Esensi

MENYIKAPI KEINGINAN ORANG TUA YANG TERKADANG NGGAK SEJALAN SAMA KEMAUAN ANAK

Saat keinginan lo ternyata nggak sesuai sama harapan orang tua, apa yang seharusnya lo lakukan? Mana yang lebih tepat, mengikuti kemauan orang tua, atau mengikuti kata hati?

title

FROYONION.COMMungkin lo pernah berada di posisi bimbang ketika ditanya orang tua soal masa depan, utamanya tentang kuliah, karier, atau bahkan tentang ‘calon’ lo di pelaminan ke depannya.

Gue pribadi merasa cukup relate dengan keadaan ini setiap harinya, tapi baru kepikiran banget semenjak masuk kuliah. Orang tua gue merupakan pribadi yang punya harapan sangat tinggi ke anak-anaknya. Mereka pengen tau pandangan gue untuk masa depan seperti apa, hal-hal apa aja yang mau gue raih, dan gimana cara mencapainya.

Tumbuh berkembang sebagai anak yang dididik dengan strict membuat seorang individu jadi lebih aware, baik ke diri sendiri dan juga lingkungan sekitar. Gue merasa diri gue termasuk ke dalam golongan ini, dan secara jujur menganggap hal ini sebagai berkah, utamanya karena gue bisa merasakan apa yang orang lain rasakan — gue merasa lebih peka terhadap perasaan orang lain, dan gue merasa lebih ‘hidup’ karenanya. 

Kalo disangkutpautkan antara awareness dengan pandangan masa depan, gue bisa bilang bahwa kesadaran atas diri sendiri ini membantu lo untuk tau apa yang lo mau raih di masa depan, bahkan bisa membuat lo jadi lebih ‘batu’ untuk mencapai tujuan itu. Di sisi lain, orang tua punya masukan dan saran yang menurut mereka lebih baik untuk hidup lo. Di sini sering terjadi clash yang dialami sama mayoritas gen-Z dan orang tua yang termasuk generasi boomer.

Sosok mereka (orang tua) jauh lebih berpengalaman dalam menjalani hidup. Mereka tau apa yang seharusnya dicapai oleh anak agar bisa mengejar ‘sejahtera’ ketika dewasa nanti. Mereka berusaha mengarahkan anak-anaknya, cerminan diri mereka sendiri, ke arah yang positif dan lebih sejahtera dibandingkan diri mereka dulunya.

Tapi, terkadang banyak hal yang luput dari pandangan orang tua. Dunia ini udah cukup berkembang dibandingkan 20, atau bahkan 10 tahun yang lalu. Some things are changing, perlu ada penyesuaian agar relevan, terutama soal pilihan jurusan kuliah dan karier.

Beberapa orang tua pengen anaknya kerja di pemerintahan dengan harapan kesejahteraan masa tua dalam genggaman. Ada juga orang tua yang pengen anaknya bekerja di sektor yang udah settle, dianggap mapan dan keren oleh masyarakat, contohnya jadi dokter dan sejenisnya. Tapi pada akhirnya, komando tetep ada di diri lo, cuma lo yang bisa menentukan lo mau jadi apa di masa depan..

BACA JUGA: EMANGNYA NILAI ADALAH SEGALANYA, YA?

Untuk kasus gue, seringkali ego yang saling dilemparkan diri gue dan orang tua berakhir di sisi yang berseberangan, nggak ada benang merah atau grey area yang bisa menyatukan visi gue dan mereka.

Dari sekian banyak pengalaman yang gue lalui, utamanya soal diskusi panas dengan orang tua, gue cuma bisa bilang bahwa satu-satunya senjata paling ampuh untuk melunakkan hati mereka adalah dengan meng-iya-kan segala bentuk permintaan mereka, meskipun hal itu adalah hal yang paling sukar untuk dituruti, karena restu itu nomor satu.

Cara ini nyatanya mampu membuat orang tua lebih memahami kemauan gue. Di saat gue menuruti permintaan mereka, ada sebuah celah yang bisa gue manfaatkan untuk sedikit demi sedikit menyisipkan idealisme, pandangan hidup gue, ke mereka. Gue percaya, orang tua nggak pernah minta sesuatu yang buruk terjadi dalam kehidupan anak-anaknya.

Ronald, 23 tahun, mengakui bahwa orang tuanya selalu mendukung kemauan anak dalam menjalani hidup. Tentunya Ia juga pernah mengalami konflik pendapat, namun pada akhirnya orang tuanya tetap mengizinkan Ron untuk mengikuti kata hatinya.

“Intinya sih, lo harus berusaha untuk menjelaskan keinginan lo yang masuk dengan logika orang tua. Ketika lo bisa menjelaskan maksud hati lo dan sekiranya itu juga bisa masuk sama logika ortu, pasti mereka nggak akan banyak omong juga,” jelas Ron.

Terkadang, perdebatan yang terjadi antara orang tua dan anak bukan disebabkan keinginan anak yang terlalu ‘muluk-muluk’, tetapi karena ketidakmampuan anak dalam menjelaskan maksud hati dengan logika yang dimengerti orang tua.

“Mereka sebenernya mau protect anak-anaknya biar nggak salah jalan, mungkin biar kita nggak masuk ‘lobang’ yang mungkin mereka pernah alami,” lanjut Ron.

Ron juga menyampaikan sebuah saran atau statement, “Lo diem dulu kalo lo belom bisa buktiin apa yang lo pilih itu bener, nah baru lo omongin lagi tuh sama orang tua.”.

Di sisi lain, Grace, 22 tahun, mengakui sering beradu pendapat dengan orang tuanya, karena Ia merasa baik dirinya dan Ibunya merupakan sosok perempuan yang sama-sama bisa beropini.

“Contoh kecil, pas SMP suka banyak kegiatan, otomatis pulang sore dong. Nah, emak gue itu maunya gue ikut angkutan anter-jemput biar nggak pulang sore dari sekolah, karena jemputan kan ada maksimal waktu sampe jam 3 sore aja. Tapi, saat itu gue nggak mau karena menurut gue hal itu membatasi gue untuk bisa berkembang. Akhirnya emak gue ngalah, dianter jemput bokap jadinya gue,” kata Grace.

Ternyata, dewasa ini Grace menyadari bahwa apa yang disarankan oleh Ibunya saat itu memang yang terbaik. Dirinya merasa pilihannya saat itu cukup menyusahkan Ayahnya karena harus mengikuti jam pulang sekolah Grace yang tidak menentu karena banyaknya kegiatan yang Ia lakukan.

“Waktu lulus SMP, mau milih SMA itu cekcok lagi, pilihan SMA cuma ada tiga. Yang pertama Kolese Loyola (SMA yang akhirnya gue pilih), yang kedua SMA PL Van Lith dan itu asrama, dan yang ketiga yang gue pengen banget itu SMAN 3 Semarang. Emak gue nggak bolehin gue di SMAN 3, karena emak gue pengen banget gue jadi disiplin jadinya gue masuk Loyola, gue tidak menyesali karena gue merasa pilihan emak gue bener,” lanjut Grace.

Membahas tentang jurusan kuliah, rupanya nggak lepas dari perdebatan juga.

“Terus waktu urusan kuliah emak gue maunya gue masuk Teknik Industri di Unpar, tapi gue nggak mau TI, gue maunya masuk HI karena HI juga salah satu jurusan yang diunggulkan di Unpar. Emak gue mengizinkan masuk HI, tapi pernah ada satu momen di mana emak gue ngungkit-ngungkit momen gue nggak nurut masuk HI, padahal momen itu nggak ada hubungannya sama urusan kuliah,” jelas Grace.

“Kalo lo lagi liat ortu lagi panas, lo harus ngalah jadi yang dinginnya. Gue belajar untuk diem dulu, kalo udah cooldown gue baru jelasin pendapat gue. Karena perdebatan nggak akan bisa dihindari, bahkan sama orang tua sekalipun.” tutup Grace.

Omongan orang tua memang selayaknya kita turuti, meskipun lo tau ada opsi lain yang lebih baik. Mereka mau mendengar afirmasi positif dari anak-anaknya, terlepas dari apa yang anak-anaknya lakukan di belakang kehadirannya.

Ketika ada keinginan yang nggak tercapai, atau bahkan belum sempat terlaksana, di situ biasanya ada problematika, dan lo punya pilihan untuk bersikap. Lemah lembut sama orang tua, tunjukkan kasih sayang, dan sabar, jadi kunci-kunci penting yang selalu gue coba untuk pegang setiap kali ingin berpendapat di depan orang tua.

Anak-anak bukan makhluk yang sempurna, orang tua pun sama. Tapi setidaknya kita berjuang untuk jalan hidup yang kita anggap baik dan benar. (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Garry

Content writer Froyonion, suka belajar hal-hal baru, gaming, dunia kreatif lah pokoknya.