In Depth

KENAPA ORANG BISA SALAH PAHAM SAMA CANDAAN

Dia bilang, “Gue kan cuma bercanda. Kenapa sih pada nggak ngerti kalo itu bercanda?” Kira-kira kenapa ya?

title

FROYONION.COM - Dari viralnya statement seorang content creator asal Indonesia yang tinggal di Jerman tentang childfree dan anti-aging di instagram, netizen Indonesia jadi geger sejagad Instagram. 

Gue nggak mau bahas soal pro-kontra tentang childfree dan anti-aging, tapi dari sisi si content creator yang ngakunya nggak habis pikir kenapa bercandaan dia bisa ditanggepin serius banget. 

Sebenernya kan kejadian di atas cuma salah satu contoh dari fenomena konflik, yang pastinya banyak banget kejadian di hidup kita sehari-hari, ya kan?

Sumber: datingkinky.com
Sumber: datingkinky.com

Ada seorang netizen yang nyeletuk, “Orang Indonesia tuh nggak bisa diginiin.” Sampai akhirnya seorang temen kasih tau tentang low context vs high context culture ini. Apa lagi sih itu?

Mengutip Country Navigator,High context cultures have a communication style based on body language, tone, and overall context; while low context cultures are more straightforward and explicit in communication.” 

Sederhananya, beda budaya. Budaya low context ini nggak perlu banyak-banyak konteks dan cenderung ngomong langsung apa adanya, sedangkan high context, ya kayak namanya, banyak aspek atau konteks yang diperhatiin dan makna implisit yang terkandung dalam suatu pernyataan.

Jadi, kalo content creator yang tinggal di Jerman itu merasa statement dia soal anti-aging itu bercanda, well, kebanyakan orang Indonesia nggak merasa itu adalah bercanda. Hal kayak gitu bisa termasuk nggak sopan karena dianggap menyinggung perasaan banyak orang. 

Padahal si content creator nggak merasa dia lagi menyinggung siapa pun. Vice versa, kebiasaan orang Indonesia juga ada aja yang dianggap nggak sopan sama orang Jerman. Misalnya, bertamu tanpa diundang. Beda budaya, Civs.

“Tapi kan dia orang Indonesia! Harusnya dia tau dong apa yang sopan dan nggak menurut orang Indonesia.”

Sekarang kita coba liat spektrum di bawah. Indonesia ada di bagian paling kanan, yang mana berarti sangat high context. Jerman ada di sisi kiri jauh. Sangat low context. Ditambah lagi, content creator itu udah berapa lama sih tinggal di Jerman? Lebih dari 10 tahun kan? Sangat mungkin budaya dia juga udah berubah dan bergeser.

Sumber: techtello.com
Sumber: techtello.com

Mengutip Dating Kinky, “When I’m writing about low-context consent strategies, and people are arguing high-context consent, we are out of sync. We are talking about two different things.” Netizen Indonesia dan the content creator are simply out of sync. Nggak nyambung aja gitu apa yang dia omongin dan apa yang netizen permasalahin. Intinya, salah paham.

Terus gimana dong? Namanya juga salah paham, harus ada effort dari dua sisi yang berkonflik. Ada dua hal yang bisa jadi effort untuk dilakuin. Satu dari sisi netizen dan satu lagi dari sisi content creator.

DISOSIASI

Ada satu teknik dalam Neuro-Linguistic Programming (NLP), suatu pendekatan komunikasi, di mana kita diminta mundur selangkah untuk liat bigger picture. Teknik ini bantu kita buat menurunkan emosi dan menaikkan logika. Ibaratnya, disosiasi adalah kita nonton orang naik roller-coaster, kalo asosiasi kita yang lagi naik roller-coaster. Disosiasi observasi, sedangkan asosiasi mengalami.

Contoh lainnya adalah orang yang nonton film horor. Kalo kita menghayati tiap adegan, ikut deg-degan tiap latar musik menggiring kita, jadi deh kita teriak sekenceng-kencengnya waktu ada adegan jumpscare. Ini termasuk asosiasi. 

Coba kita jadi pengamat film yang disuruh cari-cari kesalahan sepanjang film, atau disuruh cari kira-kira dalang di balik kejahatannya itu siapa, pasti deh fokus kita bukan ke hantu. Musik serem pun nggak akan begitu ngaruh, malah bisa jadi bahan penilaian kita ini film bagus nggak. Ini namanya disosiasi.

Apa sih gunanya kita coba disosiasi ini? Manfaatnya, kita jadi nggak gampang ngegas. Nggak reaktif, tapi responsif. Ketika nggak ikut kepancing emosi, kita lebih bisa mikir jernih dan liat apa sih yang sebenernya terjadi, dan apa aja sih yang bisa kita kasih sebagai respon kejadian ini. Salah paham adalah peristiwa yang netral terjadi, tapi yang bisa jadi nggak netral itu reaksi kedua pihak yang berkonflik. Ada dua respon yang bisa dikasih dalam setiap konflik.

1. Minta Penjelasan

Dengan berhasil mengontrol emosi, kita bisa jadi lebih jernih dalam memilih kata-kata yang mau kita sampaikan. Kalau kita respon dengan cara yang enak diterima, besar kemungkinan lawan bicara juga akan respon dengan cara yang enak didengar. 

2. Memaklumi

Kalo emosi turun, logika naik, kita bisa liat big picture, dari sini malah critical thinking kita bisa jalan. Kita bisa gali apa yang jadi dasar statement seseorang, kenapa dia bisa berpikir kayak gitu, apa maksud sebenernya. Dari situ kita bisa paham dan maklum, “Oh pantes, dia asalnya beda sama gue. Pengalaman hidup dia beda sama gue.” Agree to disagree aja, Civs!

PERHATIIN AUDIENCE 

Nah kalo ini, dari sisi content creator nih. Nggak perlu kesandung di masalah yang sama buat belajar. Pengalaman orang lain bisa jadi berharga banget. Belajar dari kasus ini, kita sebagai content creator juga diingetin lagi salah satu important rules soal pembuatan konten: perhatiin siapa audience kalian.

Okelah, content creator itu emang tinggalnya di Jerman, sedikit-sedikit preferensinya udah geser ke budaya di sana, but her audience is mostly Indonesians, right? 

Gue rasa akan lebih bijak kalo sebagai content creator kita bisa identifikasi behaviour, karakteristik, dan budaya target market kita. Pemahaman kayak gini bisa jadi salah satu strategi supaya apa yang kita maksud lebih efektif tersampaikan buat audience.

Yah, ujung-ujungnya balik lagi sih ke pepatah lama: di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Avida Sa'aya

Ibu anak dua yang suka nulis suka-suka. A human being with many interest. Suka jalan-jalan, tapi juga doyan mager di rumah.