Esensi

KAPAN POLITIK BISA JADI PANGGUNG SERU BUAT ANAK MUDA?

Agenda politik terbesar di Indonesia udah makin deket nih, Civs. Edukasi dan pembelajaran politik jadi bagian yang penting buat semua kalangan. Tapi kenapa ya kira-kira panggung politik itu masih sering dianggap nggak asyik buat anak muda~?

title

FROYONION.COM - Panggung politik sampai saat ini masih belum menjadi bagian diskusi yang menarik bagi anak muda di Indonesia, Civs. Padahal ya, partisipasi politik itu penting buat diikutin oleh semua masyarakat apapun lapisannya.

Sebenarnya sih, bukan hal yang tabu juga anak muda enggan terlibat banyak dalam urusan politik negeri. Meskipun golongan anak muda itu jadi salah satu kelompok yang paling mempengaruhi tinggi rendahnya tingkat partisipasi politik. 

Coba berkaca sama hasil survei yang diterbitkan Centre for Strategic and International Studies (CSIS) paling baru yang diterbitkan September 2022 ini. Ketertarikan politik yang dilihat dari keinginan untuk terlibat langsung sebagai politisi yang dicatatkan dalam survei itu sangat rendah. 

Misalnya nih, 84,7 persen anak muda nggak mau mencalonkan diri sebagai anggota DPR/DPRD. Kemudian, 85,2 persen anak muda juga nggak mau mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Dari kacamata lain, aktivitas politik anak muda pun juga rendah dalam survei ini. 

Dalam satu tahun terakhir, disebutkan kalau 92,8 persen anak muda nggak pernah menyampaikan pendapat langsung kepada pejabat publik atau anggota dewan. Terus juga survei ini mendapati kalau 81 persen anak muda juga nggak pernah menyampaikan pikiran politiknya itu lewat media sosial.

Fyi, survei ini dilakukan dengan metode multistage random sampling terhadap populasi penduduk berusia 17-39 tahun yang tersebar di 34 provinsi. Total ada 1.200 responden dari 34 provinsi yang mengikuti survei. Adapun margin of error survei ini sebesar +/-2,84 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen. 

Hmm, kenapa sebenarnya panggung politik di Indonesia sulit dinikmati oleh anak muda yang akan menjadi generasi penerus bangsa, ya? 

Kalau dilihat secara keseluruhan, sebenarnya politik itu bisa banget jadi ajang yang menarik buat anak muda. Lo harus tahu, jurnalis senior Najwa Shihab dalam salah satu acara podcast pernah menyebut kalau sebenarnya anak muda butuh politik buat jadi bahan informasi ketika bersosialisasi.

Apalagi nih, setiap warga negara itu sudah sangat pasti bersinggungan dengan proses politik. Kadang memang proses politik di Indonesia itu nggak menarik di mata anak muda. 

SERBA PENCITRAAN LEWAT CARA KUNO

Coba kalau kita perhatiin isu politik yang berkembang di Indonesia beberapa hari terakhir. Pasti nggak jauh-jauh dari masalah pencitraan atau seremonial lain yang dilakukan. 

Dari sekarang aja nih ya, sudah banyak baliho politisi yang terpampang di area publik. Jangan kaget kalau nanti makin dekat kontestasi pemilu 2024, baliho yang terpasang makin menyebar dimana-mana. 

Gue mencoba mewawancarai Pengamat Politik Universitas Al-Azhar Ujang Komarudin buat tahu akar masalah tersebut. Dia menilai kalau cara-cara kuno yang dilakuin politisi zaman sekarang itu nggak terlepas dari banyaknya generasi tua yang mendominasi di kancah politik Tanah Air.

Menurutnya masalah ini juga berkaitan dengan rendahnya minat anak muda untuk terjun langsung ke politik. Gara-gara sedikit anak muda yang mewakili, jadinya dunia politik kita begini-gini aja tanpa ada perubahan yang signifikan Civs. 

"Kita tahu calon-calon atau anggota DPR yang milenial itu cuma beberapa. Nggak banyak mewakili juga, itu artinya pikiran-pikiran lama masih membentuk pola pikir mereka dalam kampanye. Padahal zaman sudah berubah, ya." kata Ujang saat dihubungi. 

Yang paling fatal nih menurut Ujang, politisi di Indonesia itu seringkali nggak kreatif dalam membawa ide ataupun gagasan mereka untuk bersaing di panggung politik Indonesia. Salah satunya, kebanyakan politisi itu dianggapnya cuma memanfaatkan momentum tertentu untuk mendapat exposure sehingga bisa lebih dikenal lagi. 

Kalau dalam dunia pemasaran atau marketing, cara itu mungkin dikenal dengan istilah riding the wave. Apa sih contoh momentum yang sering dipakai buat pencitraan ala politisi? Ujang yang juga Direktur Eksekutif Indonesia Political Review mengatakan kalau hal tersebut bisa dilihat dari flyer atau spanduk ucapan selamat kepada atlet Indonesia yang menang olimpiade. 

Padahal mah mungkin politisi itu nggak ada sumbangsih apa-apa buat prestasi tersebut. Tapi kan mumpung momentumnya lagi bagus, makanya dipakai buat cari panggung dengan memberikan selamat. Tapi menurut dia, cara yang paling kuno dan nggak banget sehingga bikin resah itu memasang foto diri (politisi itu) gede-gede, jauh lebih gede dari atlet yang berprestasi.

Nggak cuma begitu doang, lho! Bahkan politisi juga nggak segan-segan buat riding the wave tragedi Kanjuruhan yang baru-baru ini terjadi. Ada contoh kasus para anggota DPRD Jatim yang bikin spanduk besar-besar mengucapkan duka cita atas tragedi itu. Yang bikin salfok, malah kebanyakan foto diri masing-masing anggota dewan terhormat itu di ucapan dukanya. 

Walhasil spanduk itu sempat dirujak netizen di media sosial dan ramai diperbincangkan. “Mestiya ke depan kita kembangkan kampanye-kampanye yang beradu argumen, ide dan gagasan. Apalagi dengan adanya media sosial, itu kan bisa dikemas lebih kreatif lagi. Jadi nggak cuma ada momentum ambil, tema-teman sporadis, atau teman-teman yang sedang banyak dibahas orang,” jelas Ujang. 

DUNIA DIGITAL BAGI ANAK MUDA

Generasi milenial dan Gen Z banyak diprediksi bakal banyak punya suara dalam pemilu 2024 mendatang. Kalau kita merujuk ke data daftar pemilih tetap (DPT) versi KPU untuk pemilu 2019 lalu, total ada 192 juta orang yang menjadi pemilih kala itu. Dari keseluruhan jumlah itu, jumlah pemilih dari usia hingga 20 tahun mencapai 17.501.278 orang, sementara dari usia 21-30 sebanyak 42.843.792 orang.

Artinya generasi anak muda kala itu yang mendapat anugerah untuk memilih calon pemimpinnya mencapai 60.345.070 orang. Besarnya jumlah anak muda dalam kontestasi pemilu memang kerap jadi sorotan dan dilirik oleh partai politik tertentu.

Makanya pada tahun itu banyak mulai direkrut politisi-politisi muda yang dianggap milenial dengan harapan dapat menciptakan kekuatan politik yang inklusif dan menjadi daya tarik bagi konstituen terbesarnya. Tapi, banyak ternyata anak muda yang nggak kepincut. 

Gimana sebenarnya sih untuk memikat anak muda tertarik di dunia politik saat ini? Kalau dari hasil wawancara gue sama Ujang, menurutnya harus ada daya tarik yang membuat panggung politik dilirik anak muda. Kreativitas harus jadi satu hal yang dibawa oleh pegiat politik saat ini. 

"Kita harus merasakan kalau ada daya tarik dari politik itu, supaya anak muda mau ikut. Selama ini, nggak ada pertarungan ide dan gagasan, dan gak ada tawaran-tawaran yang bagus," ucap dia. 

Kalian mungkin ingat fenomena kemunculan paslon fiktif Nurhadi-Aldo bernomor urut 10 pada pemilu 2019 lalu. Mereka hadir pertama kali di Facebook pada 18 Desember 2018, atau beberapa bulan sebelum pencoblosan dilaksanakan. 

Tapi, hasil dari kampanye satire mereka benar-benar luar biasa. Kenaikan followers mereka di media sosial sangat signifikan dan meme yang mereka bawa selalu viral. Pesan yang mereka bawa tersampaikan. 

Kenapa fenomena itu bisa ramai diperbincangkan? Pasangan fiktif Nurhadi-Aldo membawa isu yang relevan dan menarik untuk dibahas masyarakat Indonesia, tak terkecuali generasi muda. 

Banyak cara berpikir kritis yang dibawa lewat program fiktif dan dikemas dengan kreatif. Mereka menghadirkan meme ataupun narasi yang kekinian dengan desain ciamik sehingga mudah dinikmati oleh setiap lapisan kelompok masyarakat. 

Sebenarnya, itu menggambarkan satu masalah terbesar dari panggung politik di Indonesia, yakni kurangnya edukasi yang diberikan dari para politisi kepada masyarakat dengan cara-cara kreatif dan mudah dimengerti. 

Dilansir dari bbc, salah satu penggagas pasangan fiktif ini, Edwin menyebutkan bahwa unggahan satir dilakukan untuk menggambarkan realitas politik Indonesia saat itu. 

Tujuan mereka ingin menyadarkan ke masyarakat bahwa politik itu penting. Bukan hanya sebagai gerakan, tapi Nurhadi-Aldo menjadi tempat edukasi bagi masyarakat yang dibawa oleh anak muda. 

Nah, kalau menurut lo Civs gimana sih cara supaya anak muda bisa enjoy dalam mengikuti panggung politik di Indonesia. Apalagi kan nih, 2024 makin dekat dan keterlibatan aktif anak muda itu sangat diperlukan. 

Jangan sampai generasi muda dicap apolitis, nih! (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Michael Josua

Cuma mantan wartawan yang sekarang hijrah jadi pekerja kantoran, suka motret sama nulis. Udah itu aja, sih!