
Dilema landak memberitahu kita bahwa tak ada yang sempurna dalam suatu hubungan, bahkan hubungan yang intim sekalipun, yang ada malah berpotensi menyakiti paling dalam.
FROYONION.COM - Apakah kalian pernah dengar sebuah petuah bahwa semakin kita bertambah umur menjadi dewasa, lingkaran pertemanan kita akan mengecil? Bahkan nggak jarang hal tersebut terseleksi begitu saja tanpa kita sadari. Teman yang tadinya ada puluhan jadi hanya berjumlah hitungan jari.
Banyak orang bilang jika hal tersebut baik karena membuat kita jadi memiliki lingkaran pertemanan yang sehat. Suportif mendukung kita, solid siap siaga mendengar keluh kesah kita, dan pastinya mereka yang sejalan dengan visi kita untuk meraih goals.
Pokoknya hubungan akan lebih intim. Namun, tak bisa dimungkiri juga, bisa jadi mereka jugalah yang mampu menyakiti kita paling dalam.
Iya, betul semakin kita dekat, semakin dalam juga potensi saling menyakiti satu sama lain. Itulah yang setidaknya disebut sebagai dilema landak (hedgehog’s dilemma).
Dilema landak adalah sebuah metafora soal hubungan intim dalam kehidupan manusia yang dicetuskan oleh seorang filsuf bernama Arthur Schopenhauer. Ia menggambarkan hubungan intim manusia seperti dua landak yang sedang berusaha menghangatkan dirinya saat musim dingin.
Untuk mendapat kehangatan, kedua landak akan saling berdekatan, namun duri di tubuh mereka malah melukai satu sama lain. Ketika mereka menjauh, rasa dingin yang sangat amatlah yang akan dirasakan.
Dalam hidup kita, dilemanya adalah, landak yang memutuskan untuk kedinginan, sama seperti saat kita memilih untuk menyendiri; kita bebas, nggak akan tersakiti atau menyakiti. Namun, kesepian rasanya begitu berat bukan? Punya masalah dipendam sendiri, solusi nyari sendiri, pusing lah pokoknya.
Sementara kondisi landak yang mendekatkan diri, sama dengan ketika kita memiliki hubungan dekat dengan seseorang yang membuat kita nyaman, mau curhat soal keluh kesah, tinggal cerita saja. Akan tetapi akan ada "duri" yang bisa saling menyakiti satu sama lain.
Hal ini bukan hanya soal pertemanan, bisa juga terjadi dalam rekan professional yang selalu bertemu setiap harinya atau dalam hubungan percintaan.
Schopenhauer menjelaskan jika manusia sebagai makhluk sosial pastinya membutuhkan orang lain entah buat curhat atau sekedar menemani hari-harinya agar tak kesepian. Ketika sudah memiliki seseorang tersebut rasanya kita aman.
Di sisi lain manusia juga cenderung takut untuk mendapatkan rasa sakit. Maka dari itu terkadang kita memilih menyendiri untuk terhindar dari rasa sakit atau menyakiti orang lain.
Dilema landak memberi tahu bahwa keintiman bukanlah sebuah hubungan yang sempurna. Ada berbagai hal yang justru malah bikin saling menyakiti.
Misal kita curhat masalah pribadi dengan orang terdekat, karena merasa sama orang dekat ya pasti oke aja. Semuanya aman. Akan tetapi namanya hidup, suka ajaib, suatu hari kita dikhianati dan semua cerita kita diumbar, kita pasti merasa sakitnya lebih karena dia orang yang deket banget sama kita dan kita percaya.
Atau saat kita terlalu sering bertemu dengan seseorang, sifat aslinya keluar. Bisa jadi lama-lama kita ilfeel dan merasa nggak nyaman.
Lalu apa yang membuat keintiman bisa menyebabkan sakit yang begitu mendalam? Faktor terbesarnya adalah ekspektasi.
Ekspektasi itulah "duri" yang membuat keintiman malah bisa menyakiti satu sama lain. Ketika bersama orang terdekat kita sudah punya ekspektasi yang tertanam, bahwa mereka akan selalu bersama, bakal menghibur, menjaga, mendengar kita, dan bisa diganggu kapan aja.
Nah, pas ekspektasi yang itu tak terjadi, sakit hatilah pada akhirnya. Kita kecewa, “Loh, kok jadi gini sih, lo berubah.” Akhirnya malah ribut dan malah menyimpan benci.
Strategi mengatasi dilema landak adalah tahu batasan diri.
Saya punya cerita ngenes soal tahu diri ini oleh teman saya yang sudah jatuh cinta dengan seseorang. Udah deket banget, udah romantis deh. Akhirnya ia memutuskan nggak melanjutkan hubungannya. Kenapa? Jawabnya “Karena kalo dilanjutin yang ada dia malah sakit dan ga tahan sama gue.”
Ya, teman saya ini merasa jika ia melanjutkan hubungannya, ia takut entah omongan atau sikapnya malah menyakiti pasangannya. Sehingga ia memutuskan tak melewati batas tersebut.
Tau batasan juga berarti kita menghargai privasi seseorang. Tentu kalau terlalu intim, ruang privasi sering kali terekspos. Nggak ada waktu buat kita sendiri menjadi diri kita yang paling asli.
Kita akan dihantui ekspektasi yang bakal jadi beban. Misalnya kita lagi pengen rebahan dan istirahat aja, temen nge-ping mulu minta dihibur, begitu kita tolak ntar malah berujung saling sakit hati.
Batasan inilah yang membuat sebuah hubungan nggak bakal bisa bersatu, karena ada “tembok-tembok” harus dipatuhi.
Namun, ketika kita memperhatikan batasan, dalam hal ini adalah etika, hal tersebut akan membuat kita menemukan level kenyamanan dalam hubungan, di sisi lain kita juga tak perlu “kedinginan” dalam kesendirian. (*/)