Esensi

MENGAPA PEREMPUAN CENDERUNG MAMPU BERTAHAN DALAM ‘TOXIC RELATIONSHIP’?

Pernah gak si kamu sebagai seorang perempuan ngalamin berada di hubungan toxic relationship namun kamu masih tetap bertahan di sana? Yuk, kenali alasan mengapa kamu bisa berada di hubungan ini tanpa kamu sadari!

title

Di dalam sebuah hubungan antar sesama makhluk baik teman, teman dekat, orang tua dan pasangan diperlukan adanya suatu adaptasi satu sama lain. Adaptasi yang penting meliputi sifat murni yang dimiliki oleh masing-masing individu manusia. Bagaimana pun bukan hal mudah dan hal yang cepat untuk memahaminya. Suatu hubungan harus dibangun lebih baik dengan batasan dan kesadaran yang sehat. Pada  hubungan yang baik pasti ada juga sebaliknya yakni hubungan yang tidak baik. Sebuah hubungan akan bermutasi tidak baik karena adanya sesuatu yang tidak bisa diperbaiki dan menjadi sangat berbahaya. Istilah yang digunakan saat ini adalah toxic relationship

Definisi toxic relationship dicirikan sebagai hubungan yang beracun secara emosional dan fisik. Biasanya hal yang terjadi pada toxic relationship karena adanya Insecurity, Dominance, Self-centeredness and Control. Hal ini mempertaruhkan keadaan kita dengan bertahan dalam hubungan tersebut. Lumrah apabila suatu hubungan memiliki pasang surut, akan tetapi jika berdampak tindakan negative seperti direndahkan, tidak dihargai, dilecehkan dan hal lain sebagainya maka hubungan itu disebut beracun. Di sisi lain juga, banyak sekali kasus-kasus toxic relationship yang dapat kita jumpai di media sosial. Entah dari mereka menyampaikan keluh kesahnya atau meminta pertolongan. Sering menjadi pertanyaan, mengapa kebanyakan perempuan cenderung bertahan terlebih dahulu dalam hubungan ini.

BACA JUGA: TOXIC RELATIONSHIP: HANTU YANG BISA MENGHANTUI SIAPAPUN DAN TAK KENAL USIA

Why does a woman tend to stay in toxic relationship? 

Ada beberapa faktor yang menjadikan mengapa perempuan cenderung lebih bisa bertahan dalam hubungan ini dibandingkan dengan laki-laki. Yang menjadi dasar faktor adalah menurut penelitian bahwa perempuan cenderung mengalami emosi positif yang intens sehingga perempuan lebih mungkin untuk bersikap kuat serta menyeimbangkan risiko yang akan membantu ikatan mereka dibandingkan dengan laki-laki. Skor perempuan tertinggi dalam penelitian tes standar emosi, kepekaan dan empati. 

Mengenai emosi sebagai seorang perempuan, kesempatan dan harapan adalah dua hal utama yang akan diberikan ketika suatu hubungan sedang tidak baik-baik saja. Alasan kenyamanan, rutinitas, stabilitas dan kebiasaan yang menjadi sebuah ketergantungan nyata di dalam hubungan. Belum lagi tekanan-tekanan dari permasalahan yang sebelumnya dihadapi seperti masalah dalam keluarga, teman ataupun kehilangan seseorang dalam hidup.

Kesepian adalah situasi relatif yang umum. Kesepian menjadi alasan mengapa seseorang enggan mengakhiri hubungan yang tidak sehat ini. Ketakutan kesepian yang mendalam dan menetap dalam jangka waktu yang lama mungkin menjadi masalah yang nyata pada diri sendiri mengapa enggan berpaling. Alih-alih terus membangun ikatan pada hubungan namun kebahagiaan bukan lagi prioritas. Kurangnya kepercayaan diri untuk bertahan dengan kemampuan diri sendiri. Salah satu risiko terbesar hubungan akan berat sebelah dengan bagaimana memaksa untuk menjadi rentan sedangkan salah satunya tidak ingin.

Perempuan menempatkan komitmen serta kepercayaan sangat tinggi, mereka mempercayai bahwasanya tidak ada masalah yang tidak dapat diselesaikan. Dengan penuh rasa sayang dan keyakinan untuk terus memperbaiki akan terus dilakukannya. Hingga merasa segalanya akan lebih baik. Kepercayaan ini akan tergolong tidak sehat apabila diiringi dengan sikap serta sifatnya selalu menyakiti dibanding membuat bahagia. Yang menjadi pertanyaan besar adalah apakah seseorang itu akan berubah setelah berusaha diperbaiki? Sangat kecil persentase perubahan yang diberikan apabila tidak dari niat diri sendiri.

Pada awalnya suatu hubungan diawali dengan sangat baik sehingga tumbuh rasa sayang yang begitu besar. Rasa sayang yang melekat terhadap pasangan menjadi cinta yang buta. Dan rasa sayang terkadang juga menjadi alasan utama mengapa perempuan tetap bertahan. Menahan rasa ketidaknyamanan atau bahkan rasa sakit untuk sebuah kebaikan dan tujuan yang lebih besar. Membuat justifikasi dalam pikiran dengan seseorang itu akan berubah kembali seperti awal lagi. Mengorbankan kebahagiaan pada diri sedangkan isi kepala meledak-ledak ingin didengar. Tak jarang juga saking sayangnya seorang perempuan dapat lebih memaafkan dibanding harus berpisah. Perpisahan sendiri adalah suatu hal yang ingin dibuang jauh-jauh dan menakutkan.

Hubungan yang tidak sehat atau beracun pastilah merugikan diri sendiri. Seperti sebuah kata ‘Kamu tidak harus meminum racun hanya karena kamu kesepian’. Jangan biarkan hubungan ini membuat tubuhmu digerogoti hingga habis tak tersisa hanya karena terus bersama orang kamu sayang namun kamu tidak merasakan kebahagiaan didalamnya. Dampak-dampak buruk akan terjadi seperti bisa memengaruhi serta menggerogoti  kesehatan mental, fisik, psikologis dan juga emosional.

Paradoksnya adalah bahwa untuk memiliki kesempatan yang masuk akal untuk mengubah toxic relationship menjadi hubungan yang sehat, siap tidak siap adalah meninggalkannya untuk bagaimana kelanjutannya nanti serta berpikir masing-masing secara lebih dewasa. Mengakhiri suatu hubungan memang terkadang selalu menyakitkan. Hal ini mau tidak mau. Jika tidak maka kekuatan atas diri sendiri akan sangat terbatas hingga terjadinya penekanan yang berkepanjangan.

Pentingnya memahami diri sendiri terlebih dahulu dan mencintai diri sendiri. Dengan hal seperti itu maka kemungkinan terbesar untuk bisa lebih menghargai dan mengetahui apa saja yang terbaik untuk diri kita. Pastikan harga diri serta kepercayaan diri cukup baik untuk memastikan bahwa kita dapat baik-baik saja. Terlebih apabila terjadi kesulitan maka sangat disarankan untuk meminta bantuan kepada siapapun terkait hal ini. Jadilah positif yang realistis. Sekalipun perubahan terkadang memilki proses yang sangat panjang dan menyakitkan, setidaknya dengan melewati ini kita dapat menempatkan diri pada posisi untuk menemukan kebahagiaan yang lebih besar juga tentunya. (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Anggi Frima

Anggi Frima Damayanti Mahasiswi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Lahir pada tanggal 1 Januari 2001 di Bogor, Jawa Barat. Mahasiswi dengan hobby rebahan yang kini mulai belajar untuk menulis.