Esensi

KENAPA ECO-FRIENDLY FASHION RAMAH LINGKUNGAN TAPI TAK RAMAH DOMPET

Brand sustainable fashion yang ramah lingkungan tak ramah bagi dompet beberapa kalangan. Apa solusinya untuk mereka yang ingin memulai sustainable lifestyle tanpa harus merogoh kocek dalam-dalam?

title

FROYONION.COM - Beberapa tahun terakhir, kampanye terkait eco-friendly fashion giat dilakukan oleh berbagai kalangan termasuk kalangan muda karena adanya fenomena konsumerisme dan hedonisme yang timbulkan oleh fast fashion. Oleh karena itu, pembahasan tentang eco-friendly fashion tak terlepas dari fast fashionFast fashion sendiri merupakan istilah yang muncul pada era revolusi industri. Produksi fashion yang pada awalnya memerlukan waktu lama dan hanya dapat dinikmati kalangan atas mengalami revolusi. Kehadiran mesin jahit memungkinkan produksi dalam jumlah tinggi sehingga dapat memperoleh keuntungan sebesar-besarnya.

Demi memenuhi kebutuhan produksi dan perolehan keuntungan yang tinggi, penggunaan bahan berkualitas rendah menjadi solusi. Hal ini menyebabkan produk-produk fast fashion memiliki masa pakai yang pendek. Maka dari itu, fast fashion sendiri didefinisikan sebagai jenis fashion yang silih berganti dalam waktu singkat karena kualitas bahan yang rendah atau lebih mudah dipahami dengan fashion kekinian. Kehadiran dari fashion ini juga menimbulkan berbagai isu dan skandal karena praktik produksinya yang tidak mempertimbangkan ‘harga’ yang harus dibayarkan pada lingkungan, kesejahteraan pegawai, dan perubahan gaya hidup konsumennya. Mulai dari pencemaran lingkungan akibat penggunaan bahan baku yang tidak ramah lingkungan dan pengelolaan limbah yang buruk hingga jam kerja yang tidak manusiawi menyebabkan berbagai kalangan mulai meninggalkan warna-warni tren terkini dari brand-brand fast fashion.

Hal ini berbanding terbalik dengan istilah eco-friendly fashion, sustainable fashion, slow fashion, atau green fashion yang dapat menggambarkan praktik fashion yang mengutamakan nilai-nilai lingkungan dan kemanusiaan dalam kegiatan bisnis berkelanjutan sehingga dapat memakmurkan setiap pihak yang terlibat serta memberikan dampak negatif seminimal mungkin. Kehadiran jenis fashion ini berawal dari kampanye penolakan penggunaan kulit dan bulu hewan dalam industri fashion pada era 1980-an. Gerakan inilah yang menginisiasi kampanye lainnya dengan mengusung berbagai isu dan skandal industri fashion pada 1990-an yang disertai peningkatan ketertarikan masyarakat pada ide sustainable fashion.

Produksi fashion yang dilakukan dengan mempertimbangkan dampaknya terhadap aspek lingkungan, ekologi, kesejahteraan pegawai, dan gaya hidup pelanggannya menjadikan produksi dan konsumsi fashion bergerak ke arah yang lebih baik. Pemanfaatan bahan baku berkualitas tinggi dan ramah lingkungan, produksi limbah yang jauh lebih rendah dibanding fast fashion, serta model pakaian yang timeless menjadikan sustainable fashion sebagai opsi yang potensial karena dapat dipakai dalam waktu yang lama, tak lekang oleh tuntutan tren, dan upaya kita berkontribusi aktif mengurangi sampah fashion yang kian menggunung.

Bukan hanya itu, salah satu brand sustainable fashion lokal telah membuktikan kapabilitasnya dengan meningkatkan kualitas hidup para pekerjanya serta memproduksi bahan bakunya secara mandiri melalui kegiatan sustainable farming, yaitu Sukkha Citta. Brand tersebut juga berhasil meraih sertifikasi B Corp karena menunjukkan keunggulannya sebagai bisnis yang berdampak positif bagi komunitas, masyarakat, lingkungan, dan pelanggan. Beberapa brand sustainable fashion lokal lain yang populer akhir-akhir ini adalah Sejauh Mata Memandang, Pijak Bumi, dan Imaji Studio yang menggunakan bahan baku alami dan aktif dalam kegiatan upcycling.

RAMAH LINGKUNGAN TAPI BIKIN DOMPET KOSONG

Pada kenyataannya brand-brand sustainable fashion yang ramah lingkungan ini gak ramah bagi isi dompet. Harganya yang cukup menguras kantong menimbulkan berbagai kritik dan pertanyaan dari beberapa kalangan. Modelnya yang timeless dan cenderung basic dinilai gak worth it untuk dibeli dengan harga yang tinggi hingga mencapai jutaan rupiah. Dibanding menghabiskan jutaan rupiah untuk pakaian ‘biasa-biasa saja’, memenuhi tuntutan tren dan terhindar dari nyinyir tetangga karena bajunya itu-itu saja lebih penting bagi beberapa kalangan.

Ya, menurut gue produk sustainable fashion punya harga yang tinggi karena alasan-alasan yang udah gue jelasin di atas. Banyaknya pertimbangan dari segi lingkungan dan kemanusiaan yang harus dipertanggungjawabkan dalam proses produksinya menjadikan harganya yang tinggi cukup masuk akal. Tapi, kalau dibandingin sama brand fast fashion di mall-mall yang udah biasa kita jumpai harganya juga gak berbeda jauh. Bahkan, produk sustainable fashion lebih unggul dari segi kualitas dan dampak positif yang diberikan.

Mau beli ataupun nggak ya itu pilihan masing-masing karena setiap produk dan brand punya target konsumennya sendiri. Gue sendiri juga mengakui kalau untuk saat ini produk-produk itu masih cukup mahal buat gue. Tapi, bukan berarti gue bisa melontarkan kritik dan komentar destruktif yang gak jelas sumbernya karena gue meyakini kalau produk-produk ini punya misi baik terlepas dari fungsinya sebagai kebutuhan sandang. Apalagi saat ini banyak brand lokal yang melabeli dirinya sebagai sustainable brand dengan beragam kisaran harga yang mungkin lebih terjangkau. Gak ada salahnya kan mencoba produk-produk ini jika punya budget lebih sekalian mencari tau juga benar atau nggak-nya sustainable fashion itu gak worth it.

TERUS GIMANA YA KALAU BELUM BISA BELI?

Konsep sustainable fashion juga berkaitan dengan gaya hidup yang menggunakan pakaian dalam jangka waktu panjang sehingga mengurangi tindakan konsumerisme dan limbah fashion yang dihasilkan. Maka dari itu, Membeli pakaian baru dari berbagai brand sustainable fashion dan membuang pakaian lama di lemari karena berasal dari brand fast fashion juga gak bisa disebut sebagai sustainable. Ada beberapa hal yang gue lakuin untuk mengonsumsi produk fashion secara lebih berkesadaran dan bertanggung jawab.

1. Maksimalkan isi lemari

Sejak 2020, gue sadar kalau lemari gue terlalu penuh padahal baju yang gue pakai itu-itu aja. Akhirnya, gue memutuskan untuk melakukan decluttering ala Marie Kondo yang bertujuan untuk memilah barang-barang yang sudah tidak terpakai. Gue melepaskan banyak baju yang udah gak gue pakai selama setahun terakhir, mulai dari baju masa remaja yang jelas-jelas udah kekecilan sampai baju trendy pieces yang udah ketinggalan zaman. Baju-baju yang gue lepaskan itu gak dibuang seenaknya, tapi sebagian besar gue kasih ke kerabat terdekat. Selain itu, baju-baju layak pakai lainnya juga bisa didonasikan karena saat ini banyak tempat donasi pakaian untuk didaur ulang. Setelah melakukan decluttering lemari gue cuma berisi pakaian yang selalu gue pakai sehari-hari, mungkin ada satu atau dua pakaian yang jarang dipakai tapi gak sebanyak sebelumnya.

2. Jangan takut kena nyinyir tetangga

Seringkali ada beberapa kelompok orang yang memberi komentar negatif karena kita mengulang outfit kita. Padahal itu kan hal yang wajar dan membuktikan kalau kita bertanggung jawab atas pakaian dan uang yang kita keluarkan untuk membeli pakaian itu. Di samping itu, kita juga gak berkewajiban pakai baju berbeda setiap harinya. Anak sekolah aja pake seragam yang modelnya sama setiap hari gak masalah, kenapa hal ini jadi permasalahan bagi kita? Selama bajunya bersih dan layak pakai, it’s okay!

3. Pikirkan matang-matang

Kemudian, opsi membeli baju baru adalah pilihan terakhir. Pikirkan baik-baik sebelum membeli baju baru. Pastikan baju yang akan dibeli akan dipakai lebih dari 30 kali pemakaian atau bahkan dapat bertahan bertahun-tahun. Kalau mampu membeli pakaian baru dari brand sustainable fashion tentu jauh lebih baik. Butuhnya pertimbangan matang untuk membeli pakaian berharga tinggi menjadikan sustainable brand turut mendorong pola konsumsi yang baik karena setiap barang yang dibeli harus dipertanggungjawabkan dan bukan kegiatan impulsive buying. Selain itu, membeli produk dari brand lokal berskala produksi kecil atau melakukan thrifting dapat menjadi opsi bagi yang belum mampu membeli produk berharga tinggi.

Nah, itu tadi beberapa hal yang lagi gue lakuin untuk berkontribusi aktif mengurangi dampak negatif dari industri fashion. Walaupun belum bisa beli brand sustainable fashion masih banyak kok hal yang bisa dilakukan. Nyatanya, permasalahan tak ramah di dompet bukan masalah yang harus diributkan habis-habisan dan menjadikan sustainable life tak mungkin dilakukan. Masih banyak solusi-solusi alternatif yang dapat dilakukan sesuai dengan kapabilitas kita tanpa menyudutkan pihak lain. Jadi, mau mulai sustainable lifestyle dari mana nih? (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Videla Zannuba

Biasa dipanggil Marie. Asalnya nulis puisi, tapi cuma nulis kalau sedih. Hobi masak dan dandanin orang. Sibuk jadi anak Buk dan Bap di rumah.