnya mencerminkan kehidupan sebenarnya. 

Mereka mungkin memperindah atau merubah fakta untuk memperoleh lebih banyak likes dan pengikut, dimana tujuan akhirnya tidak lain adalah demi mendapatkan pengakuan sosial. Hal ini dapat menimbulkan perasaan tidak autentik dan merugikan integritas pribadi.

Selain itu, flexing juga bisa menyebabkan dependensi  atau ketergantungan terhadap validasi eksternal. Ketika kita terlalu bergantung pada pujian dan apresiasi dari orang lain di media sosial, kita rentan terhadap perubahan suasana hati dan kebahagiaan yang berfluktuasi. Perasaan kita bisa terpengaruh oleh jumlah like atau komentar yang kita terima, dan itu dapat mempengaruhi kesejahteraan mental kita secara keseluruhan. (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Naam Amta Muh Shinin

Coder, writer, and Pengagum Amartya Sen