
Divonis bersalah tapi lolos dari penjara, selebgram Rachel Vennya cuma menjalani masa percobaan selama 8 bulan dengan salah satu alasan bahwa doi bersikap sopan di depan hakim. Yuk kita bahas kasus pake ‘kepala dingin’ dari sisi hukum.
FROYONION.COM Siapa sih yang gak kenal sama Rachel Vennya? apalagi sekarang kasus yang menimpa doi lagi viral. Nah, Rachel divonis bersalah karena udah melanggar UU Karantina Kesehatan. Rachel divonis karena nggak taat sama kewajiban karantina setelah pulang dari luar negeri.
Parahnya lagi, Rachel sendiri ngaku kalo doi nggak mau dikarantina karena ngerasa nggak nyaman. Selain itu, doi telah melakukan suap pada seseorang yang bernama Ovelina senilai 40 juta. Nah, Ovelina ini kebetulan merupakan staff di DPR. Berkat bantuan Ovelina, Rachel bisa lolos melakukan karantina.
Banyak orang yang geram sama kelakuan Rachel, apalagi posisinya sebagai selebgram yang seharusnya memberi contoh dan jadi role model yang positif buat orang banyak. Netizen berharap Rachel bisa divonis berat supaya ngerasa jera.
Namun, vonis berkata lain gaes. Rachel Vennya divonis bersalah tapi nggak dipenjara. Hukuman Rachel yaitu 4 bulan penjara dengan masa percobaan 8 bulan penjara dan denda 50 juta rupiah. Salah satu alasan hakim ngejatuhin vonis itu adalah karena Rachel udah berlaku sopan selama di persidangan, kooperatif, dan memberikan keterangan yang nggak berbelit-belit.
Ngedenger itu, langsung aja netizen geram. Bahkan banyak meme yang bertebaran di Twitter. Ada seorang nenek yang bersujud di depan hakim, tapi tetep aja dipenjara karena kasus dugaan pencurian. Sementara itu, Rachel bebas cuma karena dinilai sopan. Kalo dibandingin sama si nenek tadi, kurang sopan apa coba si nenek? Kenapa nggak ikutan bebas dari jeruji besi?
Nah, dalam artikel kali ini. Gue mau bahas kasus Rachel Vennya ini supaya kita semua lebih melek hukum. Jadi, gue akan coba bahas tahapannya satu-persatu gaes.
VONIS PERCOBAAN
Hakim ngejatuhin vonis ke Rachel Vennya, yaitu 4 bulan penjara dengan masa percobaan 8 bulan. Maksudnya apa sih? Jadi, dalam masa percobaan selama 8 bulan itu, Rachel harus bersikap baik.
Doi nggak boleh melanggar hukum apapun, intinya harus berkelakuan baik. Nah, kalo dalam masa percobaan itu Rachel melakukan pelanggaran hukum, Rachel bisa langsung dipenjara selama 4 bulan tanpa harus ngejalanin sidang lagi.
Sebenarnya kenapa sih Rachel divonis percobaan kaya gitu? Ya karena memang ada aturannya. Jadi gini, Rachel dituntut Jaksa pake Pasal 93 UU No. 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan. Hukuman dalam pasal itu paling lama 1 tahun penjara.
Jadi, hakim nggak boleh ngejatuhin vonis lebih lama dari yang tertera di pasal itu karena ada larangannya. Sementara itu, di dalam Pasal 14a KUHP ada ketentuan, jika ada satu perbuatan yang dipidana paling lama 1 tahun, maka hakim bisa menjatuhkan masa percobaan.
Pidana percobaan ini biasanya dijatuhkan ke kasus yang sifatnya ringan atau melanggar administratif aja. Nah, bisa jadi, pertimbangan hakim yang kayak gitu disebabkan karena kewajiban karantina cuma jadi syarat administrasi aja.
PERTIMBANGAN HAKIM
Nah, yang menjadi sorotan lain adalah pertimbangan hakim yang bilang kalo Rachel Vennya bersikap sopan di muka persidangan. Di dalam menjatuhkan vonis, hakim memang harus mempertimbangkan ketentuan yang meringankan atau memberatkan terdakwa.
Bagi gue, ketiga alasan hakim di atas itu lumrah. Kenapa lumrah? Coba deh baca beberapa putusan pengadilan. Di dalam vonis persidangan lain, ada banyak alasan yang mirip-mirip kayak yang terjadi di persidangan Rachel Vennya. Misalnya ‘sopan’, ‘mengakui perbuatan’, ‘kooperatif’, dan ‘tidak pernah dipidana sebelumnya’.
Nggak ada ketentuan khusus buat nentuin standar yang meringankan seorang terdakwa. Itu murni hanya kewenangan hakim, bersikap sopan adalah salah satu pertimbangan aja. Dalam praktiknya, ada juga tersangka yang nggak kooperatif, bahkan ngasih keterangan yang berbelit-belit dan menyulitkan hakim.
Nah, kalo kayak gitu, biasanya bisa jadi pertimbangan lebih buat hakim untuk memperberat hukuman. Tapi, kesopanan sendiri sebenarnya nggak usah jadi pertimbangan, toh seharusnya memang harus sopan kalo harus ke pengadilan, iya kan?
Jadi, pertimbangan hakim yang meringankan terdakwa ya itu murni kewenangan yudikatif hakim. Sedangkan alasan yang memberatkan ya kebalikan dari hal yang meringankan, atau bisa jadi kalo si terdakwa pernah dipenjara sebelumnya.
NGGAK DIJERAT SUAP
Ada satu lagi yang menjadi perhatian, Rachel Vennya nggak dijerat dengan kasus penyuapan karena bukan PNS. Kok bisa gitu? Padahal kan udah jelas dia menyuap staf DPR, kok bisa lepas gitu aja?
Terkait hal ini, perlu ada penjelasan yang panjang, tapi gue akan mencoba ngejelasin dengan singkat aja. Undang-undang yang mengatur tentang suap selama ini terdapat di UU Tipikor.
Di dalam UU Tipikor, subjek hukumnya ya PNS atau penyelenggara negara. Terkait PNS kayaknya semua orang udah pada tau ya, tapi siapa sih yang menjadi penyelenggara negara?
Di dalam UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bebas dari KKN dijelaskan, penyelenggara negara ialah pejabat yang memiliki kewenangan legislatif, eksekutif, yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Rachel jelas bukan PNS atau penyelenggara negara, lalu bagaimana dengan Ovelina yang berstatus sebagai staff di DPR? Jelas doi juga bukan penyelenggara negara karena hanya pegawai. Nah, apakah Ovelina seorang PNS? Menurut informasi yang saya dapat, ia hanya pegawai kontrak, jadi bukan PNS.
Lah, kan dia suap menyuap kok tetap gak dijerat pasal itu? Enak dong, bisa jadi bakalan ada orang yang ikut-ikutan caranya Rachel. Terus, ada gak sih aturan suap yang mengatur di luar PNS atau penyelenggara negara tadi? Jawabannya ada, yaitu di UU Nomor 11 Tahun 1980 tentang Penyuapan.
“Barangsiapa memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang dengan maksud untuk membujuk supaya orang itu berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum, dipidana karena memberi suap dengan pidana penjara selama- lamanya 5 (lima) tahun dan denda sebanyak-banyaknya Rp.15.000.000,- (lima belas juta rupiah).” (Pasal 2)
Nah, tapi di dalam pasal di atas, ada ketentuan yaitu harus menyangkut kepentingan umum. Nah, terus apa sih yang disebut kepentingan umum, di dalam UU No 11 Tahun 1980 sendiri nggak dijelasin secara rinci. Tapi yang jelasnya, kepentingan umum di sini harus menyangkut khalayak umum.
Sementara itu, di dalam kasus Rachel Vennya nggak ada kepentingan umum atau hal yang merugikan negara. Jadi, dengan kedua alasan di atas, Rachel nggak bisa dikenakan pasal suap tadi. Lalu bagaimana dengan Ovelina?
Nah, jaksa mendakwa Pasal 55 KUHP karena turut serta dalam kasus Rachel Vennya. Jadi, Ovelina cuma dikenakan dengan pasal penyertaan aja, jadi vonisnya serupa dengan Rachel. Seharusnya, ada sanksi internal DPR yang bisa diterapkan terkait pegawainya itu.
Jadi, pegawai lain yang kedudukannya serupa sama Ovelina bisa belajar dari kasus ini. Seharusnya ada ketentuan yang mengatur tentang penyalahgunaan profesi yang tindakannya lebih tegas. Jadi, setiap pegawai harus mematuhi kode etik profesi yang mereka jalani.
KESOPANAN ITU KEWAJIBAN
Dari kasus ini, seenggaknya kita bisa memetik sebuah pelajaran. Pertama, sebagai seorang publik figur, Rachel Vennya seharusnya bisa ngasih contoh yang baik pada masyarakat.
Bahkan masyarakat biasa aja bisa taat sama aturan, meskipun di luar itu, kehidupan mereka punya masalah yang harus dijalani masing-masing. Hal ini cuma nambah stereotip buruk bahwa orang-orang kayak Rachel punya privilege tersendiri, jadi bisa seenaknya melanggar aturan.
Adanya putusan ini jelas memberi kesan yang nggak adil bagi warga negara lain yang punya nasib serupa, di mana jarak hukum dan keadilan itu jadi semakin jauh. Tapi, kayak yang udah diulas di atas, memang udah kayak gitu sistem hukum kita.
Bagi gue, pertimbangan hakim yang meringankan vonis Rachel khususnya soal kesopanan jangan sampe ada lagi di kasus-kasus ke depannya. Terkait kesopanan itu harus menjadi kewajiban di muka persidangan. Hakim harus mencari pertimbangan lain yang bisa diterima akal sehat netizen yang udah mulai kritis ini. (*/)