
Move on bukan perkara cepet-cepetan, ada proses yang dilalui untuk mencapai move-on yang betul-betul ikhlas.
FROYONION.COM - Membicarakan move on menandakan jika sebelumnya kita sedang mengalami kehilangan hal atau orang yang begitu berharga dalam hidup, dan kita harus melepaskannya untuk selama lamanya.
Kehilangan bisa banyak hal. Ada yang putus cinta karena ditinggal doi, ada yang dihadapkan pada kematian orang tercinta, kehilangan binatang peliharaan kesayangan, atau bahkan rusaknya barang yang penuh dengan memori indah.
Karena move on perkara mengikhlaskan, tentu rasanya nggak mudah, kita harus menerima kenyataan pahit itu dengan kuat. Ada yang mungkin cuman butuh seminggu, namun nggak jarang ada yang butuh berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun untuk bisa move on. Dan semua itu normal. Emosi dari perasaan duka emang kompleks, setiap orang beda-beda menjalaninya.
Sebuah teori yang dikenal dengan 5 Tahapan Kedukaan (The Five Stages of Grief) dari Elisabeth-Kübler Ross yang ditulisnya dalam buku On Death and Dying menjelaskan bahwa memang ada prosesnya dulu sampai kita move on dan menerima kehilangan itu dengan ikhlas.
Kübler-Ross merancang teori tahapan tersebut saat mempelajari pasien-pasiennya yang didiagnosis terkena penyakit berat.
Namun tahapan ini dianggap juga bisa membantu sebagai guideline dalam mengidentifikasi perasaan duka dalam banyak hal, seperti soal percintaan atau kehilangan orang tersayang. Mari Civs kita meluncur ke teorinya.
1. Penyangkalan (Denial)
Setelah dihadapkan pada kehilangan, denial merupakan respons yang bakal keluar dalam diri kita karena belum percaya bahwa sedang dihadapkan pada kehilangan.
Misal saat kehilangan orang tersayang kita akan menyangkal, “Dokter pasti salah ngasih informasi“, “Nggak lah nggak mungkin, tadi masih telefon gue 5 menit yang lalu”.
Denial bisa dibilang sebagai bentuk pertahanan diri agar kita tak terjerumus langsung ke dalam rasa duka. Jika langsung menerima segala fakta seutuhnya, pastinya akan begitu menyakitkan.
Denial dapat membantu kita yang masih shock atas rasa kehilangan, karena sifatnya memberitahu secara perlahan-lahan.
2. Kemarahan (Anger)
Ketika hati perlahan-lahan mulai menerima realita yang ada, maka respons kemarahan yang akan keluar. Dalam hati tak ada habisnya kita misuh “Kenapa harus gue?”, “Hidup nggak adil”.
Hal ini wajar, jadi gapapa, jangan ditahan amarahnya, bisa dibilang respons ini malah diperlukan.
Namun, dalam Psycom.net menganjurkan untuk menghubungi konselor, kerabat atau teman terpercaya dalam membantu mengelola amarah kita agar tak melampiaskannya kepada hal-hal atau orang-orang yang nggak ada kaitannya.
Misalnya, biasanya kita sudah merasa move on dengan nemu pengganti baru, tapi nyatanya hal tersebut cuman buat jadi pelampiasan atas kehilangan yang belum kita terima.
3. Tawar menawar (Bargaining)
Pada tahap ini, kita ingin mengembalikan semuanya “normal” seperti sedia kala, langkah yang diambil ialah berunding dengan takdir dan sering kali kita begitu menyalahkan diri kita sendiri.
“Ya tuhan, aku akan menjadi orang yang lebih baik dan nggak gampang marah, kalau engkau bisa menghentikan dia dari meninggalkanku.”
Selain itu, pengandaian seperti “kalo aja….” atau “bagaimana jika…..” akan terus berputar di kepala, kita merasa jika alternatif lain yang dilakukan, bisa saja kehilangan itu tak akan terjadi.
4. Depresi (Depression)
Dalam tahap depresi menjadi penanda seseorang sudah kembali tinggal di kenyataan secara seutuhnya bahwa yang terjadi memang sudah terjadi.
Hari-hari rasanya penuh awan mendung, kepala dipenuhi kabut tebal. Seseorang semakin terhanyut dalam kesedihan dan merasa kosong.
Bahkan nggak jarang orang merasa hidupnya bergantung pada orang atau hal yang meninggalkannya dan tak bisa hidup secara mandiri, “Bagaimana bisa gue bisa hidup tanpa dia?”
Bantuan orang terdekat atau psikolog dibutuhkan pada tahap ini. Salah satu layanan konseling yang bisa gue rekomendasiin adalah satupersen.net
5. Penerimaan (Acceptance)
Dari segala kegalauan tadi, pada akhirnya kita mencapai garis finish, yakni tahap penerimaan. Bukan berarti kita udah nggak bersedih lagi, rasa sedih masih akan muncul namanya juga kehilangan, jarang bisa bener-bener pulih seratus persen.
Namun, kita sudah tegar untuk menerima kenyataan, emosi sudah stabil, sudah ikhlas, dan sudah bisa menjalani aktivitas normal lagi. Saat menengok lagi ke belakang bawaanya enteng aja, bahkan bisa jadi malah kita ketawa saking udah berdamainya.
Penerimaan juga bukan sebatas “Oke, gue ikhlas dia sama si itu”, melainkan “Dia memang sama sama si itu, tapi gue tetap bisa kok menjalani hidup tanpa dia.”
Jangan Terpaku Pada Tahapan-Tahapannya
Oh iya, yang perlu digaris bawahi menurut Kübler-Ross semua tahapan ini bukan hal mutlak, ya. Nggak harus terpaku harus dari denial untuk ke acceptance. Karena nggak semua orang ngelewatin step by step-nya.
Ada yang longkap atau malah balik lagi ke tahap sebelumnya, bahkan bisa saja ada yang melaluinya secara acak. Akhir kata, nggak perlu buru-buru move on, biarkan kesedihanmu mengalir. Karena kesedihan bukan sebuah perlombaan agar cepat-cepat menerima, take it slow, ketika siap, kita akan berdiri lagi. (*/)